Wawancara Eksklusif

30 Tahun Addie MS 'Merawat' Twilite Orchestra, Sempat Dicibir Cuma Dua Bulan: Syukur Tiada Henti

Menurut Addie tak mudah membangun sebuah grup musik orkestra, sampai-sampai banyak cibiran yang menyebut bakal cuma bertahan 2 bulan

Editor: Soegeng Haryadi
ISTIMEWA
Addie MS 

Memang benar kita harus mencoba berdamai dengan New Normal ini. Seperti Pak Jokowi pernah sampaikan. Sekarang baru Singapore yang mesti berdamai. Tidak relevan, semoga kita bisa kembali seperti dulu.

Yakin banyak kebiasaan yang tidak bisa seperti dulu. Sekarang bisa Zoom mana mau masalah bisa diselesaikan dengan Zoom kita bertemu. Banyak sekali cara hidup, gaya hidup, akan berubah. Saya analogikan seperti anak kecil umur 10 tahun dicemplungin di satu daerah bahasa lain, Paris misalnya.
Kalau anak kecil, seperti gelas yang dikosongkan, dia siap meenrima apa saja. Karena kecil resistensi akan mudah mengadaptasi kondisi yang baru. Jadi mau tidak mau saya harus berusaha menggambarkan diri saya anak kecil yang selalu ingin tahu ini itu.

Dengan situasi ini, sikapi dengan sikap positif. Yakin bahwa di semua masalah pasti ada celah kesempatan. Kalau belum-belum sudah ngeluh, pemerintah tidak beres, ketua RT begini, nyalahin orang gampang, tapi kita tidak akan going anywhere. Mending apa yang bisa kita lakukan dengan kondisi ini. Challenge-nya kita bisa lulus atau tidak.

Satu titik membuat Anda bertekad untuk fokus di orkestra?
Kecintaan terhadap sesuatu sering kali kita tidak bisa jabarkan. Kenapa kita taksir a, tiba-tiba kita suka b. Itu sesuatu yang tidak bisa digambarkan secara spesifik. Begitu saya mendengar piano klasik Beethoven kok rasanya gimana.Atau lama-lama mendengar orkestra yang katanya kompleks, begitu mendengar kok indah. Apalagi kalau melihat film-film, scoring orkesnya itu simfoni, Star Wars.
Semuanya main, semuanya bersuara. Manakala musik itu diberikan gambar yang bergerak, kita tidak ada resistensi, kita menikmati. Seringkali dalam hidup itu, sudah di-blur. Visual sering kali merusak menipu, kita kurang mengolah kepekaan kita.

Padahal itu berpengaruh sekali. Saya beberapa kali kadang-kadang bermain saja. Ada seribu penonton, saya akan mainkan dua jenis musik, satu tenang, satu dinamis. Masing-masing dua menit. Coba semua pegang denyut nadi.

Begitu saya play hitung denyut nadi berapa sampai saya matikan. Jumlah denyut nadi dinamis, pasti lebih tinggi daripada denyut nadi secara umum musik tenang. Betapa pengaruh pendengaran manusia, demikian besar bisa mempengaruhi.

Musik bisa mempengaruhi. Apalagi mind. Kita bisa cemas, gembira, merasa gagal, kacau, atau jatuh cinta, itu sering kali pengaruh musik. Itu makanya musik dipergunakan lebih dari sekedar hiburan.
Musik jadi sarana edukasi, terapi, itu yang di Indonesia diabaikan. Potensi musik itu hanya dianggap terhenti dihiburan. Kalau orang udah joged-joged, hebat. Orang beli CD dulu berarti musiknya sukses.

Saya jatuh cintanya karena senang saja. Tapi belakangan baru ngeh ternyata di negara-negara bukan asal musik klasik. Itu dikembangkan luar biasa. Orkes Simfoni China itu punya 76 orkes besar yang dibina pemerintah.

1 orkes bisa anggotanya 70-100. Dan itu world class. Itu luar biasa. Di Jepang jangan tanya. Saya dihampiri Ketua Kadin-nya Jepang, dia ingin main di Twilite Orchestra tidak apa-apa main di barisan belakang, katanya dia pusing jadi pejabat.

Korea Utara bahkan. Asia Timur bukan asal musik klasik. Tapi mereka pelajari dari pendidikan dasar. Karena kekuatannya sebagai sarana pendidikan. Dalam membaca musik klasik, not balok, itu notnya kan pasti.

Digarap oleh otak kanan secara logika. Satu titik diangkat berubah bunyinya. Kita harus eksekusi secara presisi. Kalau tidak menggunakan imajinasi otak kanan tidak jadi musik. Maka diperlukan kerja sama otak kanan dengan otak kiri.

Bermain orkestra di situ teamwork masuk. Bertanggungjawab dengan apa yang dia mainkan, dan harus menyelaraskan dengan kiri-kanan. Satu orang main lebih cepat akan menghancurkan. Terus di waktu yang sama membiasakan patuh dengan arahan pemimpin.

Dari sejak dini terbiasa berpikir imbang, antara rasio, emosi, imajinasi, kemudian pada saat main bersama, berkelompok, punya empati, punya kedisiplinan untuk patuh.

Itu pendidikan karakter. Di Jepang tidak ada berhitung apa-apa dinomorsatukan, dibikin ranking, pendidikan karakter kalau lewat 10 tahun akan sulit sekali. Knowledge bisa menyusul.

Kenapa saya yakin, saya bermusik bukan hanya kepentingan hati saja ingin diisi. Tapi juga ada unsur pendidikan, yang bangsa kita harus memanfaatkan musik untuk pendidikan karakter. Diabaikan. 1995, saya mulai ngoceh-ngoceh soal itu. Saya datang ke Gubernur Soerjadi Soedirja. Bagaimana kita manfaatkan ini seperti negara maju. Ah itu musik barat. Saya kecewa kalau setiap pembicaraan berujung seperti itu.

Sumber: Sriwijaya Post
Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved