AJI Palembang Minta PerMA Dicabut, MA Disarankan Berkoordinasi dengan Dewan Pers

Rekan jurnalis yang bertugas di Pengadilan Negeri Kelas 1A Palembang ikut hadir guna menceritakan pengalaman 'pembatasan peliputan' yang mereka alami

Editor: aminuddin
chairul Nisyah
PEMBATASAN LIPUTAN : Gelar Outlook Series Aliansi Jurnalis Independen Soroti Pembatasan Peliputan di Persidangan Umum, di Aksara Brew Cafe, Minggu (10/1/2021). (SRIPOKU.COM/CHAIRUL NISYAH) 

Aneh

Pengamat Hukum Mualimin mengatakan, adanya PerMA Nomor 5 Tahun 2020 Tentang Protokol Persidangan dan Keamanan Dalam Lingkungan Pengadilan dinilai sebagai sesuatu yang aneh dan dapat menyebabkan kekacauan dalam proses peradilan. 

"Sebab pada dasarnya, prinsip-prinsip peradilan yang terbuka untuk umum sesungguhnya merupakan amanat yang juga sudah diatur dalam undang-undang dasar 1945," ujarnya. 

Sebelum adanya PerMA, gonjang-ganjing  terkait pengambilan video dan foto selama persidangan juga sudah menyeruak dengan dikeluarkannya SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung)  Nomor 2 Tahun 2020 tentang Tata Tertib Menghadiri Persidangan, oleh Dirjen Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung Republik Indonesia pada Februari 2020 lalu. 

Dalam edaran tersebut diatur mengenai pengambilan foto, rekaman suara dan rekaman TV, harus seizin ketua pengadilan setempat.

Meski kemudian, Ketua Mahkamah Agung (MA) Muhammad Hatta Ali pada saat itu memerintahkan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung (MA), Prim Haryadi untuk mencabut SEMA tersebut. 

Namun nyatanya, pada Desember 2020, Mahkamah Agung menetapkan Peraturan Mahkamah Agung (PerMA) Nomor 5 Tahun 2020 Tentang Protokol Persidangan dan Keamanan Dalam Lingkungan Pengadilan. 

Berbeda dengan SEMA, di dalam PerMA, aturan pengambilan foto, rekaman audio dan rekaman audio visual harus seizin hakim atau ketua majelis hakim dalam persidangan tersebut. 

"Dengan adanya peraturan yang sebelumnya SEMA dan kini ada PerMA, saya jadi menduga ada tangan-tangan tersembunyi yang sengaja menitip pesan  terkait satu ketentuan dari aturan ini," kata Mualimin. 

"Mengapa demikian, karena seperti yang terjadi pada Februari 2020 lalu saat SEMA dikeluarkan. 

Waktu itu ada begitu banyak kasus besar yang terjadi.

Meski kemudian SEMA dicabut oleh Mahkamah Agung.

Tapi sekarang sudah ada PerMA dimana seperti yang kita tahu masih banyak kasus-kasus besar yang sedang diproses hukum," tambahnya. 

Patut dicurigai, ungkap dia, ada pihak-pihak yang gerah, baik terdakwanya yang khawatir  kasusnya dapat diakses secara luas oleh publik melalui media. 

Belum lagi kepentingan politik yang lebih luas dan melingkari kepentingan orang terkait.

Halaman
1234
Sumber: Sriwijaya Post
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved