Hari Kartini 21 April, Implementasi Pemikiran Kartini di Era Digital
Peringatan Hari Kartini, bukanlah sebatas pada seremoni menggunakan kebaya dan sanggul dalam sehari.
Kakek Kartini dari sebelah ayahnya adalah sebagai Bupati sekaligus ulama dimakamkan di kompleks Masjid Agung Demak.
Sebab beliau berjasa dalam dakwah Islam.
Kartini bangga pada kakeknya, Tjondronegoro yang menjabat sebagai Bupati Kudus sebelum pemerintah kolonial Belanda menugasinya memimpin Demak telah membuat terobosan pada masa itu yang mendorong anak-anaknya (ayah Kartini dan saudara-saudaranya) menempuh pendidikan Barat.
Ayah Kartini –meniru jejak ayahnya, menyekolahkan sebelas anaknya dan menganggap putri sulungnya itu lebih cerdas dari anak-anaknya yang lain, ingin memberikan kebebasan lebih kepada Kartini, namun terbentur tradisi Jawa pada masa itu.
Kartini yang kita kenal sebagai pelopor emansipasi wanita ini adalah seorang tokoh wanita Indonesia dan Pahlawan Nasional Indonesia di Indonesia, (SK Presiden RI nomer 108, 2/5/1964).
Ia adalah sosok perempuan yang sangat gigih mendidik kaumnya, melalui berbagai ide, gagasan untuk memajukan bangsa yang masih bodoh dan miskin pada saat itu.
Perempuan pada masa itu, tidak boleh memiliki keinginan sendiri dan hanya memilki pilihan untuk dinikahkan oleh orang tuanya.
Memiliki ilmu seperti membaca, menulis, berhitung dan sebagainya dianggap tidak perlu dan tidak penting bagi perempuan, meskipun saat itu sudah ada sekolah.
Pintu sekolah tertutup untuk anak perempuan dan hanya dikhususkan bagi laki-laki, sehingga sekolah-sekolah yang ada pada saat itu, murid-muridnya semua adalah laki-laki.
Kartini menulis dalam surat yang ditujukan kepada Jacques Abendanon, Direktur Pendidikan, Agama, dan Industri Hindia Belanda yang termuat dalam buku Door Duisternis Tot Licht “pendidikan yang ia perjuangkan adalah upaya merawat tradisi pendidikan kakeknya”. (Gelap-Terang Hidup Kartini, hal.59).
Pendidikan Karakter Ditengah Kemajemukan Bangsa
Sebagai akibat Politik Etis penjajah Belanda, sejarah menunjukkan pada penghujung abad ke-19, pendidikan dipandang sebagai hal yang paling esensial.
Dalam pandangan pemerintah Hindia Belanda, memberikan pendidikan Barat kepada kelas penguasa pribumi merupakan sesuatu yang sangat penting untuk melatih elite pribumi yang setia dan kooperatif.
J.H. Abendanon, lebih menyukai pendidikan yang bersifat etis dalam kerangka ambisi mereka untuk mentransformasikan priyayi tradisional menjadi elite baru yang terdidik secara Barat.
Mengenai pendidikan bumi putra, Kartini menginginkan semua bumi putra harus memperoleh pendidikan bagi kalangan manapun dan berlaku untuk semua tanpa membedakan jenis kelamin.