Opini

Strategi Hidup Dalam Komunitas

RASULULLAH bersabda bahwa bagi siapa yang keluar dari jamaah walau sejengkal, maka sungguh telah terlepas ikatan Islam dari lehernya

Editor: Yandi Triansyah
Dokumen Pribadi
Prof. Dr. Hj. Uswatun Hasanah, M.Ag Dirda LPPK Sakinah Kota dan Dosen UIN Raden Fatah Palembang 

Oleh : Prof. Dr. Hj. Uswatun Hasanah, M.Ag 

Dekan Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam Dirda LPPK Sakinah Kota Palembang

SRIPOKU.COM -  RASULULLAH bersabda bahwa bagi siapa yang keluar dari jamaah walau sejengkal, maka sungguh telah terlepas ikatan Islam dari lehernya (Ibn Hanbal, 4/ 202).Berjama’ah yang dimaksudkan dalam hadis adalah bersatu padu atau bersama-sama (Q.S. 4: 71).

Kesatuan yang tidak hanya terkait secara zahir tetapi yang lebih utama adalah keterikatan rasa. Model persatuan ini hanya ada dalam komunitas masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai Islam dengan tepat dan memberi makna pada menjalin silaturahmi (Q.S. 59: 14).

Banyak hal yang menjadi utama ketika dilakukan secara bersama-sama terlebih untuk kepentingan orang banyak. Tidak hanya manusia bahkan Allah sebagai Penguasa Semesta membatalkan hukum yang telah ditetapkan-Nya demi melaksanakan kepentingan manusia sebagai individu terlebih lagi sebagai kelompok masyarakat.

Misalnya kebolehan melaksanakan shalat jenazah pada waktu yang dilarang. Dari Ibnu Abbas berkata: “Orang-orang yang diridhai mempersaksikan kepadaku dan di antara mereka yang paling aku ridhai adalah Umar, (mereka semua mengatakan) bahwa Nabi melarang shalat setelah Shubuh hingga matahari terbit dan setelah Ashar sampai matahari terbenam (al-Bukhariy, 547).

Meskipun terdapat perbedaan di kalangan ulama tentang makna pelarangan shalat dalam hadis, namun pendapat terbanyak adalah makruh melaksanakan shalat yang tidak ada sebabnya.  

Shalat sunnat rawatib yang lebih utama untuk dikerjakan akan tetapi dilarang untuk dilaksanakan pada waktu tersebut.

Namun pelarangan seolah tidak berlaku ketika ada jenazah yang harus dishalatkan. Makruh berubah menjadi diperbolehkan bahkan diutamakan terlebih pada kondisi yang menuntut untuk meyegerakan pemakaman (Ibn Hajar, Fathul Baary, 3/429-433).

Melalui hidup berkomunitas menjadi jalan bagi terlepasnya musibah. Salah satu problem sosial yang menjadikan kebersamaan sebagai jalan keluarnya ialah menanggulangi kemiskinan.

Sebagai sebuah persoalan yang terus berlangsung, kemiskinan hadir menghantui seluruh lapisan masyarakat, menjadi persoalan yang tidak hanya terjadi di negara berpenghasilan rendah tetapi juga di negara maju (Eivend, 2013).

Kemiskinan bukan hanya pesoalan manusia secara individual tetapi juga menjadi persoalan masyarakat yang membutuhkan kebijakan negara dan pemerintah (Lymbery, 2020).

Berbagai upaya dilakukan untuk memberantas persoalan ini, termasuk di antaranya dengan jalan mengeluarkan zakat, infak dan sedekah (Asperen, 2015, Stolleis, 2013) Islam tidak membiarkan para fakir miskin dengan segala kekurangannya sendirian.

Allah telah menetapkan hak mereka pada para orang kaya dalam satu bagian yang disebut zakat atau sedekah wajib. Karena sesungguhnya tujuan utama perintah membayar zakat adalah untuk membantu mencukupi kebutuhan fakir miskin (Q.S. 9:60).  

Secara lebih khusus Rasulullah menegaskan bahwa sedekah bisa menjadi solusi bagi orang yang tertimpa musibah bahkan mampu untuk mencegah datangnya musibah.

Hakikat sedekah adalah berbisnis dengan Allah. Rumusannya melibatkan Allah dan tertolong karena bantuan Allah (Muslim, 299).

Sebagai makhluk sosial manusia tidak dapat hidup tanpa orang lain. Karenanya sedekah menjadi sebuah solusi guna menjawab datangnya musibah sebagai ketetapan Allah.

Metodenya yaitu pada saat ditimpa kesulitan justru merupakan waktu yang tepat untuk membantu menyelesaikan kesulitan orang lain.

Bagaimana manusia bisa memikirkan kesulitan orang lain di tengah masalah yang sedang ia hadapi, hal ini sesungguhnya mencerminkan kemuliaan akhlak yang dimilikinya.

Meskipun tidak bisa dihitung dengan logika matematika, hubungan ini sebagai pola simbiosis mutualisme yaitu manusia sebagai makhluk sosial yang membutuhkan orang lain dan dibutuhkan oleh orang lain.

Keutamaan berikutnya dari kebersamaan adalah dilipatgandakan pahala. Tidak sama nilai dan hasil yang diperoleh dari pekerjaan yang dilakukan secara individu atau secara  berkelompok.

Hal ini dapat dilihat misalnya pada pelaksanaan shalat. Shalat berjamaah lebih utama dibandingkan shalat sendirian sebanyak 27 derajat (al-Bukhariy, 609).

Pemahaman makna hadis adalah bahwa shalat berjamaah melampaui shalat sendirian dengan keunggulan 27 kali. Satu shalat yang dilakukan sendirian terlampaui 27 kali lipat dari pelaksanaan shalat yang dilakukan secara berjamaah (al-Haitami, 7, 370).

Perhitungan 27 kali lipat tersebut dinisbatkan kepada setiap rukun yang dilakukan dalam shalat (al-Jamal, 5, 14).

Tiga macam keutamaan tersebut hanyalah bagian kecil dari keutamaan yang diberikan oleh Allah bagi hamba yang membangun komunitas dan berkomitmen di dalamnya untuk bersilaturahmi. Karena Islam tidak hanya memperhatikan hubungan dengan Tuhan, tetapi juga mengatur hubungan antara sesama manusia (Q.S. 3, 12).

Tidak sedikit dari ayat al-Quran yang menyampaikan perintah melakukan hubungan baik dengan Tuhan bersamaan dengan perintah untuk berbuat baik kepada sesama (Q.S. 107, 1-7). Lima perkara yang membuktikan keislaman seseorang dibangun dengan dua hubungan baik.

Tahap pertama dengan cara mempersaksikan ketuhanan Allah dan kerasulan Muhammad. Melaksanakan shalat yang secara simbolis gerakannya mencerminkan kepasrahan terhadap Allah dan mengikuti sunnah Rasulullah.

Kesempurnaan ketaatan kepada Allah ada tahap berikutnya bersilaturahmi yaitu membangun hubungan baik dengan sesama manusia.

Pembuktian ketaatan kepada Allah dilanjutkan dengan mengerjakan perbuatan sosial berupa membayar zakat dan merasakan problematika sosial dengan cara berpuasa. 

Tidak makan dan minum di siang hari merupakan empati yang diajarkan oleh Allah. Merasakan apa yang dirasakan oleh komunitas yang tidak mampu untuk membeli makan dan minum.

Keimanan seseorang tidak hanya dibuktikan dengan mengerjakan ibadah ritual, namun harus dapat direalisasikan dalam kehidupan berkomunitas.

Rasulullah seringkali berpesan agar tidak keluar dari komunitas terutama yang terdiri dari orang-orang muslim bagaimanapun kondisinya.

Sebab sesama muslim ibarat satu tubuh. Kebersamaan merupakan suatu kekuatan. Rasulullah pernah menjelaskan bahwa srigala akan memangsa domba yang sendiri (Abu Dawud, 547). Seekor domba cerdas yang terpisah dari komunitasnya disebabkan oleh terlalu lincah dan gesit sekalipun, akan menjadi incaran untuk dimangsa oleh para srigala.

Namun seekor domba yang lemah sekalipun tidak akan bisa menjadi mangsa srigala ketika ia berada dalam komunitasnya.

Rasullah juga menjelaskan bahwa bagi siapa yang ingin tinggal di dalam indahnya surga hendaknya tetap bersama komunitas karena sesungguhnya setan bersama dengan orang-orang yang menyendiri (al-Nasa’i, 9180).

Berkomunitas tidak hanya menghindarkan diri dari bahaya yang mengancam, dengan berkomunitas akan didapatkan kemudahan berbagai urusan, kejernihan pemikiran dalam pengambilan keputusan, ketepatan tindakan, keberlangsungan sebuah misi dan keberkahan.

Semua merupakan nilai tambah yang dirasakan secara psikologis melalui kebersamaan berkomunitas. Ada ketenangan dan merasa cukup meskipun bisa jadi secara kuantitas jumlahnya tidak banyak (Q.S. 7, 96). 

Musibah yang seolah hendak membinasakan pun akan terasa lebih ringan di kala bersama. Hanya dengan mengucapkan kalimat ‘Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un,’ dengan penuh kepahaman maka akan mendapatkan keberkahan yang sempurna serta rahmat Allah (Q.S. 2, 155-156).  

Interaksi sosial di dalam komunitas membutuhkan aturan sehingga tidak terjadi gesekan apalagi benturan di antara individu yang satu dengan lainnya.

Sebuah aturan yang tidak hanya mengedepankan rasionalitas dan kepentingan tetapi juga memperhatikan keterikatan emosi dan rasa (Westoby, 2020).

Sebuah hadis mauquf yang disandarkan kepada perkataan Umar bin Khatab menjelaskan tentang Islam sebagai metode mencari solusi terhadap perkara apapun yang tengah dihadapi.

”Kami adalah suatu kaum yang telah dimuliakan oleh Allah dengan Islam, maka bila kami mencari kemuliaan dengan selain dari cara-cara Islam maka Allah akan menghinakan kami  (Hakim, I/ 62).

Hadis tersebut dengan sangat tegas menjelaskan bahwa untuk masalah apapun pemecahannya adalah dengan berpedoman pada syariat Islam, tidak terkecuali dalam strategi berinteraksi dan berhimpun pada satu komunitas.

Islam sebagai sebuah syariat merupakan agama yang menjaga nilai-nilai kemanusiaan baik sebagai individu maupun anggota masyarakat.  

Seorang individu tidak akan bisa terlepas dari interaksi dengan sesama. Tidak sedikit dari kebutuhan hidup manusia harus ia dapatkan dari orang lain misalnya kebutuhan akan beras yang bisa didapat dari para petani yang menanam padi.

Pemenuhan kebutuhan biologis dan mendapatkan keturunan, hanya bisa dipenuhi dengan cara menikah, hidup  bersama dengan orang lain. Interaksi dan hubungan di antara manusia merupakan kehendak Allah.

Sejak awal penciptaan Allah telah mengatur dan merencanakan adanya ketergantungan antara satu individu dengan sesamanya sehingga ia membutuhkan komunitas (QS. 43, 32).

Allah pun telah menetapkan aturan dan metode sesuai dengan fitrah kemanusiaan. Rasul bersabda: “Bertakwalah kepada Allah di mana pun engkau berada, dan iringilah (perbuatan) buruk dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu akan menghapusnya. Pergaulilah sesama manusia dengan akhlak mulia (al-Tirmidzi, 1987).

 Strategi berinteraksi untuk membangun silaturahmi di dalam komunitas menurut informasi hadis tersebut adalah dengan akhak mulia.

Hal ini telah dibuktikan oleh Rasulullah dengan keberhasilan dakwahnya. Rasul dipuji bukan karena fisik yang kuat atau kedudukan yang tinggi, akan tetapi dikarenakan budi pekerti yang luhur (Q.S. 68, 4).

Misi kerasulan yang dibawanya adalah melalui keutamaan akhlak serta untuk memperbaiki akhlak manusia (Ahmad, 2/ 381).

Akhlak mulia yang diterapkan ketika berinteraksi dengan orang lain adalah dengan memperhatikan hak-hak dan adab-adab berkomunitas.

Dikisahkan bahwa suatu hari Rasul sedang bersama sahabatnya masuk ke dalam semak belukar kemudian memetik dua buah ranting siwak, yang satu bengkok dan yang satu lagi lurus.

Rasul memberikan yang lurus untuk sahabatnya dan yang bengkok ia simpan untuk dirinya sendiri.

Rasul menjelaskan bahwa kelak seseorang akan ditanya apakah ia telah menunaikan hak Allah dalam persahabatannya meskipun hanya kebersamaan sesaat di siang hari. Perumpamaan dua orang bersahabat adalah seperti dua tangan, yang satu membersihkan yang lain.

Berakhlak mulia dalam komunitas adalah memperlakukan orang lain sebagaimana ia senang diperlakukan. Karena tidak sempurna keimanan seseorang sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri (al-Bukhariy, 13).

Meskipun untuk bisa selalu berbuat baik dalam komunitas tidaklah mudah, disebabkan lingkungan yang tidak selamanya mendukung.

Kebaikan yang bisa jadi tidak mudah untuk ditegakkan akan tetapi ditanggapi dengan keburukan. Ada saja di antara manusia yang tidak mampu berterimakasih atas kebaikan yang diberikan oleh orang lain kepadanya.

Apapun keadaannya sulit ataupun mudah, kewajiban manusia hanyalah untuk menggapai keridhaan Allah dari setiap apa yang dia lakukan. 

Manusia hanya diperintahkan untuk memperhatikan amal perbuatannya. Kebaikan yang berorientasi kepada kehidupan jangka panjang dengan mengharapkan keridhaan Allah (Q.S 59, 18).

 Tidak perlu memperhatikan dan menanggapi respon apa yang akan diberikan oleh orang lain. Orang bijak adalah orang yang justru bisa mengambil pelajaran dari orang lain.

Meninggalkan apa yang tidak mereka sukai yang dilakukan oleh orang lain. Hakikat sebuah perbuatan akan kembali kepada pelakunya. Jika ia berbuat kebaikan maka kebaikan itu adalah untuk dirinya sendiri.

Begitupun jika ia melakukan kemaksiatan maka ia sendiri yang akan menanggung kerugian (Q.S. 17, 15). Akhlak terpuji akan memberikan kemuliaan pada diri pelakunya.

Kemuliaan akhlak tidak hanya menjadi strategi hidup berkomunitas namun juga dapat mengantarkan pelakunya kepada rahmat Allah (QS. 49: 13).

Tentu saja rahmat Allah hanya atas perbuatan baik saja. Perintah untuk hidup berkomunitas pun hanyalah ketika hendak melakukan kebaikan dan taqwa tidak diperbolehkan bila bermufakat untuk berbuat dosa dan pelanggaran (Q.S. 5, 2). 

Perlu untuk mengetahui orientasi sebuah komunitas sebelum bergabung dan berinteraksi di dalamnya. Seorang yang sering duduk bersama dengan orang-orang kaya, maka Allah akan menambahkan kepadanya rasa cinta kepada dunia dan semangat untuk mencarinya.

Sebaliknya, bagi siapa yang sering duduk bersama orang-orang miskin maka Allah akan menambahkan rasa syukur dan ridha atas pemberian Allah.

Begitupun orang orang yang sering bersama dengan orang-orang yang gemar melakukan maksiat maka Allah akan menambahkan kepadanya keberanian untuk berbuat dosa dan menunda taubat.

Tidak demikian orang yang membiasakan diri berkumpul bersama orang-orang shaleh, Allah akan menambahkan ilmu kepadanya dan sikap wara’, berhati-hati dalam mengambil harta dunia.  Karena seseorang itu sangat tergantung pada agama temannya (al-Tirmidziy, 2387). (*)

 

Sumber: Sriwijaya Post
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved