Opini: Norma Hukum Privat dan Publik yang Tidak Sejalan

Aparat penegak hukum kita sudah mulai menerapkan penegakan hukum tindak pidana yang lebih humanis melalui konsep keadilan restoratif.

Editor: Bejoroy
Istimewa
(Ketua Pusat Kajian Hukum Sriwijaya (SLC) dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya) 

Sering kecolongan
Tidak ada niat penulis untuk mendiskreditkan ke salah satu norma hukum yang berlaku di bumi ibu pertiwi. Sebagaimana disampaikan sebelumnya, norma hukum publik dan privat adalah kedua aspek hukum yang selalu bersinggungan.

Teringat bertemu dengan para mahasiswa yang baru saja diwisuda, penulis sering mengingatkan mereka untuk siap jika ada masyarakat awam berkonsultasi terhadap masalah hukum yang dihadapi.

Masyarakat tidak akan bertanya apa program kekhususan atau minat bidang hukum yang diambil. Mereka hanya tahunya seorang sarjana hukum dapat mengetahui dan mampu menyelesaikan masalah terkait hukum umum maupun pribadi.

Persoalannya, pada praktek seringkali kedua norma hukum tersebut tidak terharmonisasi dengan baik.

Masih segar dalam ingatan, mengenai kontroversi putusan MK terkait harta kekayaan suatu badan hukum publik (seperti BUMN dan BUMD), merupakan bagian harta kekayaan negara.

Tidak sedikit para ahli hukum privat murka atas putusan dari para penjaga benteng konstitusi tersebut.

Di saat harta perusahaan merugi, maka potensi para direksi berada di balik jeruji, bukanlah sebuah mimpi.

Dalam bisnis, utang dan rugi merupakan realitas yang tidak dapat dipungkiri. Kegagalan mengelola keuangan perusahaan tidak boleh dipukul rata bahwa pihak yang bertanggung jawab telah melakukan kejahatan dan harus disanksi berat (Arifardhani, 2019).

Jangan lupa Like fanspage Facebook Sriwijaya Post di bawah ini:

Sama halnya seperti Perjanjian kredit. Kemampuan dan kemauan pihak yang berutang begitu dinamis. Mereka tidak bayar, bukan berarti tidak mau, tetapi kondisinya memang tidak mampu. Meskipun tidak dipungkiri, terdapat oknum nasabah yang tidak mau atau pura – pura lupa terhadap kewajiban untuk membayar utangnya.

Namun, hal tersebut dapat ditangani apabila diselesaikan dengan jalur musyawarah antara kedua belah pihak. Bukan dengan cara kekerasan seperti memaki, menganiaya bahkan membunuh yang dilakukan kedua belah pihak.

Tidak perlu lagi proses penagihan utang piutang menggunakan jasa preman yang berkedok pegawai perusahaan.

Meksipun ada dalih aturan hukum publik mengenai keberadaan debt collector, tetapi peran mereka jangan disamaratakan seperti polisi yang dapat menembak pelaku kejahatan.

Jika pun ingin menggunakan jasa tersebut, proses rekrutmen para penagih ini mulai dari kompetensi maupun profil perseorangannya harus diseleksi dengan ketat. Bahkan, jika “perlu” pemerintah membuat aturan khusus terkait para tukang tagih tersebut.

Opsi lainnya, menggunakan pihak ketiga yang disediakan oleh pemerintah maupun swasta seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Badan Penyeleesaian Sengketa Konsumen, mediator dan lembaga lainnya untuk menyelesaiakan masalah antara pihak berutang dan berpiutang.

Halaman
123
Sumber: Sriwijaya Post
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved