Dokter di Sekayu Alami Kekerasan

RSUD Sekayu Bantah Bedakan Layanan VIP dan BPJS, Tegaskan Dokter Spesialis Bertugas Setiap Hari

Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Sekayu di Kabupaten Musi Banyuasin (Muba) menjadi perbincangan publik

Penulis: Fajeri Ramadhoni | Editor: Yandi Triansyah
tangkapan layar
SALAMAN - Keluarga pasien (kiri) menyalami Dokter Syahpri meminta maaf saat dipertemukan di RSUD Sekayu, Rabu (13/8/2025). Dokter Syahpri sendiri sudah melaporkan kejadian ini ke Polres Muba 

SRIPOKU.COM, SEKAYU - Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Sekayu di Kabupaten Musi Banyuasin (Muba) menjadi perbincangan publik setelah muncul keluhan mengenai dugaan perbedaan pelayanan antara pasien umum, BPJS, dan VIP.

Menanggapi hal ini, Humas RSUD Sekayu Dwi, memastikan bahwa tidak ada diskriminasi dalam pelayanan medis.

Ia menegaskan, perbedaan hanya terletak pada fasilitas kamar, bukan pada kualitas tindakan medis.

"Pelayanan pasien RSUD Sekayu tidak pernah membedakan pasien umum atau BPJS, baik VIP, kelas 1, 2, maupun 3. Hanya fasilitasnya saja yang berbeda," ujar Dwi, Kamis (15/8/2025).

Dwi juga menanggapi keluhan masyarakat yang menganggap pelayanan VIP masih kurang memuaskan, terutama jika dibandingkan dengan rumah sakit besar di kota-kota lain.

Ia menjelaskan bahwa biaya layanan medis tidak seperti tarif hotel yang bersifat paket, melainkan sangat bergantung pada diagnosis penyakit pasien.

"Biaya layanan tidak seperti hotel yang tarifnya langsung paket. Nilai nominal tergantung diagnosa penyakit," tambahnya.

Terkait kasus yang viral mengenai pasien yang disebut-sebut menunggu lama untuk pemeriksaan laboratorium, Dwi meluruskan bahwa masalah tersebut bukan karena lambatnya pelayanan, melainkan kondisi pasien yang belum memungkinkan untuk memberikan sampel.

"Pasien belum bisa memberikan sampel pemeriksaan yang dibutuhkan. Dokter dan perawat sudah memberi edukasi dan juga obat-obatan untuk mempercepat proses pengambilan sampel," tegas Dwi, mengklarifikasi bahwa tim medis sudah memberikan penanganan yang diperlukan.

Poliklinik syaraf melayani pasien dengan dr. Laila Zamhariro, Sp.S, dr. Nursaenah, Sp.N, serta dr. Fulvian Budi Azhar, Sp.N, FINA. Kulit (D.V.E) ditangani dr. Riri Puspa PP, Sp.D.V.E dan dr. Khairani, Sp.DVE. Onkologi toraks paru oleh dr. Povi Pada Indarta, Sp.P(K)ONK. Layanan jiwa oleh dr. Rizki Yanies, Sp.KJ. Penyakit dalam sub ginjal dan hipertensi oleh dr. Syahpri Putra Wangsa, Sp.PD.K-G.H.

Poliklinik bedah melibatkan dr. Alicia Agustine, Sp.B dan dr. Hendra Cipta, Sp.B. Poliklinik THT oleh dr. Nelly Oktriyani, Sp.THT-KL dan dr. Nyayu Syarah A., Sp.THT-KL. Poliklinik anak melibatkan dr. Muslimin, Sp.A dan dr. Deisy Elfrina, Sp.A. Psikologi dilayani Mulia Marita Lasutri T., M.Psi., Psikolog.

Poliklinik gigi diisi drg. Wiwik Mayanti, Sp.PM, drg. Adi Nugroho, drg. Vebfin Atfiando, Sp.K.G, dan drg. Daisy Risviany. Bedah onkologi ditangani dr. Oyon Istambul, Sp.B(K)ONK. Fisioterapi dilayani dr. Jalalin, Sp.RM pada pukul 07.00 sampai 11.00. Bedah vaskular dan endovaskular oleh dr. Amsal Pebruanto Sinaga, Sp.B, Subsp.BVE(K). Penyakit dalam sub gastroenterologi-hepatologi oleh dr. Febry Rahmayani, Sp.PD.K-G.E.H.

"Dengan jumlah tersebut, RSUD Sekayu memastikan ketersediaan dokter spesialis setiap hari kerja, sehingga pasien baik umum, BPJS, maupun VIP dapat mengakses layanan medis sesuai kebutuhan,"ungkapnya.

Kasus ini berawal dari sebuah video berdurasi 41 detik yang memperlihatkan momen di ruang perawatan RSUD Sekayu mendadak viral di media sosial dan memicu reaksi luas dari warganet.

Video tersebut diunggah oleh akun Muba Akor dan menunjukkan insiden saat seorang dokter diperiksa pasien namun kemudian dipaksa untuk membuka masker oleh keluarga pasien.

Dalam rekaman tersebut, terlihat keluarga pasien meminta dokter melepas masker yang dikenakannya.

Namun, sang dokter menolak dengan alasan mengikuti Standar Operasional Prosedur (SOP) rumah sakit yang mengharuskan tenaga kesehatan tetap memakai masker saat menjalankan tugas.

Situasi memanas ketika diduga salah satu anggota keluarga pasien memegang bagian belakang leher dokter sambil memaksa membuka masker.

Pada akhirnya, dokter tersebut terlihat membuka maskernya, meskipun masih tampak ada tekanan dari pihak keluarga.

Tanggapan Keluarga Pasien

Ismet Syaputra, anak dari pasien yang dirawat, akhirnya buka suara, mengungkap alasan di balik tindakannya yang memicu kontroversi.

Bagi Ismet, semua bermula dari harapan akan pelayanan terbaik. Ia mendaftarkan ibunya, sebagai pasien umum atau VIP di RSUD Sekayu pada hari Jumat, dengan harapan penanganan yang cepat dan maksimal untuk penyakit diabetes komplikasi yang diderita.

Namun, harapan itu perlahan pupus. Meskipun kondisi ibunya membaik demam turun dan gula darah stabil mereka harus menunggu selama empat hari, hingga Selasa, untuk bertemu dengan dokter spesialis penanggung jawab.

“Kami memilih pelayanan umum atau VIP karena ingin pelayanan maksimal. Kalau dokter tidak ada saat akhir pekan, apa bedanya dengan BPJS? Sedangkan VIP saja seperti ini,” keluh Ismet, Rabu (13/8/2025).

Kekecewaannya memuncak saat mengetahui hasil pemeriksaan dahak ibunya yang ia klaim sudah ada sejak Sabtu, namun baru ditindaklanjuti pada hari Selasa.

Saat ia mencoba meminta kejelasan, jawaban yang ia terima justru menyulut emosinya.

“Bagaimana saya bisa bersyukur melihat ibu saya terbaring sakit?” ungkap Ismet, menirukan saran yang ia terima.

“Saya tersulut emosi dan meminta dokter melepas masker untuk memastikan beliau benar dokter atau bukan,” akunya.

Baginya, pengalaman ini adalah potret nyata dari pelayanan yang harus dievaluasi oleh pihak rumah sakit.

Perspektif Dokter

Di sisi lain, dr. Syahpri Putra Wangsa memberikan gambaran situasi dari sudut pandang medis yang penuh risiko.

Ia menjelaskan bahwa saat hendak memasuki ruang perawatan, seorang perawat telah memberinya peringatan.

"Perawat yang bertugas memberi tahu bahwa keluarga pasien sedang marah-marah," ujarnya.

Mengenai penantian pasien, dr. Syahpri menjelaskan bahwa dokter jaga dan perawat adalah perpanjangan tangan dokter spesialis yang tidak mungkin berada di rumah sakit 24 jam sehari, terutama di akhir pekan.

Namun, alasan utama ia bersikeras memakai masker bukanlah karena arogansi, melainkan demi keamanan berdasarkan Standar Operasional Prosedur (SOP).

“Kenapa saya memakai masker? Karena dari hasil rontgen dan radiologi ditemukan bercak pada paru-paru pasien yang diindikasikan TBC, salah satu penyakit yang sulit ditangani. Pemakaian masker itu SOP pemeriksaan indikasi penyakit TBC,” jelasnya.

Merasa situasi memanas, dr. Syahpri mengaku telah mengantisipasi dengan meminta satu perawat merekam dan satu lagi memanggil keamanan.

“Saya bilang kalau buka masker di luar saja sesuai SOP. Tapi mereka tetap memaksa dan melepas masker saya,” tuturnya.

Bahkan setelah insiden itu, ia masih mengkhawatirkan keselamatan para perawat perempuan di sekitarnya yang masih harus berhadapan dengan emosi keluarga pasien.

Dokter Melapor ke Polisi

dr Syahpri berharap tidak ada lagi tenaga nakes di Indonesia yang akan mengalami hal seperti ini lagi.

Baginya, sudah cukup banyak kasus kekerasan yang menimpa tenaga nakes.

Ia juga mengaku akan mengambil sikap tegas atas kasus yang menimpanya.

"Yang jelas, saya mewakili seluruh nakes di Indonesia, jangan sampai terjadi Syahpri Syahpri yang lain.

Jadi kita harus menentukan sikap, harus tegas," ujar Dokter Syahpri Rabu (13/8/2025).

Lebih lanjut Dokter Syahpri menyebut kejadian ini sungguh membahayakan posisi para tenaga kesehatan.

Baik para perawat, dokter umum, hingga dokter spesialis.

Apalagi untuk menjadi seorang dokter dan tenaga kesehatan tentu tidak mudah dan membutuhkan banyak uang dan waktu.

"Kalau terjadi lagi seperti ini akan membahayakan nakes.

Dalam hal ini perawat, dokter umum, bukan hanya spesialis saja.

Itu adalah garda terdepan, kalau mereka terancam, gimana?

Sedangkan untuk sekolah menjadi seorang dokter itu, tidak mudah.

Belum lagi dari biayanya yang luar biasa, dari waktu yang harus dibuang, meninggalkan istri-anak untuk sekolah, itu luar biasa, tidak mudah," jelasnya.

Selain itu, Dokter Syahpri sudah mengaku sudah mengambil sikap untuk melaporkan keluarga pasien ke pihak berwajib.

"Sudah kita laporkan, jadi sekarang kita menunggu saja (red: proses hukum)," jelasnya.

Sumber: Sriwijaya Post
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved