Opini
Opini: Eksistensi Pembimbing Kemasyarakatan Dalam Penerapan Sistem Peradilan Pidana Anak
Akhir-akhir ini kita semakin sering mendengar dan menyaksikan berbagai kasus kejahatan yang melibatkan anak-anak sebagai pelaku tindak pidana
Oleh : Bastian Willy, S.Sos.
(Pembimbing Kemasyarakatan Pertama Bapas Kelas II Lahat, Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Sumatera Selatan)
SRIPOKU.COM- Akhir-akhir ini kita semakin sering mendengar dan menyaksikan berbagai kasus kejahatan yang melibatkan anak-anak sebagai pelaku tindak pidana. Mulai dari kasus penganiayaan berat, kekerasan seksual, hingga penyalahgunaan Narkotika.
Terdapat ragam ancaman yang berpotensi merusak olah laku dan olah pikir yang pada akhirnya mengancam keberlangsungan masa depan anak yang panjang. Selain wajib mendapatkan pendidikan formal, anak juga wajib mendapatkan pendidikan moral sehingga mereka dapat tumbuh menjadi sosok yang berguna bagi bangsa dan negara.
Bahwasanya anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara. Di dalam konstitusi Negara Indonesia, anak memiliki peran strategis yang secara tegas dinyatakan bahwa negara menjamin hak setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta atas pelindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
kepentingan terbaik bagi anak patut menjadi perhatian sebagai kepentingan terbaik bagi kelangsungan generasi penerus suatu negara, oleh karena itulah penulis tertarik membahas topik permasalahan ini.
Melihat Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 mengenai Sistem Peradilan Pidana Anak yang mengatur tentang sistem pemidanaan bagi Anak-anak. Suatu sistem pemidanaan yang memasuki era modern dan sistem pemidanaan yang bersifat konservatif dan usang mulai ditinggalkan.
Hal ini dapat dilihat dari perspektif pemidanaan penghukuman untuk membalas menjadi unsur pemidanaan dengan hukum pemulihan keadaan atau yang sering saat ini kita dengar dengan istilah Restoratif Justice, sebuah antitesa dari hukuman pemidanaan yang menghukum terpidana dengan hukuman kepenjaraan bagi anak sudah sepatutnya ditinggalkan.
Sebagai contoh perkara yang mudah ditangkap logika, dimana seoang Anak-anak yang masih aktif sekolah terlibat tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang merupakan buah akibat pengaruh lingkungan yang kurang baik dan tidak optimalnya pengawasan dari orangtua dengan alasan sibuk bekerja atau sebagainya, kemudian dihukum dan divonis pidana penjara yang pada akhirnya anak tersebut diberhentikan dari sekolahnya.
Apakah tidak terdengar ganjil serta elusive. Apakah tidak ada kesempatan kedua bagi anak beserta orantua anak tersebut untuk memperbaiki diri anaknya? Apakah tidak ada pengganti pemidanaan yang bersifat konstruktif bukannya malah destruktif bagi keberlangsungan hidup anak?.
Tentu jika hal itu terjadi, secara tidak langsung akan mengancam perkembangan bangsa secara keseluruhan, karena generasi yang diharapkan bagi kemajuan telah salah dalam memperlakukannya. Hal inilah yang perlu diperhitungkan, jangan sampai anak pelaku tindak pidana dikemudian hari hilang pula harapan masa depannya.
Disinilah Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak hadir dalam mendampingi peradilan bagi anak yang berhadapan dengan hukum (ABH). Sistem peradilan pidana anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum mulai dengan tahap penyidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani proses pidana yang berdasarkan perlindungan, keadilan, non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, penghargaan terhadap anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak, proporsional, perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir dan penghindaran balasan.
Dalam kalimat mudahnya adalah penggantian pemidanaan yang bersifat pembalasan menjadi upaya terakhir dan mengedapankan perspektif konstruktif bagi keberlanjutan kehidupan anak.
Namun pada perjalanannya, Undang-undang ini memiliki problematika tersendiri didalam keberlangsungannya, Selain implementasi peraturan pelaksana yang belum optimal, salah satu permasalahan yang memprihatinkan adalah soal minimnya jumlah institusi baru pengganti tempat penangkapan dan penahanan anak. UU SPPA telah mendorong lahirnya empat lembaga yakni Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA), Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS), Ruang Pelayanan Khusus Anak (RPKA) dan Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS) sebagai pengganti tempat Penahanan, Pembinaan dan Lapas anak, sebagaimana diamanatkan oleh UU SPPA.
