Di Desa Tunggul Tue Lahat, Sekedar untuk Menelepon Saja Susah, Pelajar: Apa Itu Internet, Kak?
Kebijakan sekolah online atau pembelajaran jarak jauh (PJJ) tampak dirasa sangat tidak adil bagi siswa siswi yang ada di Desa Tunggul Bute
Penulis: Ehdi Amin | Editor: Refly Permana
Laporan wartawan Sripoku.com Ehdi Amin
SRIPOKU.COM, LAHAT - Kebijakan sekolah online atau pembelajaran jarak jauh (PJJ) tampak dirasa sangat tidak adil bagi siswa siswi yang ada di Desa Tunggul Bute, Kecamatan Kota Agung, Kabupaten Lahat.
Betapa tidak, kebijakan itu sangat memberatkan, baik bagi pelajar, orangtua, maupun guru.
Maklum saja, Desa Tunggul Bute yang berada di wilayah perbukitan dengan ketinggian 1.400 hingga 2.000 meter dari permukaan laut tersebut hingga saat ini belum merasakan jaringan sinyal.
• Pria di Banyuasin Ini Bunuh Anak & Istrinya Pakai Tabung Gas, Sempat Coba Gantung Diri Pasca Beraksi
Alih alih bisa mengakses internet, untuk mengakses atau menggunakan handphone saja tidak bisa.
Handphone serasa tak berarti saat berada disini. Hanya di beberapa tempat saja yang terkena pancaran sinyal di wilayah yang berada di lembah gugus bukit barisan ini.
"Internet itu apa kk?," tanya Muhammad Ramadhan dengan keluguanya, salah satu siswa SD Negeri 11 yang berada di Desa Tunggul Bute, Kecamatan Kota Agung, saat ditanya soal sistem pembelajaran menggunakan jaringan internet, Senin (27/7/2020).
Keluguan Ramadhan, seolah 'menampar' kebijakan yang saat ini diterapkan oleh Kementrian Pendidikan.
Bagaimana tidak, jangankan mau mengikuti PJJ kalau layanan jaringan internet saja tidak ada, belum lagi masih asingnya tehnologi di desa setempat.
Namun demikian bukan karena warga tidak dimiliki SDM untuk dapat menggunakan canggihnya teknologi saat ini. Begitupun soal kemampuan untuk membeli handphone misalnya.
Tak sedikit, warga Tunggul Bute yang mayoritas sebagai petani kopi dan pekerja di perusahaan hidup berkecukupan.
• Pusat Kerajinan Batik Muratara Diusulkan di Desa Biaro, Dirut Bank Sumsel Babel Dibikin Terpukau
"La untuk apa kami beli HP Android yang bisa mengakses internet dan aplikasi lain jika di desa kami ini saja sinyal tidak ada. Jadi percuma dan tidak akan bisa dimanfaatkan oleh anak anak untuk belajar, " ujar Mailana, orangtua Haikal, salah satu siswa di SD 11.
Jadi, disayangkan Mailana, tidak adil jika siswa harus belajar dengan menggunakan internet sementara pemerintah tidak menyediakan layanan jaringanya.
Bukan soal PPJ saja, dengan masih minimnya akses teknologi akan membuat warga berpenduduk ribuan tersebut ketinggalan.
Disisi lain, jika harus sekolah ke ibu Kota Kecamatan atau ke Ibu kota Kabupaten Lahat, sangat jauh dan membutuhkan lebih banyak biaya.
"Gak bisa dipaksakan juga pendidikan hatus PJJ. Nah, kami selaku orangtua bersyukur tanpa adanya jaringan internet para guru siswa bersedia jemput bola dengan mendatangi siswa dan menerapkan pola pembelajaran terbatas di sekolah dengan mengedepankan protokol kesehatan," ucapnya.
• Penjual Tanaman Hias di Palembang Ketiban Rejeki di Tengah Pandemi Corona, Anggrek Paling Diminati
Bukan hanya siswa dan para orangtua, guru guru di SD 11 Desa Tunggul Bute dibuat 'Pusing tujuh keliling' dengan adanya penerapan PPJ ini lantaran tidak adanya jaringan internet.
"Desa Tunggul Bute ini berada di atas bukit dan dulu pernah disebut desa diatas awan.
Desa ini masih dikelingi hutan dan perkebunan. Jangankan internet, kita sebagai guru saja kesulitan jika ingin berkomunikasi lewat HP," ungkap Andi Irawan, SPd selaku kepala Sekolah SD 11 Tunggul Bute, Kota Agung, Lahat.
Sejak adanya kebijakan belajar PJJ internet lantaran pandemi Covid-19, dilanjutkan Andi, awalnya ia bersama guru-guru kebingungan bagaimana menyikapi hal tersebut.
Terlebih, para siswa terancam tidak bisa sekolah dan belajar sama sekali selama Covid-19 masih ada.
Akhirnya, bersam guru dibuatla sistem PJJ manual dimana guru yang datang ke rumah siswa atau dengan sistem jemput bola sehingga tidak terjadi kerumunan.
• Mantan Foto dengan Wanita Lain, Ayu Ting Ting Komentari Shaheer Sheikh, Tingkah Ibu Bilqis Disorot
Namun, disayangkan Andi, siswa siswinya yang berjumlah 90 orang ditambah jarak rumah siswa yang saling berjauhan membuat tidak efektif sehingga sistem tersebut tidak bisa dilakukan oleh sekolah.
"Awalnya demi anak didik belajar dan dapat pengarahan dari guru, guru mendatangi siswa.
Namun, disini banyak siswa yang tinggal diperkebunan atau saling berjauhan jadi tak maksimal,"tuturnya.
Saat ini, kata dia agar siswa tetap belajar diterapkan sistem datang ke sekolah. Namun, dalam satu kelas dibagi dua.
Misalnya dalam satu kelas ada 20 siswa perhari hanya 10 siswa.
Dalam satu minggu, siswa hanya dibebankan datang ke sekolah selama dua hari secara bergantian. Kedatangan siswa juga, jelas Andi, hanya untuk menjemput tugas dan mendengar penjelasan daru para guru.
Selebihnya, tugas sekolah di kerjakan di rumah masing masing.
"Kalau sial PPJ masalahnya ada di jaringan. Jadi selama jaringan tidak ada maka tidak akan pernah bisa siswa kami bisa mengikuti PPJ. Harapan kita ya pemerintah bisa memasukkan jaringan ke desa ini, " harapnya.