Opini: Menuju Negara Yuristokrasi
Jokowi, Anwar Usman, dan Gibran Rakabuming, menjadi aktor utama yang mendapat spot lightcukup gencar dari media mainstream hingga sosmed.
OLEH: Alip D. Pratama
(Dosen dan Peneliti pada Sriwijaya Law Center—SLC, FH Unsri)
SRIPOKU.COM -- Membincangi hasil Putusan Mahkamah Konstitusi (MK), terutama nomor 90 tahun 2023, selalu menarik. Dan akan banyak layer yang bisa dijangkau oleh para penikmat isu politik dan hukum, dalam menyoroti, menganalisis, dan memahami latar dan implikasi dari putusan tersebut dalam konteks keberlangsungan negara hukum (rechstaat). Jokowi, Anwar Usman, dan Gibran Rakabuming, menjadi aktor utama yang mendapat spot lightcukup gencar dari media mainstream hingga sosmed.
Ketiganya dianggap bertanggung jawab atas lahirnya Putusan MK 90 tersebut. Hubungan ketiganya yang bukan saja suatu hubungan yang berdasarkan antar aktor politik, lebih jauh, ketiganya merupakan kerabat yang memiliki layer politik yang saling berkelindan, sehingga, sangat wajar jika publik menuding Putusan MK 90 itu, disponsori oleh Presiden, dilaksanakan oleh Ketua Hakim MK, dan olehnya, anak Sang Presiden, adalah subjek yang paling diuntungkan secara konstitusional atas adanya putusan itu.
Para Yuris Membajak Kedaulatan Rakyat.
Kajian tentang yuristokrasi adalah sebuah kajian yang panjang, dan dalam perkembangannya, mengalami perubahan makna dan konteks. Dalam bukunya yang berjudul “Republica”, Plato secara konsepsional merumuskan sebuah harapan, adanya sekelompok elite, yang memiliki kebijaksanaan dan kecerdasan sistemik, guna diandalkan untuk menjadi pengelola dari sebuah organisasi yang bernama Negara. Kelompok elit itu kemudian dinamakan yuristokrat. Sekelompok elit, yang memiliki kecerdasan dan kebijaksanaan di bidang ilmu hukum, yang dengan modalitas berharga itu, bertransformasi menjadi “the philosopher king”. Sistem yang mengandalkan para yuris di dalam mengelola negara itu, kemudian disebut yuristokrasi.
Jangan lupa subscribe, like dan share channel Youtube Sripokutv di bawah ini:

Jadi makna awal dari istilah yuristokrasi adalah positif. Namun, dalam perkembangannya, yuristokrasi mengalami pergeseran yang cukup signifikan ke bandul negatif, guna menggambarkan adanya dominasi dan intervensi yang signifikan oleh kelompok yuris, atau para hakim, yang pada dasarnya merupakan manifestasi dari kedaulatan lini yudikatif, dalam membajak fungsi legislasi, yang seharusnya menjadi kewenangan dari lini legislatif.
Dalam bukunya yang berjudul “Towards Juristocracy: The Origins and Consequences of the New Constitutionalism”, Ran Hirschl menjelaskan sebuah kajian mendalam tentang peran yang semakin meningkat dari lembaga-lembaga yudisial dalam keputusan politik, terutama dalam konteks konstitusionalisme modern. Hirschl membahas bagaimana kekuasaan hakim dan badan peradilan di banyak negara telah berkembang menjadi kekuatan yang signifikan dalam menentukan kebijakan publik.
Dia juga menyoroti masalah legitimitas dan akuntabilitas dalam keputusan yang diambil oleh lembaga yudisial. Karena hakim-hakim tidak dipilih oleh pemilihan umum, tetapi sering kali diangkat, keputusan yang mereka buat mungkin kurang bisa dipertanggungjawabkan kepada publik. Hirschl menyatakan kekhawatiran tentang kekuasaan yang berlebihan yang dipegang oleh lembaga-lembaga yudisial dalam sistem yuristokrasi. Dia mempertanyakan sejauh mana keputusan hakim seharusnya menjadi pengganti keputusan yang seharusnya dibuat oleh lembaga legislatif atau eksekutif yang terpilih oleh rakyat.
Para hakim, yang seharusnya menerapkan prinsip negative legislative, dengan hanya fokus kepada pengujian konstitusionalitas dari Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, namun belakangan ini, khususnya semenjak Ketua Hakim MK, Anwar Usman, memiliki konflik kepentingan terhadap beberapa kasus yang di sidangkan ke hadapan Hakim MK, salah satunya pada Putusan MK 90 tersebut, menyebabkan MK menjadi institusi yang terus mengalami resistensi secara negatif atas keengganan Sang Ketua MK untuk mengeluarkan dirinya dari konflik kepentingan tersebut.
Jangan lupa subscribe, like dan share channel Instagram Sriwijayapost di bawah ini:

Kembali ke Dasar
Dalam konsep trias politica, sebuah konsep dasar dalam pembagian kekuasaan, lini legislatif, diberikan kewenangan untuk melakukan fungsi legislasi (membentuk undangundang) berdasarkan pertimbangan pada kebutuhan masyarakat dan kebutuhan oleh Negara itu sendiri. Dalam praktik, fungsi legislasi tadi biasanya juga di-sharing kepada lembaga eksekutif, terutama di indonesia, pada pasal 5 (1)UUD 1945 yang menyatakan “Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”.
Sementara, fungsi yudikatif, yang dalam hal ini dilaksanakan oleh Mahkamah Konstitusi, diberikan kewenangan untuk menguji konstitusionalitas dari Undang-Undang terhadap UUD 1945 (judicial review). Maka, sebagai kaedah dalam melaksanakan kewenangan judicial review tersebut, MK harus memposisikan diri sebagai negative legislator yang sebagaimana dibahas di atas. Sehingga, untuk pasal-pasal tertentu, yang berkaitan dengan kebijakan yang bersifat open legal policy—merujuk pada pendekatan kebijakan hukum yang terbuka, transparan, dan dapat diakses oleh masyarakat umum. Pendekatan ini bertujuan untuk menciptakan kebijakan hukum yang lebih terbuka dan mudah diakses oleh warga negara serta pihak-pihak yang terdampak.
Mahkamah Konstitusi (MK) dalam banyak yurisdiksi memiliki kewenangan dan batasan tertentu dalam pengujian undang-undang atau pasal hukum. Ketika suatu undang-undang atau pasal memiliki karakteristik yang mendorong open legal policy, biasanya tidaklah dimungkinkan atau relevan bagi Mahkamah Konstitusi untuk mengujinya.
Alasan utama di balik hal ini adalah bahwa open legal policy pada dasarnya mendorong transparansi, partisipasi, keterbukaan, dan inklusivitas dalam proses hukum. Jika suatu undang-undang atau pasal memiliki karakteristik ini, itu berarti sudah sejalan dengan prinsip-prinsip yang diadvokasi oleh open legal policy. Oleh karena itu, tidak ada dasar yang jelas untuk menguji undang-undang atau pasal yang mendukung transparansi, partisipasi, dan keterbukaan.
Jangan lupa subscribe, like dan share channel TikTok Sriwijayapost di bawah ini:

MK cenderung memeriksa undang-undang atau pasal yang dianggap tidak sesuai dengan konstitusi, melanggar hak-hak asasi, atau bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar yang tercantum dalam konstitusi. Jika suatu undang-undang atau pasal mendukung open legal policy dan tidak menimbulkan konflik dengan ketentuan konstitusi, maka tidak ada alasan yang jelas bagi MK untuk menguji pasal tersebut.
MK biasanya bertindak sebagai penjaga keabsahan hukum, fokus pada aspek-aspek hukum yang bersinggungan dengan konstitusi atau yang melanggar hak-hak konstitusional. Oleh karena itu, jika suatu undangundang atau pasal mendukung open legal policy tanpa menimbulkan konflik dengan ketentuan konstitusi, pengujian dari MK mungkin tidak relevan dalam kasus tersebut.
Kaitannya dengan Putusan MK No. 90, maka jelas bahwa seharusnya pasal 169huruf (q) UndangUndang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Yang berbunyi, “Persyaratan menjadi calon presiden dan calon wakil presiden adalah berusia paling rendah 40 (empat puluh tahun)” secara konsisten diputus oleh MK sebagai pasal yang bersifat open legal policy, sebagaimana yang dilakukan MK pada putusan-putusan sebelumnya yang sejenis.
Namun memang, banyak yang beranggapan bahwa pengecualian yang dilakukan oleh MK pada Putusan MK No. 90 tersebut disinyalir guna memuluskan langkah politik dari Gibran guna melanggeng sebagai salah satu partisipan pada Pemilihan Presiden 2024 yang akan datang.
Jangan lupa juga subscribe, like dan share channel Youtube Sriwijaya Post di bawah ini:

Secara konstitusional, memang benar bahwa norma hukum pada dasarnya tidak bisa berlaku hanya pada satu individu saja (Gibran). Namun, apa yang dilakukan oleh MK dengan menempuh jalan yang berbalik arah dengan tidak menyatakan bahwa pasal 169 merupakan pasal yang bersifat terbuka, menyebabkan MK melanggar Asas pelampauan wewenang oleh lembaga negara, yang dalam bahasa Latin disebut "ultra vires." Frasa ini secara harfiah berarti "melampaui kekuasaan" atau "di luar kekuasaan." Konsep "ultra vires" mengacu pada tindakan atau keputusan lembaga pemerintah atau badan hukum yang melebihi atau tidak sesuai dengan wewenang atau kewenangan yang telah diberikan kepadanya oleh hukum atau konstitusi.
Apa jadinya jika MK malah menghasilkan Putusan MK yang melampaui dari hukum dan konstitusi? Lebih jauh, MK malah bertransformasi menjadi lembaga yang secara aktif memproduksi produk legislasi, sebagaimana yang dilakukan oleh DPR dan Presiden? Maka, itu yang kemudian disebut dalam bahasa Latin, adalah "confusio constitutionis". Di mana terjadi kebingungan atau ketidakjelasan dalam halhal yang berkaitan dengan konstitusi suatu negara atau sistem hukum yang mendasarinya. Sehingga muncullah kebingungan atau ketidakjelasan dalam struktur, prinsip, atau implementasi konstitusi.
Ketika MK melakukan overlapping konstitusi, sehingga mengambil peran DPR dan Presiden—yang notabenenya dipilih langsung oleh rakyat, sehingga memiliki legitimasi yang jelas dan absah di dalam membentuk peraturanperundangundangan, maka, janganjangan Negara kita ini tengah menuju ke model negara yuristokrasi. Ketika Para-hakim, merasa lebih berkompeten dan berwenang, di dalam menentukan arah dan format dari fungsi legislasi, dibanding lembaga yang secara konstitusional, diamanatkan oleh UUD 1945 di dalam membentuk UU. Tanda-tandanya sudah nampak. Apakah kekhawatiran dari Ran Hirschl akan terbukti? Semoga tidak!
Jangan lupa Like fanspage Facebook Sriwijaya Post di bawah ini:

TOK! Putusan Baru MK, Eks Narapidana Bisa Langsung Maju Pilkada, Ini Syaratnya |
![]() |
---|
MK Putuskan Wakil Menteri Dilarang Rangkap Jabatan Komisaris BUMN, Ini Respons Istana |
![]() |
---|
Alasan MK Putuskan Wakil Menteri Tidak Boleh Rangkap Jabatan Sebagai Komisaris BUMN |
![]() |
---|
Nasib 30 Wakil Menteri Rangkap Jabatan Setelah MK Putuskan Dilarang Rangkap Jabatan Komisaris BUMN |
![]() |
---|
Sebelum Kena OTT KPK Kasus K3, Immanuel Ebenezer Sudah Diwanti-wanti Jokowi: Jangan Korupsi! |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.