Opini
Pembimbing Kemasyarakatan Bapas Kelas II Lahat dalam Penanganan ABH
(Pembimbing Kemasyarakatan Ahli Pertama Bapas Kelas II Lahat, Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Sumatera Selatan)
Keterlibatan profesi Pembimbing Kemasyarakatan harus berjalan secara optimal.
Namun apabila tidak, hal ini dapat menyebabkan hak-hak anak untuk mendapat keadilan dan perlindungan tidak dapat terpenuhi.
Anak akan kembali melakukan pelanggaran hukum, apabila anak kembali pada lingkungan awal saat anak melakukan tindak pidana.
Sehingga selain pengawasan dari orang tua, pendampingan oleh Pembimbing Kemasyarakatan terhadap anak yang belum melakukan tindak pidana maupun yang telah selesai menjalani pembinaan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak, perlu ditingkatkan, khususnya peran Pembimbing Kemasyarakatan terhadap Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH).
Balai Pemasyarakatan melalui peran Pembimbing Kemasyarakatan yang dimilikinya, berperan penting dalam proses peradilan Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pada tulisan ini akan dipaparkan pelaksanaan peran dari Pendamping Kemasyarakatan (PK) dalam menjalankan fungsi Balai Pemasyarakatan pada penanganan ABH pada setiap tahap dalam proses peradilan yang dijalani oleh ABH, yaitu pada tahap sebelum peradilan (pra-adjudikasi), tahap peradilan (adjudikasi), dan tahap setelah peradilan (post-adjudukasi).
Pemerintah melindungi hak ABH melalui instrumen-instrumen HAM nasional, antara lain Keputusan Presidan No. 36 Tahun 1990 tentang Konvensi Hak Anak, UU No. 11 Tahun 2012 tentang SPPA, Pasal 64 UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, Pasal 66 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Selain itu, pemerintah berpedoman pada instrumen internasional HAM, yaitu Konvensi Hak Anak (KHA) 1989, Riyadh Guidelines 1990 tentang Pencegahan Tindak Pidana Anak, Beijing Rules 1985 tentang Aturan Minimun Administrasi Peradilan Anak, dan Komentar Umum Komite Hak Anak No.10/2007 tentang Hak Anak dalam Peradilan Anak.
Adapun salah satu dasar hukum yang dapat digunakan oleh Pembimbing Kemasyarakatan (PK) yaitu Undang-undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).
Terbitnya Undang-undang ini merupakan upaya serius negara dalam menjaga dan melindungi anak-anak Indonesia saat menjalani proses hukum.
Anak yang berhadapan dengan hukum, baik pelaku, saksi, dan korban merupakan kelompok yang rentan mengalami berbagai bentuk kekerasan fisik maupun mental selama menjalani proses hukum.
Sebelum berlakunya UU SPPA, setiap anak yang melakukan perbuatan pidana dikenakan proses hukum yang sama dengan proses hukum orang dewasa, di mana sanksi yang diberikan didominasi oleh hukuman penjara.
Hukuman penjara yang diberikan pada anak-anak akan berdampak pada fisik dan psikis mereka dan apabila mereka bebas pun, masyarakat akan memberikan label sebagai mantan narapidana.
Pada Undang-undang SPPA di dalam Pasal 1 ayat 3 menjelaskan bahwa Anak Berkonflik dengan Hukum (ABH) adalah anak berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.
Dengan kata lain umur 12 tahun menjadi ambang batas anak dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya, walaupun tidak secara penuh seperti halnya orang dewasa.
