Mimbar Jumat

Mimbar Jumat: Feminisme Edukasi Perspektif Islam

Pada masa modern sekarang perempuan memperoleh kebebasan dalam memperoleh pendidikan sampai ke jenjang yang paling tinggi.

Editor: Bejoroy
SRIPOKU.COM/Istimewa
Choirun Niswah (Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Raden Fatah Palembang) 

Oleh: Choirun Niswah
(Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Raden Fatah Palembang)

SRIPOKU.COM -- SALAH satu prinsip ajaran Islam adalah persamaan (egalitarian) antara manusia, baik antara laki-laki maupun perempuan, antar bangsa, dan suku. Nilai seseorang di hadapan Allah hanya diukur dari pengabdian dan ketakwaannya kepada Allah Swt. Jika dilihat dari perkembangan karier kenabian Rasulullah Saw, maka dapat kita ketahui kebijakan rekayasa sosialnya semakin mengarah pada prinsip-prinsip kesetaraan gender. Perempuan dan anak-anak di bawah umur semula tidak bisa mendapatkan warisan, kemudian Al-Qur’an secara bertahap memberikan hak-hak warisan kepada mereka, semula laki-laki bebas menikahi perempuan tanpa batas, dibatasi menjadi empat dengan syarat-syarat yang berat. Semula perempuan tidak boleh menjadi saksi, kemudian diberikan kesempatan dibatasi satu berbanding dua dengan laki-laki.

Dalam bidang pendidikan laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama. Namun dalam kenyataannya, dalam sejarah Islam klasik, kaum perempuan tidak memperoleh kesempatan yang memadai yang dapat menghantarkan mereka kepada keulamaan. Hal ini bisa dipahami dalam pandangan umum dan pengamatan selintas, sumber-sumber sejarah, khususnya kamus biografi hampir tidak terdaftar ulama perempuan.

Dalam Islam, kaum perempuan memperoleh berbagai hak sebagaimana halnya kaum laki-laki, seperti hak-hak dalam politik, memilih pekerjaan dan hak memperoleh pendidikan. Perintah untuk menuntut ilmu pengetahuan tidak hanya pada laki-laku tetapi juga bagi kaum perempuan. Pada masa Nabi, perempuan tidak mau ketinggalan dari kaum laki-laki dalam menuntut ilmu, sehingga mereka minta kepada Nabi, supaya disediakan waktu sehari dalam seminggu, khusus untuk perempuan. Hal tersebut telah dilaksanakan Nabi. Secara teoritis ide kesetaraan laki-laki dan perempuan telah ada dalam sistem etika Islam. Pada masa Nabi perempuan dapat melakukan aktifitas secara leluasa dan tidak dibedakan dengan aktifitas yang dilakukan laki-laki.

Jangan lupa subscribe, like dan share channel Youtube Sripokutv di bawah ini:

Islam memberikan kesempatan yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam menuntut ilmu. Sejak zaman klasik telah ditemukan perempuan-perempuan terpelajar. Hitti menandaskan bahwa anak-anak perempuan diperbolehkan mengikuti sekolah tingkat dasar.

Pada masa Bani Abbas, anak-anak perempuan juga mempunyai kesempatan untuk belajar di kutab-kutab. Akan tetapi, tidak banyak data yang menerangkan bahwa perempuan-perempuan pun ikut belajar di lembaga-lembaga pendidikan tinggi. Perempuan pun tidak dilarang pergi ke masjid untuk mengikuti pelajaran. Tetapi dalam praktiknya perempuan tidak diberikan kesempatan yang sama dengan kaum laki-laki dalam menuntut ilmu. Mereka tidak boleh belajar bersama-sama baik di masjid maupun madrasah.

Menurut Jonathan Berkey alasan pemisahan tersebut karena kehadiran perempuan di tengah-tengah kaum laki-laki dianggap tabu dan dikhawatirkan akan mengganggu konsentrasi belajar siswa laki-laki. Karena alasan inilah, dalam sistem pendidikan Islam masa Klasik diadakan pemisahan antara kelas perempuan dan laki-laki. Imam Ahmad mengajar di kelas yang muridnya perempuan semua pada sore hari. Kelas-kelas khusus perempuan biasanya diadakan di rumah-rumah perempuan yang masih ada hubungan keluarga dengan ulama tertentu. Sedangkan perempuan yang bukan keluarga ulama, biasanya belajar kepada ayah mereka atau mendatangkan guru privat ke rumah.

Oleh sebab itu, perempuan-perempuan terpelajar sedikit sekali kalau dibandingkan dengan laki-laki terpelajar. Anak laki-laki dengan mudah pergi ke kuttab, kemudian ke halaqah di masjid, tetapi anak-anak perempuan tidak mendapat kebebasan keluar rumah untuk pergi belajar. Dengan demikian, bagi anak-anak perempuan hanya ada satu kesempatan saja, yaitu belajar di rumahnya sendiri. Memang tidak semua orang tua mereka dapat mendatangkan guru ke rumahnya untuk mengajarkan anak perempuannya.

Jangan lupa subscribe, like dan share channel TikTok Sriwijayapost di bawah ini:

Logo TikTok Sripoku.com

Dalam pandangan masyarakat umum, bahwa sejarah ulama perempuan adalah sejarah yang gelap dan hampir tidak tercatat nama ulama-ulama perempuan dalam kamus biografi yang jumlahnya hampir tidak terhitung. Namun sebenarnya dalam kamus biografi kitab Thabaqat Ibnu Sa’ad dan lainnya terdapat jilid khusus tentang perempuan namun jumlahnya tidak sebanding dengan jumlah ulama laki-laki.

Syalabi memberikan deskripsi singkat tentang ulama-ulama perempuan paling terkenal di antaranya adalah Aisyah, istri Rasulullah Saw. Diriwayatkan bahwa Nabi sendiri memerintahkan orang yang baru masuk Islam untuk menerima pelajaran agama dari Aisyah. Selanjutnya adalah Nafisah, seorang keturunan Ali, ahli Tafsir, Fatimah bin al-Aqra’ di samping sebagai ulama juga kaligrafer terkemuka.

Pada masa kejayaan Islam, banyak perempuan ikut dalam kegiatan intelek seperti Aisyah binti Ahmad bin Qadim al-Qurthubiyah, ia adalah ahli syair, ilmu akhlak. Begitu juga Lubna, seorang penulis Khalifah al-Hakam bin Abdurrahman, seorang ahli Nahwu dan penyair, kemudian Zainab dari Bani Uwad, seorang dokter wanita. Lalu Syaikhah Syahdah yang memberikan kuliah di Masjid Baghdad yang dihadiri banyak pelajar laki-laki dan perempuan. Ada Rabi’ah al-Adawiyah, seorang ahli syair dan ahli tasawuf termasyhur, Maryam binti Abi Ya’qub al-Anshary, seorang ahli sastra, ada ‘Aliyah binti al-Mahdi, ahli lagu dan syair, Zainab Tabibah Bani Aud, seorang dokter dan ahli obat-obatan, Hajjar, seorang ahli hadist di Mesir. Ada Zainab al-Tukhiyyah puteri dari al-Mahalli, Khadijah binti Ali seorang ahli ilmu AL-Qur’an dan Hadist. Kemudan Khadijah binti Muhammad (w. 1389) yang memiliki pengetahuan luas dalam hadist shahih Bukhari, dan lain-lain.

Walaupun ulama perempuan sangat sedikit dibandingkan ulama laki-laki,meskipun begitu banyak kaum perempuan yang ahli dalam berbagai bidang ilmu sehingga tidak kalah dengan kaum laki-laki. Namun popularitas mereka masih kalah jauh dibandingkan ulama laki-laki, begitu juga dalam produktivitas keilmuan sangat jarang bahkan hampir tidak ada karya-karya monumental yang dihasilkan ulama perempuan dalam bidang keagamaan. Di Melayu terdapat karya ulama perempuan yang terlupakan, di antaranya adalah kitab kuning Perukunan Jamaluddin yang banyak dibaca di Indonesia yang dikarang ulama Melayu perempuan. Kitab ini diatasnamakan pamannya,padahal pengarang sebenarnya keponakannya sendiri yaitu Fatimah cucu Syeikh Arsyad al-Banjari.

Jangan lupa Like fanspage Facebook Sriwijaya Post di bawah ini:

Dengan demikian, transmisi keilmuan bagi perempuan kelihatannya lebih banyak berlangsung secara informal dalam keluarga. Di sini, sang ayah dan ibu atau anggota kerabat lainnya mempunyai peranan yang sangat penting, setidak-tidaknya memberikan pengetahuan dasar keilmuan kepada puteri-puterinya.

Dalam tingkatan yang lebih tinggi, seorang ayah yang kebetulan mempunyai pengetahuan keagamaan di atas rata-rata masyarakat umumnya, atau bahkan merupakan ulama yang mempunyai peranan yang sangat penting dalam proses pembentukan puterinya yang kemudian dapat menjadi ulama professional.

Kaum perempuan baik di Barat maupun di Timur hanya memiliki kesempatan kecil dalam memperoleh pendidikan dibandingkan kaum laki-laki. Semua ini menimbulkan kesan bahwa lembaga pendidikan Islam, seperti masjid, madrasah terbatas hanya untuk kaum laki-laki saja, padahal sebenarnya tidak ada larangan sama sekali bagi perempuan untuk terlibat dalam lembaga pendidikan tersebut.

Tetapi tidak terdapat bukti yang memadai untuk menyatakan bahwa perempuan juga belajar dalam halaqah di lingkungan masjid. Namun, perempuan biasanya terlibat dalam ceramah ilmiah umum yang diadakan di masjid.

Selain itu kaum perempuan juga ditemukan belajar dalam halaqah-halaqah khusus yang diselenggarakan di lingkungan madrasah bersama kaum laki-laki. Tetapi lembaga-lembaga semacam ini adalah lembaga pendidikan infomal. Dalam lembaga pendidikan formal, seperti madrasah (universitas) perempuan mendapatkan tempat yang terbatas. Tidak ada informasi tentang adanya professor (syaikhah) perempuan pada sebuah madrasah.

Dengan demikian sistem pendidikan madrasah masa Klasik, baik pada tingkat murid maupun guru cenderung sangat membatasi keterlibatan perempuan. Namun, pada masa modern sekarang perempuan memperoleh kebebasan dalam memperoleh pendidikan sampai ke jenjang yang paling tinggi. Perempuan saat ini lebih eksis dalam memposisikan haknya sama dengan laki-laki. Eksistensi kaum perempuan terlihat dari kedudukannya sebagai tenaga pengajar di lembaga formal maupun non formal, terpilih menjadi pimpinan di lembaga-lembaga pendidikan.***

Update COVID-19 25 Mei 2023.
Update COVID-19 25 Mei 2023. (https://covid19.go.id/)
Sumber: Sriwijaya Post
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved