Human Interest Story
Wartawan Kompas Terbitkan Dua Buku Jakob Oetama: Baru akan Lahir 50-100 Tahun Lagi
Dua buku itu berisikan penggalan cerita pengalaman para karyawan Harian Kompas yang pernah bersentuhan langsung dengan sosok Jakob Oetama.
“Beliau itu dilahirkan di 500 meter di sebelah timur Candi Borobudur. Kita tahu Candi Borobudur ini memang extraordinary, luar biasa ini warisan dunia. Di situlah masa kecil Bapak Jakob itu bermain sebelum beliau bergabung dengan teman-teman sebayanya di Seminari Mertoyudan,” ujar dia.
Nama Seminari Mertoyudan sendiri diambil nama besar. Seminari Mertoyudan adalah seminari tertua. “Jadi kalau ditulis seminari itu sendiri, itu sudah extraordinary. Bukan seminari yang baru. Artinya sudah men-sejarah,” ucap Nasir
Humanisme Transendental
Kemudian, lanjut Nasir, Jakob Oetama juga digembleng dan dididik oleh para Romo yang menurut Jakob itu hebat. Sosok romo yang mengajar di Seminari Mertoyudan itu kerap diceritakan Jakob kepada jajarannya di Harian Kompas dalam berbagai rapat internal.
“Beliau juga punya pengalaman diajak boncengan ke Jogja membeli nasi untuk teman-temannya yang tinggal di asrama. Ini bentuk kepedulian yang luar biasa yang ditanamkan dari seminari untuk kemanusiaan,” kata Nasir bercerita.
Apa yang ada di dalam diri Jakob Oetama adalah kemanusiaan yang disebut kemanusiaan yang beriman, atau kemanusiaan transendental. Secara dramatis, atau untuk menarik pembaca itu, humanisme transendental itu kerap diartikan kemanusiaan yang menjulang tinggi ke langit.
“Itu artinya yang vertikal itu, sehingga menyentuh wilayah-wilayah keimanan yang hakiki. Itu beliau yang melaksanakan sampai menciptakan atau mendirikan Kompas,” jelas dia.
Humanisme yang diciptakan Jakob Oetama ini bukan sekadar cerita di mulut. Ketika Kompas berdiri pada tahun 1965, pada tahun 1966 Jakob sudah mendirikan Dompet Kompas. Dompet Kompas berdiri atas seruan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin yang meminta bantuan ketika Jakarta sedang dilanda banjir.
Pada tahun 2012, Dompet Kompas berubah nama menjadi Yayasan Dana Kemanusiaan Kompas. Yayasan ini digunakan Jakob Oetama untuk kepentingan kemanusiaan. Salah satunya saat terjadi Tsunami Aceh 2004 silam.
“Beliau itu sering bertanya kalau kita sedang menggalang dana. Dia bertanya dapat berapa, saya kira beliau itu tidak butuh uang, uang beliau itu banyak, tidak butuh uang pembaca. Ternyata beliau ingin tahu, sejauh mana kepercayaan masyarakat terhadap Kompas yang dititipi dana itu,” kenang Nasir.
Pada 2004, bantuan dana yang disumbangkan masyarakat untuk korban bencana Tsunami Aceh mencapai miliaran rupiah. Saat itu, kata Nasir, Jakob Oetama begitu senang dan merasa bangga.
“Kita masih dipercaya masyarakat ya bung, kita peliharalah terus. Jadi jumlah uang yang terkumpul dalam dompet Kompas itu adalah representasi kepercayaan masyarakat,” ucap Nasir menirukan ucapan Jakob Oetama.
Tsunami Aceh
Nasir menceritakan, Jakob Oetama turun langsung ke lapangan saat menyalurkan bantuan dana untuk korban Tsunami Aceh. Pelaksanaan di lapangan, Jakob ikut mengontrol ketika rehabilitasi gedung-gedung yang ambruk karena Tsunami di Aceh.
“Beliau turun ke Aceh untuk meninjau progres pembangunan asrama di sana, asrama kampus. Kemudian beliau itu juga sering menelepon saya, bertanya, ada tidak orang yang menghalang-halangi penyaluran dana untuk masyarakat,” ujar dia.
Nasir kemudian diminta menghadap, dan secara khusus Jakob bertanya, ada tidak ada orang-orang yang menghambat penyaluran dana untuk korban Tsunami Aceh.
“Saya tidak menyebutkan, saya mengatakan itu bagian dari prosedur yang harus dihadapi karena ada perubahan sistem dan lain-lain,” ucap Nasir menirukan jawabannya saat menghadap Jakob Oetama beberapa tahun silam.