RUU Ketahanan Keluarga

Jual-Beli Sperma Terancam 5 Tahun Penjara, Banleg Bahas Draft RUU Ketahanan Keluarga

BADAN Legislasi DPR RI kembali membahas draft RUU Ketahanan Keluarga yang sempat ditolak. RUU ini melarang jual-beli sperma dan ovum

Editor: Sutrisman Dinah
Kompas.com/KRISTIAN ERDIANTO
Ilustrasi: Ruang Sidang DPR RI (KOMPAS.com/KRISTIAN ERDIANTO) 

SRIPOKU.COM --- Indonesia akan memberlakukan larangan memperjual-belikan sperma dan ovum. Donor harus dilakukan secara mandiri dan sukarela untuk keperluan memperoleh keturunan.

Badan Legislasi DPR RI, sedang membahas RUU inisiatif tentang Ketahanan Keluarga, diantaranya mengatur tentang larangan memperjual-belikan sperma dan ovum, tetapi harus dilakukan secara mandiri ataupun melalui lembaga yang berkompeten.

Demikian antara lain yang diatur dalam draft Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Ketahanan Keluarga yang diajukan melalui Badan Legislasi (Banleg) DPR RI. Draft RUU Ketahanan Keluarga kembali diajukan, setelah sempat ditolak di tingkat Baleg DPR RI, dan tidak masuk dalam program legislasi 2020.

Banleg DPR RI, Kamis (12/11), kembali menggelar rapat rapat harmonisasi dan mendengar tanggapan fraksi-fraksi terhadap usulan draft RUU Ketahanan Keluarga, dan mendengar paparan tim ahli dari Banleg DPR.

Rapat digelar sejak pukul 10.00 WIB dipimpin Wakil Ketua Baleg DPR RI Fraksi Partai Nasdem, Willy Aditya. “Menindaklanjuti hal tersebut, Badan Legislasi telah menugaskan tim ahli untuk melakukan kajian terhadap RUU Ketahanan Keluarga. Pada rapat pagi ini kita akan mendengarkan paparan dari tim ahli terkait dengan hasil kajian yang telah dilakukan,” kata Willy.

Sebelumnya, RUU Ketahanan Keluarga sudah dua kali dilakukan harmonisasi. Setidaknya ada lima anggota dewan yang menginisiasi RUU ini: yakni dari Fraksi Partai Gerindra, Fraksi PKS, dari Fraksi Partai Golkar, serta dari Fraksi PAN.

Awal 2020 lalu, RUU Ketahanan Keluarga ditolak karena dinilai ada pasal bermasalah. Draft RUU yang masuk ke dalam Prolegnas Prioritas 2020, dinilai bakal mengancam ruang-ruang privat warga negara.

Beberapa aturan yang disorot adalah pengaturan peran istri di rumah, larangan aktivitas seksual BDSM, dan kewajiban pelaku homoseksual melapor dan wajib rehabilitasi.

Diantara yang medndapat sorotan, diantaranya pembagian kerja antara suami dan istri. Pengaturan tersebut tercantum dalam pasal 25 draft RUU tersebit, mengatur tentang suami sebagai kepala keluarga yang memiliki tanggung jawab lebih dan istri mengatur rumah tangga.

Sedangkan pengaturan tentang donasi dan jual-beli sperma, da;lam rancangan naskah RUU itu tercantum dalam pasal 31 ayat(1) dan (2). Dalam pasal 31 ayat 1 dituliskan, “Setiap orang dilarang menjualbelikan sperma atau ovum, mendonorkan secara sukarela, menerima donor sperma atau ovum yang dilakukan secara mandiri ataupun melalui lembaga untuk keperluan memperoleh keturunan”.

Ayat(2) berbunyi:

“Setiap orang dilarang membujuk, memfasilitasi, memaksa, dan/atau mengancam orang lain menjualbelikan sperma atau ovum, mendonorkan, atau menerima donor sperma atau ovum yang dilakukan secara mandiri ataupun melalui lembaga untuk keperluan memperoleh keturunan”.

Ketentuan pidananya diatur di dalam pasal 139 dan pasal 140. Pasal 139 mengatur ketentuan pidana bagi pihak-pihak yang disebutkan di dalam Pasal 31 Ayat (1). Mereka yang melakukannya terancam pidana paling lama 5 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500 juta.

Sementara mereka yang melakukan perbuatan sebagaimana diatur dalam Pasal 31 Ayat (2) terancam hukuman lebih berat sebagaimana diatur pada Pasal 140. Di dalam pasal itu, mereka yang sengaja melakukannya terancam pidana tujuh tahun dan denda paling banyak Rp 500 juta.

Draf RUU itu juga tentang soal penyimpangan seksual. Dalam bab penjelasan, ada empat perbuatan yang dikategorikan sebagai penyimpangan, di antaranya ialah homoseksualitas atau hubungan sesama jenis, juga sadisme, masokisme, dan inses.

Pasal 86 menyebutkan:

“Keluarga yang mengalami krisis keluarga karena penyimpangan seksual wajib melaporkan anggota keluarganya kepada badan yang menangani ketahanan keluarga atau lembaga rehabilitasi yang ditunjuk oleh pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan.”

Sedangkan pasal 87 menyebut:

“Setiap orang dewasa yang mengalami penyimpangan seksual wajib melaporkan diri kepada badan yang menangani ketahanan keluarga atau lembaga rehabilitasi untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan.”

Dua pasal ini ringkasnya, mengharuskan orang-orang yang dianggap melakukan penyimpangan seksual wajib lapor dan wajib pula mendapatkan rehabilitasi.

Anggota Baleg DPR dari Fraksi Golkar, Nurul Arifin, menilai RUU Ketahanan Keluarga berpotensi memecah belah bangsa. Ia mengatakan RUU ini berpotensi mencabik-cabik kesatuan dan keberagaman.

Nurul mencontohkan, ketentuan dalam Bab IX RUU Ketahanan Keluarga yang mengatur tentang peran serta masyarakat. Hal dinilai terkesan ingin mencampuri rumah tangga warga negara.

“Di dalam RUU Ketahanan Keluarga ini kita menjadi suatu bangsa yang kayaknya resek begitu ya. Ini semangatnya kok kita mengurusi rumah tangga orang lain, rumah tangga itu mempunyai entitasnya sendiri,” kata Nurul Arifin.

Nurul menyoroti struktur Pusat Layanan Ketahanan Keluarga (PLKK) yang ditawarkan dalam RUU Ketahanan Keluarga. Padahal, sudah ada Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).

“Ada kesan banci ya dalam struktur yang ditawarkan dalam RUU ini, karena berbicara tentang BKKBN tapi juga menyebutkan PLKK. Ini kan jadi enggak ajeg,” kata Nurul.

Nurul mengaku setuju jika BKKBN diperkuat. Menurut dia, keluarga berencana yang merupakan program lawas memang harus terus dilanjutkan. Namun Nurul menilai, ada kejanggalan lantaran RUU Ketahanan Keluarga ingin masuk ke dalam struktur hingga tingkat terkecil masyarakat dalam mengurusi rumah tangga warga negara.

Anggota Komisi I DPR ini mengingatkan, para pendiri bangsa mendirikan Indonesia dengan kesepakatan-kesepakatan dan kekayaan pemikiran. Ia menyebut kesatuan semacam ini harus tetap dipelihara.

Nurul mengajak koleganya di Baleg untuk berpikir holistik dan mempertimbangkan keberagaman Indonesia. “Kalau tidak menerima kondisi kita sebagai satu negara yang majemuk ya sulit juga ya. Saya tidak mengerti sungguh-sungguh cara berpikirnya itu seperti apa, kok malah mengurusi hal-hal yang sangat pribadi,” ucap Nurul.

Nurul mengatakan beberapa muatan dalam RUU Ketahanan Keluarga pun sudah diatur dalam Undang-undang Perlindungan Anak dan UU Perkawinan. Ketimbang membuat aturan baru, ia mengusulkan lebih baik merevisi UU Perkawinan yang memang sempat direncanakan sebelumnya.

Sementara anggota Baleg dari PDIP, My Esti Wijayanti mengatakan, dalam setiap keluarga sudah terbangun hal-hal yang tidak bisa diatur di dalam UU. Sehingga memang tidak sepatutnya negara terlalu ikut campur. “Bahwa negara seolah-olah akan mencampuri urusan keluarga. Di dalam rumah tangga terbangun beberapa hal yang tidak mungkin diundangkan,” ujar Esti dalam rapat Baleg DPR.

Esty khawatir RUU Ketahanan Keluarga ini malah menimbulkan perpecahan. Misalnya keluarga yang beda keyakinan hidup dalam satu rumah tangga.

“Tapi, kalau ada kemudian pengaturan yang berlindung di bawah penguatan agama, iman dan takwa justru kami mempunyai kekhawatiran,” katanya.

Oleh sebab itu Esti menyarankan sebaiknya RUU Ketahanan Keluarga ini tidak terlalu ikut campur di masalah privat rumah tangga. Karena bicara keharmonisan keluarga yang satu dengan yang lainnya tidaklah sama. “Karena bicara harmonis dalam keluarga, yang saya tangkap di dalam undang-undang ini harus sama. Ini yang berbahaya,” ungkapnya.

Di sisi lain salah satu pengusul RUU Ketahanan Keluarga, Ali Taher memandang RUU ini harus ada untuk menyelamatkan generasi masa depan. “Undang-undang ini lahir untuk menyelamatkan generasi masa depan. Membangun karakter, membangun budaya, Indonesia gemilang di masa mendatang,” kata Ali, Kamis (12/11).

Dia menegaskan, ketahanan nasional itu berasal dari keluarga. Sehingga, RUU Ketahanan Keluarga ini, dinilainya penting. “Inti ketahan nasional ini ketahanan keluarga. Kalau negara tidak hadir, tidak mungkin (ada ketahanan keluarga),” ungkap Ali.

Dia menuturkan, RUU Ketahanan Keluarga bukanlah agar negara ikut campur urusan rumah tangga rakyat. Dirinya pun mencontohkan soal stunting. Meski itu urusan keluarga, negara tetap ikut campur karena demi menciptakan anak-anak yang sehat dan baik untuk masa depan. “Seperti stunting itu masalah keluarga, tapi diurus negara karena itu masa depan negara. Pendidikan Itu urusan keluarga, tapi diurus negara karena itu juga masa depan bangsa,” tegas Ali.

Ali pun meminta, anggota Baleg DPR lainnya, tak skeptis dan memandang RUU Ketahanan Keluarga tersebut bertentangan dengan Pancasila. “Jangan kalau kita bahas ketahanan keluarga, kita jadi skeptis,” tukas dia.

Hal senada dikatakan Netty Prasetyani. Menurut dia, RUU ini tidak akan mengatur soal ranah privat. “Saya ingin menegaskan bahwa ini adalah sebuah gagasan yang kita ingin persembahkan kepada hadirnya keluarga-keluarga berkualitas di Indonesia. Jadi kalau kemudian ada pertanyaan yang masih mengulang soal ranah privat, saya dan teman-teman tegaskan bahwa kita tidak berbicara dan mengintervensi ruang privat,” kata istri eks Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan (Aher) itu dalam rapat di Baleg DPR, akhir September lalu.

________________________

Penulis: (tribun network/sen/dod)

Sumber:
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved