Mimbar Jumat
Refleksi Ruhani di Bulan Merdeka, Memaknai Kebebasan Jiwa saat Tidur
Tidur bukan sekadar peristirahatan fisik, melainkan juga sebuah fase spiritual yang menyerupai kematian dan bernilai ibadah jika sesuai sunnah.
Sebaliknya, begadang seorang fasik untuk maksiat, ghibah, perjudian, tontonan tak bermoral, atau bahkan sekadar lalai dari zikir justru menjadi sumber dosa, meski tampak “aktif” dan “produktif”. Ia menghabiskan malam bukan dalam ketaatan, tapi dalam kelalaian.
Dengan memahami hakikat tidur, kita bisa memperlakukan setiap pagi sebagai kelahiran baru. Sangat disayangkan jika gaya hidup modern masa kini justru menjauhkan manusia dari makna spiritual tidur.
Penyalahgunaan teknologi, lembur, dan kecanduan media sosial membuat banyak orang mengorbankan tidur. Tidak sedikit orang begadang demi hiburan, urusan dunia, atau bahkan perbuatan haram. Ironisnya, mereka malah terbangun kesiangan untuk shalat Subuh dan memulia aktivitas di pagi hari.
Sementara sorang yang tidur lebih awal demi menjaga kesehatan dan bangun malam untuk tahajud atau Subuh berjamaah, mendapat nilai besar di sisi Allah meski aktivitas malamnya tampak "biasa".
Kurang tidur dapat merusak fisik dan menggerus ruhani. Rasulullah SAW adalah teladan seimbang, beliau tidur di awal malam dan bangun di sepertiga malam terakhir untuk beribadah. Tidur bukan hanya “tutup mata” tetapi “membuka ruh” untuk bertemu Allah dalam diam. Bahkan dalam mimpi, seseorang bisa menerima isyarat, peringatan, atau ilham. Sabda Rasul:
"Mimpi seorang mukmin adalah satu bagian dari empat puluh enam bagian kenabian" (H.R. al-Bukhariy, 2263).
Jika tidur dijalani dalam kesucian dan ketenangan, maka ia bisa menjadi sarana menerima petunjuk ilahi. Namun jika tidur diiringi dengan dosa, lalai, dan keburukan, ia hanya menjadi pelarian duniawi.
Bangun dari tidur tidak boleh dianggap biasa. Dalam al-Qur’an di antaranya pada surat al-Mulk ayat 15, kebangkitan di hari kiamat disebut sebagai al-nusyur istilah yang sama digunakan dalam doa bangun tidur: "Alhamdulillahilladzi ahyana ba’da maa amatana wa ilaihin-nusyur." (Segala puji bagi Allah yang menghidupkan kami kembali setelah mematikan kami, dan hanya kepada-Nya kami akan kembali) (H.R. al-Bukhariy, 6312).
Bangun tidur adalah simbol dari kebangkitan di akhirat. Oleh karena itu, seorang muslim seharusnya menjadikan bangun tidur sebagai momen syukur, sekaligus refleksi akan akhir kehidupan. Tidak ada jaminan akan bangun keesokan harinya.
Maka, setiap tidur adalah ujian keimanan, dan setiap bangun adalah karunia yang harus disambut dengan amal. Hari ini adalah kesempatan yang tidak dimiliki oleh mereka yang wafat tadi malam. Maka, tidak ada alasan untuk menunda amal, menumpuk dosa, atau menangguhkan taubat.
Agustus adalah bulan kemerdekaan Indonesia. Biasanya diperingati dengan upacara, lomba, dan nostalgia perjuangan. Namun dalam konteks tidur sebagai kematian kecil, ada refleksi lain yang patut direnungkan. Kemerdekaan adalah bentuk "bangun" dari tidur panjang penjajahan.
Rakyat Indonesia "dibangunkan" oleh para pahlawan dari ketakutan, kebodohan, dan ketertindasan. Seperti bangun dari tidur malam, kemerdekaan adalah peluang untuk membangun peradaban baru.
Tidur hanya menjadi berkah jika diiringi bangun yang bermakna. Demikian pula kemerdekaan. Ia hanya berarti jika diikuti dengan kebangkitan moral, intelektual, dan spiritual. Jika tidak, hal ini hanya mengganti bentuk penjajahan dari asing menjadi domestik, dari fisik menjadi mental, dari senjata menjadi kemalasan dan korupsi.
Seperti tidur yang bisa menjadi awal kebangkitan, maka maknai kemerdekaan sebagai awal perubahan.
Semua individu tidak tahu kapan tidur terakhir akan datang. Maka, jadikan setiap bangun sebagai kemerdekaan dari dosa, dan setiap tidur sebagai penutup hari dengan iman. Dalam Islam, tidak ada aktivitas netral. Semua bisa bernilai ibadah jika disertai niat dan adab.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.