Mimbar Jumat
Mimbar Jumat: Jangan Mendikte Tuhan
Begitulah amalan-amalan kecil, sederhana dan terlihat sepele yang ternyata menjadi asbab turunnya rahmat, cinta kasih dan ridha Allah Swt.
Oleh : John Supriyanto
SRIPOKU.COM -- Tugas dan fungsi utama manusia sebagai khalifah di bumi adalah mengabdi pada sang Maha Pencipta. Pengabdian makhluk kepada Khaliq-nya dalam bahasa agama disebut ibadah. Ayat yang populer dan begitu sering dikemukakan dalam hal ini adalah “wa ma khalaqtu al-jinn wa al-ins illa liya’budun”, bahwa jin dan manusia dicipta dengan membawa misi pengabdian dalam arti yang sangat luas. Oleh karena itu, segala bentuk aktifitas kehidupan manusia dalam kesehariannya haruslah didasarkan pada nilai-nilai ibadah dan pengabdian diri kepada Tuhan. Semua aktifitas orang beriman hakikatnya adalah ibadah.
Dalam sistem ibadah umat Islam dikenal apa yang disebut dengan ibadah mahdhah dan ibadah ghair mahdhah. Ibadah mahdhah adalah segala bentuk ibadah yang juklak-juknisnya sudah mapan dan final, telah ada ketentuan khusus lengkap dengan rukun, syarat dan sunnah-sunnahnya, termasuk di dalam kategorisasi ini adalah jenis-jenis ibadah yang ada dalam arkan al-Islam al-khamsah.
Sedangkan ibadah ghair mahdhah adalah semua bentuk aktifitas kebaikan, apapun nama dan bentuknya, tidak ada ketentuan khusus dari nash Al Qur’an ataupun hadits yang berorientasi ibadah kepada Allah Swt. Termasuk dalam dalam hal ini adalah semua aktifitas mu’amalah, akhlak dan pesan-pesan penting pememeliharaan hati. Qs. al-Kahf : 110 mengisyaratkan : “Barangsiapa mengharap pertemuannya dengan Tuhan, maka hendaklah ia beramal kebaikan dan tidak mengorientasikan kebaikan-kebaikan yang ia lakukan kepada selain daripada Allah Swt”.
Kualitas Ibadah seseorang dalam ‘kacamata’ Tuhan ternyata tidak diukur dan ditentukan oleh berapa banyak atau besarnya sebuah ibadah, tapi sangat bergantung pada nilai bagaimana pengabdian itu dilakukan. Dalam bahasa Al Qur’an disebut “ayyukum ahsanu amalan” atau siapa di antara kamu yang terbaik amalnya, bukan terbesar atau terbanyak amalnya.
Jangan lupa subscribe, like dan share channel Youtube Sripokutv di bawah ini:

Oleh karena itulah dari kitab-kitab riwayat banyak ditemukan kisah-kisah dan keterangan dari Nabi Saw. tentang bagaimana banyak di antara umat beriman yang mendapatkan kemuliaan di sisi Allah Swt. dan kecintaan dari Nabi Saw. justru dilatari oleh kebaikan-kebaikan yang kecil dan sepele, tidak karena ibadah-ibadah yang besar dan mentereng.
Infaq dan shadaqah yang bernilai ratusan juta atau bahkan milyaran rupiah, haji setiap tahun dan umrah sebulan sekali, shalat dan puasa sunnah yang rutin dilakukan, khatam Al Qur’an bekali-kali dan lain-lain yang dipandang sebagai bukti ketaatan yang totalitas rupanya tidak menjamin kualitas seseorang di sisi Allah Swt. Tentu tidak ada yang mengingkari bahwa semua itu adalah prestasi ibadah yang luar biasa dan tidak banyak pula orang yang bisa sampai pada level tersebut.
Namun ternyata, Islam memiliki sistem nilai yang sangat sempurna dan unik, perspektif Allah Swt. tidak sama dengan apa yang orang pikirkan. Allah Swt. menilai seorang hamba secara mutlak dan absolut dalam persepektiNya. Bahkan dalam teori ilmu kalam, Allah Swt. tidak terhalang oleh apapun untuk “mengampuni orang kafir dan memasukkannya ke surga atau menghukum orang beriman dan memasukkannya ke neraka” (yaghfiru al-kafir fa yudkhiluhu al-jannah wa yu’azzib al-mukmin fa yudkhiluhu an-nar). Itu hak prerogatif Allah Swt. Tidak ada hukum yang Allah ciptakan untuk menghalangi kehendak mutlak dan kemahakuasaanNya dalam bentuk apapun.
Ibadah-ibadah yang besar dalam pikiran manusia bisa saja sangat kecil nilainya bahkan tidak bernilai sama-sekali bagi Allah Swt. jika Ia tidak ridha. Keridahaan Allah Swt. sajalah yang membuat amal ibadah itu menjadi bernilai.
Jangan lupa subscribe, like dan share channel Instagram Sriwijayapost di bawah ini:

Mengapa demikian? Karena semakin besar nilai ibadah di mata manusia semakin besar pula potensi bocornya. Bisa saja dalam shadaqah ada orang lain yang terzhalimi dan tersakiti oleh kata-kata, dalam shalat dan puasa terdapat unsr riya’, angkuh, dan merasa diri lebih suci dari orang lain, na’uzubillah. Ibnu ‘Athaillah dalam al-Hikam menyatakan : “al-ma’shiatu auratsan zillan wa istiqaran khairun min ath-tha’ati auratsat ‘izzan wa istikbaran” (perbuatan maksiat yang menjadikan pelakunya merasa kotor dan hina di hadapan Tuhan-nya jauh lebih baik daripada ibadah dan ketaatan yang membuat orang merasa suci dan terhormat”.
Beda halnya dengan amal-amal kecil yang kerapkali luput dari hitungan, ternyata memiliki nilai berkualitas tinggi yang menyebabkan Allah Swt. ridha kepada pelakunya. Mengapa? Karena sebab kecilnya amal itu seseorang lupa untuk riya’, tidak terpikir untuk ‘ujub dan sum’ah, maka terbangunlah nilai-nilai ikhlash dan ketulusan di dalam hatinya, lalu Allah Swt. ridha kepadanya.
Sebut saja misalnya kasus Ummu Mahjan, seorang wanita miskin dan tua di zaman Nabi Saw. yang ibadahnya biasa-biasa saja. Tidak ada prestasi ibadah yang dapat ia banggakan. Namun wanita ini mendapatkan posisi khusus di hati Nabi Saw., sehingga beliau sedikit marah kepada para shahabat yang tidak memberitahu tentang kematian Ummu Mahjan. Segera saja beliau menuju kuburnya dan mendo’akan secara khusus seorang Ummu Mahjan yang menurut para shahabat tidak ada lebih-lebihnya dibanding shahabat yang lain. Mengapa wanita ini begitu istimewa di mata Nabi Saw.? Ternyata beliau tau bahwa ada satu kebaikan kecil yang rutin dilakukan dan menyebabkan Allah Swt. ridha kepadanya, yakni kebiasaan Ummu Mahjan menyingkirkan sampah dan dedaunan yang ada di halaman masjid Nabi Saw.
Contoh lain, seorang sahabat dinyatakan oleh Nabi Saw. sebagai calon penghuni surga yang memancing rasa ingin tau dan penasaran para shahabat yang lain. Apa kelebihan yang dimiliki oleh seorang sahabat ini sehingga Nabi Saw. begitu antusias menyambut kehadirannya dan menyebutnya sebagai calon penghuni surga.
Jangan lupa subscribe, like dan share channel TikTok Sriwijayapost di bawah ini:

Usut punya usut ternyata tidak ada ibadah-ibadahnya yang istimewa, kecuali satu hal, yakni setiap malam sebelum tidur ia selalu memastikan hatinya bersih dari marah dan rasa benci serta memaafkan siapapun yang mungkin menyakitinya di siang hari. Ternyata amalan itulah yang menjadi sebab hadirnya keridhaan Allah Swt. atasnya.
Juga dalam riwayat-riwayat yang shahih lainnya Nabi Saw. juga pernah menceritakan seorang wanita pendosa yang diampuni dosa-dosanya dan dimasukkan ke dalam surga ‘hanya’ karena ia memiliki sifat pengasih terhadap Binatang. Ketika melihat anjing yang sedang menjilat-jilat baru yang lembab karena kehausan, segera saja ia memberikan persediaan airnya kepada anjing tersebut meskipun air itu tidak cukup meski hanya untuk dirinya sendiri. Pun terkenal sebuah kisah bagaimana Uwais al-Qarni mendapat kemuliaan dari Allah Swt. yang nama dan kemuliaannya begitu populer di kalangan malaikat dan penghuni langit lantaran amalnya memuliakan dan melayani ibunya.
Begitulah amalan-amalan kecil, sederhana dan terlihat sepele yang ternyata menjadi asbab turunnya rahmat, cinta kasih dan ridha Allah Swt. Sebab prinsip ibadah dalam Islam sebagaimana diungkap dalam hadits Al-Bukhari adalah “qaribu” (sedang-sedang, tidak memaksakan diri) dan “saddidu” (rutinitas, kontinyu meski nilainya kecil).
Lebih penting itu semua bahwa keselamatan orang beriman di akhirat tidak ditentukan oleh besar dan banyaknya amal, tapi bagaimana semua kebaikan yang dilakukan dapat menjadi sebab hadirnya keridhaan Allah Swt. Sebab ridha dan kasih sayang Allah Swt. sematalah yang menjadi penentu keselamatan manusia di akhirat. Wallahu a’lam. (*)
Jangan lupa juga subscribe, like dan share channel Youtube Sriwijaya Post di bawah ini:

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.