Mimbar Jumat
Pascahaji: Menjaga Kesucian Jiwa di Tengah Dunia
Menunaikan ibadah haji adalah puncak dari perjalanan religius yang penuh dengan pengorbanan, ketabahan, dan ketundukan kepada Allah Swt.
IBADAH haji merupakan salah satu rukun Islam yang memiliki nilai spiritual yang sangat tinggi. Bagi seorang muslim, menunaikan ibadah haji adalah puncak dari perjalanan religius yang penuh dengan pengorbanan, ketabahan, dan ketundukan kepada Allah Swt.
Namun, tantangan sebenarnya justru muncul setelah pulang dari Tanah Suci. Setelah kembali ke tanah air, banyak jamaah haji yang merasakan euforia spiritual.
Namun seiring waktu godaan dunia kembali menghampiri. Kesibukan kerja, hiruk pikuk kehidupan seringkali mengaburkan Kesan-kesan suci yang didapat selama haji.
Ibadah haji bukan sekadar perjalanan fisik menuju Makkah dan Madinah. Ia adalah ekspedisi batin, pengembaraan spiritual yang menuntut kerendahan hati, pengorbanan, dan keikhlasan.
Dari wukuf di Arafah yang sarat makna, melempar jumrah yang penuh simbol perlawanan terhadap hawa nafsu, hingga thawaf yang mengingatkan manusia akan pusat hidup yang sejati, semuanya merupakan pelatihan untuk menjadi manusia paripurna.
Maka ketika rangkaian haji telah usai dan gelar “Haji” atau “Hajjah” disematkan, pertanyaan penting pun muncul: apa yang akan dibawa pulang dari Makkah selain air zamzam dan kurma? Jawaban idealnya tentu adalah kesucian jiwa dan komitmen moral untuk berubah menjadi insan yang lebih baik.
Rasulullah SAW bersabda, "Haji yang mabrur balasannya adalah surga." Namun ulama menegaskan bahwa mabrur tidak hanya diukur dari kekhusyukan saat berhaji, tetapi juga dari perubahan sikap setelahnya.
Orang yang hajinya mabrur akan terlihat dalam tutur katanya yang lembut, perilaku sosial yang jujur, dan ibadah yang semakin konsisten.
Dalam realitas kehidupan, tidak mudah menjaga kemurnian hati yang sudah dilatih selama berhaji. Dunia setelah haji tetaplah dunia yang penuh tantangan. Kita kembali menghadapi godaan harta, jabatan, ego, dan nafsu.
Di sinilah ujian sejati dimulai. Apakah kesabaran yang ditempa selama di Mina dan Arafah akan bertahan ketika menghadapi kemacetan di jalan raya atau intrik politik di kantor?
Kemabruran itu seperti bunga yang harus terus dipupuk dan disiram. Ia butuh perhatian, pemeliharaan, dan perlawanan terus-menerus terhadap godaan duniawi.
Jika tidak, maka perlahan-lahan, kilau spiritual pasca-haji akan memudar dan kita kembali menjadi manusia “yang lama”, mudah emosi, penuh keluh kesah dan pelit.
Ada beberapa langkah konkret yang bisa dilakukan oleh para haji agar kesucian jiwa tetap terjaga dalam realitas dunia yang penuh ujian ini:
Pertama, menjaga keikhlasan dan ibadah rutin dengan menjaga salat berjamaah, membaca Al-Qur’an setiap hari, dan memperbanyak zikir bisa menjadi ‘charger’ spiritual harian.
Rutinitas ibadah ini mengingatkan kita bahwa meski telah meninggalkan Ka’bah secara fisik, hati kita tetap bertawaf kepada-Nya.
Kedua, berakhlak mulia dalam interaksi sosial. Haji mabrur harus tercermin dalam tutur kata dan perilaku. Bersikap jujur, rendah hati, sabar, dan penuh kasih adalah cerminan jiwa yang telah dibersihkan selama berhaji.
Ketiga, aktif dalam amal sosial. Spirit haji harus membumi. Para haji idealnya menjadi motor penggerak kebaikan di masyarakat. Mereka bisa menjadi pembela kaum lemah, penggerak pendidikan, atau donatur tetap kegiatan sosial keagamaan.
Keempat, menjaga etika dan integritas dalam bekerja. Kesucian jiwa setelah haji juga diuji di tempat kerja.
Kelima, menjadi teladan bagi keluarga dan lingkungan. Sebaik-baik haji adalah yang setelahnya menjadi contoh teladan bagi anak-anaknya, tetangganya, dan masyarakat luas. Bukan sekadar gelar, tetapi menjadi “Haji” dalam makna sejati.
Tidak ada jaminan bahwa dunia akan berubah menjadi lebih baik setelah kita berhaji. Kita tetap akan bertemu dengan orang yang menyebalkan, situasi yang menjengkelkan, dan sistem sosial yang tidak ideal.
Namun, justru di situlah makna haji diuji. Bisakah kita tetap menjadi pribadi yang lurus, jujur, dan sabar di tengah dunia yang bengkok dan keras?
Bukan dunia yang harus suci agar kita suci. Tetapi kitalah yang harus menjaga kesucian jiwa, agar cahaya haji tidak hanya bersinar di Makkah, tetapi juga menerangi lorong-lorong kehidupan di tanah air.
Gelar "Haji" hanyalah panggilan. Tapi menjadi “haji” dalam pengertian moral dan spiritual adalah tugas seumur hidup. Setelah pulang dari Tanah Suci, kita tidak sedang kembali kepada dunia lama.
Kita membawa diri yang baru, diri yang telah ditarbiyah langsung oleh Allah melalui ritual-ritual agung. Menjadi “haji” seumur hidup artinya tidak hanya beribadah di masjid, tetapi juga menjadikan setiap aktivitas sebagai bentuk penghambaan.
Kita bisa menjadi haji yang sejati di ruang kerja, di jalan raya, di ruang rapat, bahkan di media sosial selama kita membawa nilai-nilai kesucian dan kemabruran dalam setiap langkah.
Haji bukan garis akhir. Ia adalah garis awal dari perjalanan baru yang lebih bermakna. Pasca-haji adalah fase kehidupan yang menantang sekaligus menjanjikan.
Jika berhasil menjaga kesucian jiwa di tengah hiruk pikuk dunia, maka sesungguhnya kita telah menapaki jalan menuju surga, seperti yang dijanjikan dalam sabda Rasulullah. Mari jadikan haji sebagai titik tolak perubahan.
Haji yang mabrur bukan dilihat dari gelar atau atribut yang melekat, melainkan dari perubahan akhlak dan konsistensi dalam ketaatan. Semoga setiap jamaah haji bisa menjadi insan yang terus menjaga kesucian jiwa, menjadi Cahaya bagi diri sendiri dan masyarakat, serta meraih Ridha Allah Swt di dunia dan akhirat. Aamiin Ya Rabbal ‘Alamin. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.