Hari Kartini 21 April, Implementasi Pemikiran Kartini di Era Digital

Editor: Salman Rasyidin
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Dra. Syafiah Zuhdi MSi

Oleh : Dra. Syafiah Zuhdi MSi

Kasi Pembinaan Kesertaan KB Dinas Pengendalian Penduduk KBP3AD, Kab. Ogan Ilir

Peringatan Hari Kartini, bukanlah sebatas pada seremoni menggunakan kebaya  dan sanggul dalam sehari.

Kartini adalah pejuang pendidikan perempuan In­do­ne­sia di akhir abad ke-19, mengusulkan, agar anak-anak diberi pendidikan mo­dern dan pendidikan budi pekerti (karakter).

Sebab, suatu bangsa yang tidak ber­budi dan bermoral baik, pasti akan mengalami kemunduran.

Kartini yang cerdas

Kartini, yang bernama lengkap Raden Adjeng Kartini ini terlahir dari rahim  se­o­rang ibu bernama Ngasirah, salah satu dari istri Bupati Jepara Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat.

Ibunya, adalah putri Kiyai Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara dengan Nyai Haji Siti Aminah.

Masa kanak-kanaknya yang me­nyenangkan bersekolah dan bergaul dengan teman-teman di Europeesche La­ge­re School (ELS).

Kartini, salah satu murid pribumi perempuan di sekolah itu, si­­kapnya yang lincah, gesit, pandai dan mudah bergaul menjadikannya sangat me­no­njol di sekolahnya yang kebanyakan muridnya adalah anak campuran Belanda –Indonesia dan Belanda.

Kefasihannya dan kemahirannya menulis dalam bahasa Belanda, membuat ia sa­ng­at dikenal ketika sekolahnya ELS kedatangan seorang i­nspektur Belanda.

Ia me­­nyuruh murid sekolah itu membuat karangan dalam bahasa Belanda dan hasil pe­nilaiannya,karangan Kartinilah yang paling Bagus (Gelap-Terang Hidup Kar­tini, hal.30).

Kartini dimasa kanak-kanak, selain memperoleh pendidikan sekolah  barat di ELS o­­leh ayahnya, ia juga memperoleh pendidkan membaca Al qur’an.

Ibunya, anak se­­­orang guru agama yang  dibesarkan dengan nilai-nilai religi yang kuat sangat ke­ras mendidik Kartini dalam hal ibadah.

Kartini adalah muslimah yang taat, wa­laupun ia sebagai anak dari seorang priyayi pada saat itu dan ia seorang anak yang cerdas.

Kakek Kartini dari sebelah ayahnya adalah sebagai Bupati sekaligus u­lama di­ma­kamkan di kompleks Masjid Agung Demak.

Sebab beliau berjasa dalam dak­wah Is­lam.

Kar­tini bangga pada kakeknya, Tjondronegoro yang menjabat sebagai Bu­pati Ku­dus sebelum pemerintah kolonial Belanda menugasinya memimpin Demak telah membuat terobosan pada masa itu yang mendorong anak-anaknya (ayah Kar­tini dan saudara-saudaranya) menempuh pendidikan Barat.

Ayah Kar­ti­ni –me­ni­ru jejak ayahnya, menyekolahkan sebelas anaknya dan meng­anggap putri su­lungnya itu lebih cerdas dari anak-anaknya yang lain, ingin memberikan kebe­bas­an lebih kepada Kartini, namun terbentur tradisi Jawa pada masa itu.

Kartini  yang kita kenal sebagai pelopor emansipasi wanita ini adalah seorang to­koh wanita Indonesia dan Pahlawan Nasional Indonesia di Indonesia, (SK Pre­si­den RI nomer 108, 2/5/1964).

Ia adalah sosok perempuan yang sangat gigih men­di­dik kaumnya, melalui berbagai ide, gagasan untuk memajukan bangsa yang ma­sih bodoh dan miskin pada saat itu.

Perempuan pada masa itu, tidak boleh memi­li­ki keinginan sendiri dan hanya memilki pilihan untuk dinikahkan oleh orang tua­nya.

Memiliki ilmu seperti membaca, menulis, berhitung dan sebagainya di­ang­gap tidak perlu dan tidak penting bagi perempuan, meskipun saat itu sudah ada seko­lah.

Pintu sekolah tertutup untuk anak perempuan dan hanya dikhususkan bagi la­ki-laki, sehingga sekolah-sekolah yang ada pada saat itu, murid-muridnya se­mua adalah laki-laki.

Kartini menulis dalam surat yang ditujukan kepada Jacques A­ben­­danon, Direktur Pendidikan, Agama, dan Industri Hindia Belanda yang ter­mu­at dalam buku Door Duisternis Tot Licht  “pendidikan yang ia per­ju­ang­kan adalah u­paya merawat tradisi pendidikan kakeknya”. (Gelap-Terang Hidup Kartini, hal.­59).

Pendidikan  Karakter Ditengah Kemajemukan Bangsa

Sebagai akibat Politik Etis penjajah Belanda, sejarah menunjukkan pada peng­hu­jung abad ke-19, pendidikan dipandang sebagai hal yang paling esensial.

Dalam pan­dangan pemerintah Hindia Belanda, memberikan pendidikan Barat kepada ke­las penguasa pribumi merupakan sesuatu yang sangat penting untuk melatih elite pri­bumi yang setia dan kooperatif.  

J.H. Abendanon, lebih menyukai pendidikan yang bersifat etis dalam kerangka ambisi mereka untuk mentransformasikan pri­ya­yi tradisional menjadi elite baru yang terdidik secara Barat.

Mengenai pen­di­di­kan bumi putra, Kartini menginginkan semua bumi putra harus memperoleh pen­didikan bagi kalangan manapun dan berlaku untuk semua tanpa membedakan je­nis kelamin.

Keinginan Kartini tersebut atas kenyataan perlakuan diskriminasi yang terjadi pada saat itu, dimana pribumi menjadi golongan kelas dua yang tidak per­lu menjadi pintar mendapatkan pengetahuan menurut pe­me­rintah Belanda ter­utama kaum wanita/perempuannya.

Menurut R.A Kartini me­nun­tut ilmu dan meng­amalkannya adalah suatu kewajiban sehingga pendidikan ba­gi perempuan sa­­ngat penting untuk dapat di implementasikan dalam kehi­dup­annya mengurus rumah tangga.

Selain itu bisa mendidik anak-anaknya dan mengembangkan potensi anak-a­naknya agar kelak berguna.

Kalau kita cermati pemikiran Kartini, ternyata bidang pendidikan merupakan se­suatu yang sangat penting dalam kehidupan manusia.

Sebab, Kartini yakin ha­nya pen­didikan alat satu-satunya untuk mengangkat derajat perempuan dan me­nya­darkan masyarakat tentang pentingnya peran perem­puan dalam mem­bang­un per­adaban.

Pendidikan berarti memelihara hidup-tumbuh kearah kemajuan.

Se­bagai con­toh bisa dilihat dari kepesatan kemajuan Jepang.

Undang-undang Fun­da­mental tentang Pendidikan Tahun 1872, mengekspresikan komitmen publik un­tuk me­mastikan bahwa “tidak ada komunitas dengan anggota keluarga yang tidak melek huruf”.

Di Jepang pada tahun 1910 penduduknya hampir semuanya melek hu­ruf 110 tahun lebih dahulu dibanding Indonesia berdasarkan data BPS Tahun 2020 , angka melek huruf  mencapai 98,29%.

Tantangan rezim pendidikan dan il­mu pengetahuan dalam Republik Indonesia merdeka adalah bagaimana menyi­ng­kir­kan diskriminasi dan memperluas akses terhadap lembaga pendidikan seraya te­tap mempertahankan mutu pendidikan.

Diakui bahwa selama tujuh dekade Indonesia merdeka, pembangunan manusia In­donesia merupakan pembangunan yang amat terbelakang.

Semula ada anggapan bah­wa keterbelakangan pembangunan manusia Indonesia ini merupakan kon­sek­wensi dari besarnya jumlah penduduk Indonesia.

Nyatanya di Negara-negara ber­penduduk besar seperti Amerika Serikat dan Ne­gara-negara berpenduduk besar la­innya dalam kelompok BRICs (Brazil, Rusia, In­dia, China) memperoleh capaian tinggi dalam IPM (Indeks Pembangunan Manusia).

Beruntung Indonesia masih mewarisi sisa-sisa modal sosial yang kuat yang diper­sa­tukan dengan nilai-nilai Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika yang perkem­ba­ng­annya saat ini pun mulai merisaukan dengan tren peluluhan.

Usaha merawat per­satuan untuk memperkuat per­satuan nasional, anak-anak Indonesia harus berke­pri­badian dan berkarakter.

Ka­rakter bukan saja menentukan eksistensi dan kemajuan seseorang, melainkan juga eksistensi dan kemajuan sekelompok orang, seperti sebuah bangsa. (Yudi La­tif, hal. 309)

Pendidikan Era Digital

Sepanjang sejarah manusia, kehidupan telah berkali-kali mengalami disrupsi Dis­rupsi dalam ranah pendidikan sebagai konsekwensi dari perkembangan industry 4.0 pun menjadi perbincangan saat ini.

Bila pada zaman Kartini dahulu jarak an­tar-disrupsi itu beringsut lambat karena kelambanan penemuan teknologi baru, pada masa kini, rentang antar disrupsi itu be­gitu rapat dengan implikasi yang le­bih luas cakupannya dan dalam pene­tra­sinya.

Revolusi Industri 4.0 ini ber­kem­bang diatas dasar revolusi digital yang mengkombinasikan aneka macam tek­no­logi dengan ditandai oleh merebaknya kecendrungan otomatisasi.  

Pertukaran da­ta ter­kini, kecerdasan buatan (artificial intelegence) dan pemanfaatan big data dan perluasan konektivitas secara virtual.

Perkembangan teknologi dari Revolusi In­dustri 4.0 itu secara tak terhindarkan akan menginfiltrasi proses pendidikan.

Dalam mengantisipasi kecepatan perubahan teknologi, menurut Yudi Latif, stra­tegi yang tepat adalah mengembangkan pendidikan berbasis kapabilitas, yang me­nuntut penyiapan peserta didik sebagai manusia pembelajar seumur hidup.

Ma­nusia yang selalu update dengan perkembangan baru dengan kesediaan terus belajar memperbarui dirinya untuk bisa menjawab segala macam tantangan.

Pada ti­tik ini, kedatangan zaman baru tidak berarti mengubah hakikat prinsip pen­di­dikan.

Pendidikan seumur hidup (lifelong education) justru harus dibu­dayakan lebih su­ngguh-sungguh.

Ki Hadjar Dewantara, guru pendidikan kita, se­cara vi­sioner men­definisikan pendidikan sebagai proses belajar menjadi manusia se­utuh­nya dengan mem­pelajari dan mengembangkan kehidupan sepanjang hidup.

Manusia pem­be­lajar harus dibekali dengan kapabilitas dasar dengan dua macam kemam­puan, disatu sisi harus memiliki kelenturan untuk menyesuaikan dengan angin per­ubah­an.

Di sisi lain harus memiliki akar yang kuat agar tidak mudah roboh diterjang a­ngin.

Yang pertama memerlukan daya kreatif-inovatif.

Yang kedua memerlukan daya ka­rakter.

Pendidikan berorientasi kreatif-inovatif harus menghilangkan dis­kri­minasi manusia berdasar jenis intelegensia tertentu yang membuat orang dengan in­­telegensia lain dianggap sampah masyarakat.

Demokrasi pendidikan harus mem­­beri ruang aktualisasi bagi keragaman kecerdasan.

Al hasil, tidak terbatas pa­da kecerdasan yang sering diukur dengan IQ (Intelegence Quotient), melainkan juga dengan EQ (Emotional Quotiens), SQ (Spritual Quotient) dan CQ (Civic Qu­otient).

Mendidik anak tentang bagaimana menumbuhkan kreatifitas dan keingin tahuan seraya terus menyediakan fondasi yang sehat bagi pengembangan bu­di pekerti, pemikiran kritis, literasi dan matematika adalah cara terbaik meng­hadapi dunia dengan perubahan teknologi yang begitu pesat.

Berita Terkini