Karakter bukan saja menentukan eksistensi dan kemajuan seseorang, melainkan juga eksistensi dan kemajuan sekelompok orang, seperti sebuah bangsa. (Yudi Latif, hal. 309)
Pendidikan Era Digital
Sepanjang sejarah manusia, kehidupan telah berkali-kali mengalami disrupsi Disrupsi dalam ranah pendidikan sebagai konsekwensi dari perkembangan industry 4.0 pun menjadi perbincangan saat ini.
Bila pada zaman Kartini dahulu jarak antar-disrupsi itu beringsut lambat karena kelambanan penemuan teknologi baru, pada masa kini, rentang antar disrupsi itu begitu rapat dengan implikasi yang lebih luas cakupannya dan dalam penetrasinya.
Revolusi Industri 4.0 ini berkembang diatas dasar revolusi digital yang mengkombinasikan aneka macam teknologi dengan ditandai oleh merebaknya kecendrungan otomatisasi.
Pertukaran data terkini, kecerdasan buatan (artificial intelegence) dan pemanfaatan big data dan perluasan konektivitas secara virtual.
Perkembangan teknologi dari Revolusi Industri 4.0 itu secara tak terhindarkan akan menginfiltrasi proses pendidikan.
Dalam mengantisipasi kecepatan perubahan teknologi, menurut Yudi Latif, strategi yang tepat adalah mengembangkan pendidikan berbasis kapabilitas, yang menuntut penyiapan peserta didik sebagai manusia pembelajar seumur hidup.
Manusia yang selalu update dengan perkembangan baru dengan kesediaan terus belajar memperbarui dirinya untuk bisa menjawab segala macam tantangan.
Pada titik ini, kedatangan zaman baru tidak berarti mengubah hakikat prinsip pendidikan.
Pendidikan seumur hidup (lifelong education) justru harus dibudayakan lebih sungguh-sungguh.
Ki Hadjar Dewantara, guru pendidikan kita, secara visioner mendefinisikan pendidikan sebagai proses belajar menjadi manusia seutuhnya dengan mempelajari dan mengembangkan kehidupan sepanjang hidup.
Manusia pembelajar harus dibekali dengan kapabilitas dasar dengan dua macam kemampuan, disatu sisi harus memiliki kelenturan untuk menyesuaikan dengan angin perubahan.
Di sisi lain harus memiliki akar yang kuat agar tidak mudah roboh diterjang angin.
Yang pertama memerlukan daya kreatif-inovatif.
Yang kedua memerlukan daya karakter.
Pendidikan berorientasi kreatif-inovatif harus menghilangkan diskriminasi manusia berdasar jenis intelegensia tertentu yang membuat orang dengan intelegensia lain dianggap sampah masyarakat.
Demokrasi pendidikan harus memberi ruang aktualisasi bagi keragaman kecerdasan.
Al hasil, tidak terbatas pada kecerdasan yang sering diukur dengan IQ (Intelegence Quotient), melainkan juga dengan EQ (Emotional Quotiens), SQ (Spritual Quotient) dan CQ (Civic Quotient).
Mendidik anak tentang bagaimana menumbuhkan kreatifitas dan keingin tahuan seraya terus menyediakan fondasi yang sehat bagi pengembangan budi pekerti, pemikiran kritis, literasi dan matematika adalah cara terbaik menghadapi dunia dengan perubahan teknologi yang begitu pesat.