AJI Palembang Minta PerMA Dicabut, MA Disarankan Berkoordinasi dengan Dewan Pers

Rekan jurnalis yang bertugas di Pengadilan Negeri Kelas 1A Palembang ikut hadir guna menceritakan pengalaman 'pembatasan peliputan' yang mereka alami

Editor: aminuddin
chairul Nisyah
PEMBATASAN LIPUTAN : Gelar Outlook Series Aliansi Jurnalis Independen Soroti Pembatasan Peliputan di Persidangan Umum, di Aksara Brew Cafe, Minggu (10/1/2021). (SRIPOKU.COM/CHAIRUL NISYAH) 

SRIPOKU.COM, PALEMBANG – Ketua AJI Palembang, Prawira Maulana mengatakan, pihaknya sudah menginisiasi terbentuknya Koalisi Pers Sumsel untuk mendesak dicabutnya Peraturan Mahkamah Agung (PerMA) Nomor 5 Tahun 2020 Tentang Protokol Persidangan dan Keamanan Dalam Lingkungan Pengadilan. 

Hal itu dikatakan Prawira Maulana pada acara  Outlook Series ke-6 Jurnalis 2021 yang digelar AJI Palembang dengan tema "Hukum dan Perlindungan Kerja Jurnalis", Minggu (10/1/2020) di Aksara Brew Cafe.

Dalam podcast tersebut, AJI dan beberapa  narasumber yang turut dihadirkan membahas mengenai kebebasan pers dan perlindungan saat jurnalis menjalankan tugasnya.

Yang berfokus pada 'Menyoroti Pembatasan Peliputan di Persidangan Umum'. 

AJI Palembang mengundang Ketua Bidang Advokasi AJI Indonesia Sasmito Madrim dan Advokat Mualimin.  

Rekan jurnalis yang bertugas di Pengadilan Negeri Kelas 1A Palembang pun turut hadir untuk menceritakan pengalaman 'pembatasan peliputan' yang mereka alami. 

Selain karena membatasi jurnalis dalam menangkap news value di persidangan, menurut Prawira Maulana, kebijakan itu juga  ada celah terjadinya kriminalisasi.

“Bahwa dengan adanya aturan ini dan kita tetap mengambil gambar, tindakan itu bisa dianggap melanggar aturan  peradilan.

Disitulah bisa menimbulkan celah bagi kita yang bisa saja mengalami kriminalisasi," jelasnya. 

Seperti diketahui, Pengadilan Negeri Palembang menerapkan Peraturan Mahkamah Agung (PerMA) Nomor 5 Tahun 2020 Tentang Protokol Persidangan dan Keamanan Dalam Lingkungan Pengadilan. 

Ketua Pengadilan Negeri Kelas 1A/Khusus Palembang, Bongbongan Silaban menegaskan aturan tersebut saat memimpin jalannya persidangan kasus narkotika yang menjerat mantan anggota DPRD Palembang, Doni, Selasa (5/1/2020) lalu. 

Saat itu, Bongbongan memberikan kesempatan kepada para jurnalis untuk mengambil foto dan video hanya selama 10 menit sebelum sidang. 

Selanjutnya para jurnalis tidak diperkenankan lagi mengambil gambar dan video saat persidangan berlangsung. 

Sayangnya, kebijakan tersebut diterapkan tanpa adanya sosialisasi kepada para wartawan yang bertugas meliput di PN Palembang. 

Hal itu diakui oleh salah satu wartawan peliput sidang yakni Nisyah.

Baca juga: Daftar Nama Pengacara dari YLBH Sumatera Selatan di Posbakum Pengadilan Negeri Palembang

Baca juga: Ketua Mahkamah Agung, M Syarifuddin, Dijadwalkan Kunjungi Pengadilan Negeri Palembang, Ini Agendanya

Baca juga: Seorang Hakim di Pengadilan Negeri Palembang Dapat Sanksi tak Naik Pangkat dari Mahkamah Agung

Aneh

Pengamat Hukum Mualimin mengatakan, adanya PerMA Nomor 5 Tahun 2020 Tentang Protokol Persidangan dan Keamanan Dalam Lingkungan Pengadilan dinilai sebagai sesuatu yang aneh dan dapat menyebabkan kekacauan dalam proses peradilan. 

"Sebab pada dasarnya, prinsip-prinsip peradilan yang terbuka untuk umum sesungguhnya merupakan amanat yang juga sudah diatur dalam undang-undang dasar 1945," ujarnya. 

Sebelum adanya PerMA, gonjang-ganjing  terkait pengambilan video dan foto selama persidangan juga sudah menyeruak dengan dikeluarkannya SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung)  Nomor 2 Tahun 2020 tentang Tata Tertib Menghadiri Persidangan, oleh Dirjen Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung Republik Indonesia pada Februari 2020 lalu. 

Dalam edaran tersebut diatur mengenai pengambilan foto, rekaman suara dan rekaman TV, harus seizin ketua pengadilan setempat.

Meski kemudian, Ketua Mahkamah Agung (MA) Muhammad Hatta Ali pada saat itu memerintahkan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung (MA), Prim Haryadi untuk mencabut SEMA tersebut. 

Namun nyatanya, pada Desember 2020, Mahkamah Agung menetapkan Peraturan Mahkamah Agung (PerMA) Nomor 5 Tahun 2020 Tentang Protokol Persidangan dan Keamanan Dalam Lingkungan Pengadilan. 

Berbeda dengan SEMA, di dalam PerMA, aturan pengambilan foto, rekaman audio dan rekaman audio visual harus seizin hakim atau ketua majelis hakim dalam persidangan tersebut. 

"Dengan adanya peraturan yang sebelumnya SEMA dan kini ada PerMA, saya jadi menduga ada tangan-tangan tersembunyi yang sengaja menitip pesan  terkait satu ketentuan dari aturan ini," kata Mualimin. 

"Mengapa demikian, karena seperti yang terjadi pada Februari 2020 lalu saat SEMA dikeluarkan. 

Waktu itu ada begitu banyak kasus besar yang terjadi.

Meski kemudian SEMA dicabut oleh Mahkamah Agung.

Tapi sekarang sudah ada PerMA dimana seperti yang kita tahu masih banyak kasus-kasus besar yang sedang diproses hukum," tambahnya. 

Patut dicurigai, ungkap dia, ada pihak-pihak yang gerah, baik terdakwanya yang khawatir  kasusnya dapat diakses secara luas oleh publik melalui media. 

Belum lagi kepentingan politik yang lebih luas dan melingkari kepentingan orang terkait.

Yang pasti, ada pihak terganggu dengan pemberitaan yang ada.

Menurutnya, PerMA sesungguhnya masuk dalam satu jenis peraturan yang tergolong dalam peraturan undang-undangan sebagaimana diatur dalam undang-undang nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. 

Sehingga dalam proses pembentukannya juga mesti menerapkan azas keterbukaan seperti mengedepankan sosialisasi, menerima masukan publik, baru kemudian dilakukan pembahasan untuk selanjutnya ditetapkan. 

Namun sayangnya, hal tersebut tidak diterapkan oleh Mahkamah Agung dalam mengeluarkan PerMA. 

"Adanya PerMA, tidak hanya membatasi tugas para jurnalis yang meliput jalannya persidangan.

Namun sejumlah pihak lain di antaranya advokat yang sedang mendampingi kepentingan pembelaan kliennya di persidangan. 

Mereka terkadang juga mengambil foto saat proses persidangan untuk keperluan membela kliennya.

Selain itu publik secara hukum yang harusnya diberikan akses untuk mengikuti proses persidangan secara terbuka.

Tapi itu bisa terhalangi dengan adanya PerMA," ujarnya. 

Sementara itu, Ketua Bidang Advokasi AJI Indonesia Sasmito Madrim mengatakan, baik pada SEMA maupun PerMA tidak dicantumkan secara jelas persidangan mana saja yang mesti mendapat izin untuk mengambil gambar maupun video. 

Hal ini pula yang menjadikan AJI bersama Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ)  mendorong peraturan tersebut untuk dicabut terlebih dahulu. 

"Karena juga belum jelas, sidang apa saja yang harus seizin untuk boleh atau tidak untuk diambil gambar.

Kalau memang sidang itu terbuka, kenapa tidak boleh diliput.

Ini yang jadi pertanyaan," ujar Sasmito yang turut serta dalam kegiatan Outlook Series.

Sasmito berujar, Mahkamah Agung semestinya dapat berkoordinasi dengan dewan pers sebelum akhirnya membuat peraturan yang mengatur jalannya peliputan selama persidangan.

Bukan malah membuat aturan yang justru dapat membatasi kinerja insan pers. 

Sebab kerja jurnalistik mulai dari mencari, mengolah, sampai memberitakan suatu hal, semuanya sudah diatur dan dijamin oleh undang-undang. 

"Seperti contoh, pedoman liputan ramah anak.

KPAI berkoordinasi dengan dewan pers dan kemudian menyusun pedoman-pedoman peliputannya. 

Selain itu juga kebebasan pers dijamin oleh undang-undang yang di dalamnya kita berhak mengatur regulasi sendiri.

Sudah selayaknya aturan-aturan itu dibuat oleh teman-teman pers dan dalam hal ini adalah dewan pers.

Bukan oleh orang lain dengan tujuan yang kita tidak tahu," katanya. 

AJI juga sudah meminta kepada dewan pers untuk dimediasi pertemuan dengan Mahkamah Agung terkait dikeluarkannya PerMA Nomor 5 Tahun 2020 Tentang Protokol Persidangan dan Keamanan Dalam Lingkungan Pengadilan. 

"Tujuannya mencari titik temu dari persoalan ini," ujarnya. 

Bahwa dengan adanya aturan ini dan kita tetap mengambil gambar, tindakan itu bisa dianggap melanggar aturan  peradilan.

Disitulah bisa menimbulkan celah bagi kita yang bisa saja mengalami kriminalisasi," ujarnya. 

Baca juga: Ada 8 Cara Pengaduan Masalah di Pengadilan Negeri Palembang Klas 1A Khusus Sumsel

Baca juga: Cara Mendapatkan Layanan Hukum untuk Masyarakat Tak Mampu yang Sidang di Pengadilan Negeri Palembang

Outlook Series 

Outlook Series Jurnalis 2021 diselenggarakan AJI Palembang pada 20 Desember 2020 hingga 29 Januari 2021. 

Sebanyak 12 tema dibahas sebagai persiapan para pekerja media, baik jurnalis profesional, pers mahasiswa, bahkan jurnalis warga. 

Tema-tema tersebut yakni Tantangan Bisnis Media, Sumber Daya Alam dan Energi, Profesionalisme Jurnalis, Ekologi dan Lingkungan, Politik Nasional dan Lokal, Hak Asasi Manusia, Hukum dan Perlindungan Jurnalis, Ekonomi-Bisnis, Sosial-Budaya, Tantangan Pendidikan, serta Tantangan Teknologi Media. 

Diskusi ini melibatkan jurnalis dan jurnalis mahasiswa serta masyarakat umum.

Harapannya tema-tema dalam diskusi atau seri ini bisa dijadikan landasan para jurnalis untuk membuat berita atau karya jurnalistik yang apik. 

Acara ini didukung oleh, PLH, Walhi Sumsel, HaKI, BRI, BNI, Bank Mandiri, Bank SumselBabel dan Aksara Brew Cafe. 

Pada akhir kegiatan, AJI Palembang juga membuka kesempatan fellowship bagi para penanggap yang mengikuti rangkaian kegiatan.

Calon penerima fellowship harus mengangkat tema-tema yang dibahas pada rangkaian outlook tersebut.

Sumber: Sriwijaya Post
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved