Mimbar Jumat
Refleksi Ruhani di Bulan Merdeka, Memaknai Kebebasan Jiwa saat Tidur
Tidur bukan sekadar peristirahatan fisik, melainkan juga sebuah fase spiritual yang menyerupai kematian dan bernilai ibadah jika sesuai sunnah.
KETIKA malam menyelimuti bumi dan hiruk-pikuk dunia mulai mereda, manusia satu per satu menutup matanya, tenggelam dalam dunia sunyi bernama tidur. Bagi sebagian orang, tidur hanyalah kebutuhan biologis. Namun bagi seorang muslim yang menapaki jalan keimanan, tidur seharusnya menyimpan makna yang jauh lebih dalam.
Tidur bukan sekadar peristirahatan fisik, melainkan juga sebuah fase spiritual yang menyerupai kematian. Inilah yang dalam khazanah Islam disebut sebagai al-maut ash-shughra, kematian kecil. Konsep tidur sebagai kematian kecil secara eksplisit disebutkan dalam al-Qur’an surah al-Zumar ayat 42:
"Allah mewafatkan jiwa (orang) ketika matinya dan (juga) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahan jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan."Ayat ini menegaskan bahwa dalam tidur, ruh manusia "diambil" oleh Allah. Jika kematian belum ditetapkan, ruh itu akan dikembalikan. Jika tidak, ia tidak akan bangun kembali ke dunia.
Rasulullah SAW menguatkan pemahaman ini dalam sabdanya: "Tidur adalah saudara kematian." (H.R al-Baihaqi, 10209).
Kata “saudara” dalam hadis ini menunjukkan adanya hubungan erat. Keduanya serupa dalam mekanisme: ruh keluar dari tubuh, dunia terasa "ditinggalkan", dan kesadaran menghilang. Bahkan, Rasul SAW mengajarkan doa sebelum tidur: "Bismika Allahumma ahya wa amuut." (Dengan nama-Mu ya Allah, aku hidup dan aku mati) (H.R. al-Bukhariy, 6311).
Doa ini mencerminkan pemahaman bahwa tidur adalah bagian dari siklus hidup dan mati yang terjadi setiap hari. Setiap malam "mati", dan setiap pagi "dihidupkan" kembali. Tidur adalah bentuk latihan menghadapi kematian sejati.
Para ulama generasi awal memahami tidur sebagai bentuk ibadah. Bukan hanya karena niat yang benar, tetapi juga karena adab yang dijaga. Berwudhu sebelum tidur, membaca doa, tidur menghadap kiblat, dan tidak membiarkan tidur tanpa persiapan ruhani.
"Apabila kamu mendatangi tempat tidurmu, maka berwudhulah sebagaimana wudhu untuk shalat, kemudian berbaringlah di sisi kanan tubuhmu" (H.R.al-Bukhari, 247).
Kebiasaan ini tidak hanya membersihkan jasad, tetapi juga mempersiapkan ruh untuk "kembali" kepada Allah. Maka, jika malam itu adalah malam terakhir di dunia, ia telah tidur dalam keadaan suci. Tidur, karena kemiripannya dengan kematian, seharusnya memperkuat dzikirul maut (mengingat mati).
Sabda Rasul: "Perbanyaklah mengingat pemutus segala kenikmatan, yaitu kematian." (HR. at-Tirmidzi, 2307).
Selain membaca doa kebiasan rutin Rasulullah sebelum tidur adalah membaca ayat kursi (H.R. al-Bukhariy, 2311), membaca tiga surat terakhir sebelum tidur yaitu; Al-Ikhlas (Q.S. 112), Al-Falaq (Q.S. 113) dan An-Naas (Q.S. 114), kemudian meniup ke telapak tangan dan mengusapkan ke seluruh tubuh (H.R. al-Bukhariy, 5017). Tentunya tidak lupa Rasulullah mengatur posisinya menghadap ke kanan (H.R. al-Bukhariy, 247).
Semua ini menunjukkan bahwa tidur yang biasa saja bisa berpahala, jika diniatkan dan dijalankan sesuai sunnah.
Selain itu hal yang penting untuk dipahami dalam hakikat tidur adalah adanya kekuatan spiritual yang memiliki kemampuan untuk menghentikan rutinitas duniawi dan memberikan ruang bagi pembaruan niat. Dalam tidur manusia "melepaskan" dunia, dan saat bangun bisa memulai kembali dari awal. Nabi SAW bersabda:
"Sesungguhnya setiap amal tergantung pada niatnya" (H.R. al-Bukhariy, 1).
Hadis ini menegaskan bahwa niat menjadi ruh amal. Tidur, dalam bentuknya yang paling dasar, hanyalah aktivitas biologis. Tapi dalam Islam, jika diniatkan untuk menjaga kesehatan agar kuat beribadah, dilakukan dengan adab (berwudhu, berdoa, berdzikir), maka tidur itu bernilai ibadah.
Sebaliknya, begadang seorang fasik untuk maksiat, ghibah, perjudian, tontonan tak bermoral, atau bahkan sekadar lalai dari zikir justru menjadi sumber dosa, meski tampak “aktif” dan “produktif”. Ia menghabiskan malam bukan dalam ketaatan, tapi dalam kelalaian.
Dengan memahami hakikat tidur, kita bisa memperlakukan setiap pagi sebagai kelahiran baru. Sangat disayangkan jika gaya hidup modern masa kini justru menjauhkan manusia dari makna spiritual tidur.
Penyalahgunaan teknologi, lembur, dan kecanduan media sosial membuat banyak orang mengorbankan tidur. Tidak sedikit orang begadang demi hiburan, urusan dunia, atau bahkan perbuatan haram. Ironisnya, mereka malah terbangun kesiangan untuk shalat Subuh dan memulia aktivitas di pagi hari.
Sementara sorang yang tidur lebih awal demi menjaga kesehatan dan bangun malam untuk tahajud atau Subuh berjamaah, mendapat nilai besar di sisi Allah meski aktivitas malamnya tampak "biasa".
Kurang tidur dapat merusak fisik dan menggerus ruhani. Rasulullah SAW adalah teladan seimbang, beliau tidur di awal malam dan bangun di sepertiga malam terakhir untuk beribadah. Tidur bukan hanya “tutup mata” tetapi “membuka ruh” untuk bertemu Allah dalam diam. Bahkan dalam mimpi, seseorang bisa menerima isyarat, peringatan, atau ilham. Sabda Rasul:
"Mimpi seorang mukmin adalah satu bagian dari empat puluh enam bagian kenabian" (H.R. al-Bukhariy, 2263).
Jika tidur dijalani dalam kesucian dan ketenangan, maka ia bisa menjadi sarana menerima petunjuk ilahi. Namun jika tidur diiringi dengan dosa, lalai, dan keburukan, ia hanya menjadi pelarian duniawi.
Bangun dari tidur tidak boleh dianggap biasa. Dalam al-Qur’an di antaranya pada surat al-Mulk ayat 15, kebangkitan di hari kiamat disebut sebagai al-nusyur istilah yang sama digunakan dalam doa bangun tidur: "Alhamdulillahilladzi ahyana ba’da maa amatana wa ilaihin-nusyur." (Segala puji bagi Allah yang menghidupkan kami kembali setelah mematikan kami, dan hanya kepada-Nya kami akan kembali) (H.R. al-Bukhariy, 6312).
Bangun tidur adalah simbol dari kebangkitan di akhirat. Oleh karena itu, seorang muslim seharusnya menjadikan bangun tidur sebagai momen syukur, sekaligus refleksi akan akhir kehidupan. Tidak ada jaminan akan bangun keesokan harinya.
Maka, setiap tidur adalah ujian keimanan, dan setiap bangun adalah karunia yang harus disambut dengan amal. Hari ini adalah kesempatan yang tidak dimiliki oleh mereka yang wafat tadi malam. Maka, tidak ada alasan untuk menunda amal, menumpuk dosa, atau menangguhkan taubat.
Agustus adalah bulan kemerdekaan Indonesia. Biasanya diperingati dengan upacara, lomba, dan nostalgia perjuangan. Namun dalam konteks tidur sebagai kematian kecil, ada refleksi lain yang patut direnungkan. Kemerdekaan adalah bentuk "bangun" dari tidur panjang penjajahan.
Rakyat Indonesia "dibangunkan" oleh para pahlawan dari ketakutan, kebodohan, dan ketertindasan. Seperti bangun dari tidur malam, kemerdekaan adalah peluang untuk membangun peradaban baru.
Tidur hanya menjadi berkah jika diiringi bangun yang bermakna. Demikian pula kemerdekaan. Ia hanya berarti jika diikuti dengan kebangkitan moral, intelektual, dan spiritual. Jika tidak, hal ini hanya mengganti bentuk penjajahan dari asing menjadi domestik, dari fisik menjadi mental, dari senjata menjadi kemalasan dan korupsi.
Seperti tidur yang bisa menjadi awal kebangkitan, maka maknai kemerdekaan sebagai awal perubahan.
Semua individu tidak tahu kapan tidur terakhir akan datang. Maka, jadikan setiap bangun sebagai kemerdekaan dari dosa, dan setiap tidur sebagai penutup hari dengan iman. Dalam Islam, tidak ada aktivitas netral. Semua bisa bernilai ibadah jika disertai niat dan adab.
Tidur termasuk di dalamnya. Bahkan, tidur seorang mukmin bisa lebih bernilai daripada begadang seorang fasik. Ungkapan ini bukanlah hadis Rasul secara langsung bukan pula teks ayat al Qur’an, namun merupakan hikmah sarat makna yang disarikan oleh para ulama dari beragam sumber syariat Islam.
Imam al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din menyatakan: "Boleh jadi tidur dan makan seseorang lebih utama daripada shalat dan puasa orang lain, karena niatnya.” Demikian pula Imam Ibn Qayyim menyebut: "Amal kecil bisa menjadi besar karena niat, dan amal besar bisa menjadi kecil karena niat."
Ini menegaskan bahwa nilai amal bukan pada aktivitasnya semata, melainkan pada orientasi batiniah pelakunya. Nilai suatu amal tidak diukur hanya dari bentuk lahiriahnya, melainkan dari niat, tujuan, dan dampaknya terhadap ketakwaan dan kemaslahatan.
Jika seorang tidur dengan niat mengistirahatkan tubuh agar bisa lebih kuat beribadah, maka tidurnya dicatat sebagai pahala. Jika tidur dilakukan dengan dzikir, taubat, dan niat memperbaiki diri, maka tidur itu menjadi cahaya di malam hari.
Tidak ada yang tahu apakah malamnya akan berlanjut ke pagi. Tidak ada pula yang tahu apakah tidur ini adalah yang terakhir. Maka jangan tidur dalam keadaan berdosa. Jangan tidur tanpa mengingat Allah dan jangan bangun tanpa bersyukur.
Dalam tidur, belajar melepaskan. Dalam bangun, belajar bersyukur. Dan dalam kematian, manusia akan dipanggil untuk mempertanggungjawabkan segalanya. Maka, jadikan tidur sebagai ibadah yang mendidik jiwa agar siap menghadapi tidur yang tak akan terbangun lagi. Karena pada akhirnya, kemerdekaan sejati bukan hanya bebas dari penjajahan, tetapi juga bebas dari kelalaian. Dan tidur yang benar adalah tidur yang membebaskan ruh dari kelalaian, untuk kembali kepada-Nya dengan penuh kesadaran. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.