Idul Adha 2020
Songsong Idul Adha Dengan Keshalihan Sosial
Melaksanakan Qurban merupakan ibadah sunnah yang paling dianjurkan pada momen hari raya Idul Adha.
Oleh : H. ABDUL RAHMAN ROMLI, SAg, M.Pd.I
Sekretaris Umum Lembaga Pengembangan Tilawatil Qur’an (LPTQ) Provinsi Sumatera Selatan
Melaksanakan Qurban merupakan ibadah sunnah yang paling dianjurkan pada momen hari raya Idul Adha.
Amaliah Ibadah Qurban memiliki 2 (dua) dimensi yaitu sebagai ibadah ritual dan ibadah sosial.
Disebut Ibdah Ritual karena sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah, sedangkan Ibadah Sosial berpotensi sebagai momen berbagi yang menjadi salah satu hal yang ditunggu-tunggu.
Karena itu Idul Adha harus disongsong dengan Keshalihan Sosial, terutama di masa pandemi Covid-19.
Secara maknawi Shalih Sosial merupakan suatu keta’atan menjalankan ibadah yang berimplikasi sosial.
Dikisahkan, suatu ketika Syeikh Hasan Al-Bashri menyuruh beberapa muridnya untuk memenuhi kebutuhan seseorang.
Syekh tersebut berkata: “temuilah Tsabit Al-Bunani dan pergilah kalian bersamanya", lalu mereka mendatangi Tsabit tersebut yang ternyata sedang i'tikaf di Masjid (berdiam diri di Masjid guna mendekatkan diri kepada Allah dengan berdzikir, beristighfar, membaca Al-Qur’an dan lainnya).
Lalu Tsabit meminta maaf tidak bisa pergi bersama mereka karena sedang menikmati i’tikaf. Mereka pun kembali kepada Syekh Hasan Al-Bashri dan memberitahukan perihal Tsabit.
Syekh Hasan berkata, "katakanlah kepadanya; "Hai Tsabit ! apakah engkau tidak tahu bahwa langkah kakimu dalam rangka menolong saudaramu sesama Muslim itu lebih baik bagimu daripada ibadah haji yang kedua kali?".
Kemudian mereka kembali menemui Tsabit Al-Bunani dan menyampaikan apa yang dikatakan Hasan Al-Bashri. Maka Tsabitpun meninggalkan i'tikaf nya dan pergi bersama mereka untuk membantu orang yang membutuhkan.
Jika keshalihan individu identik dengan hubungan seseorang secara pribadi kepada Allah SWT, melakukan ibadah yang pahala dan manfaatnya hanya untuk dirinya sendiri, tidak dirasakan secara langsung oleh orang lain dan kepentingan orang banyak.
Maka seseorang yang mengetengahkan keshalihan sosial adalah menampilkan perbuatan kebaikan bersifat sosial yang kaitannya lebih mengutamakan kepentingan orang lain, walau perbuatan baik tersebut tetap berdampak positif juga bagi dirinya sendiri; “In Ahsantum Ahsantum li anfusikum” (Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri) (Q.S. Al-Isra’ : 7),
Penerapan sederhana dan sangat mudah untuk diaplikasikan bagi seorang mukmin untuk melaksanakan keshalihan sosial adalah menjadi pribadi yang bermanfaat bagi sebanyak-banyak ummat, ; “Ya Rasulullah, Siapa orang yang paling dicintai oleh Allah? dan amalan apa yang paling dicintai oleh Allah?”, tanya sorang laki-laki suatu ketika kepada Rasululah.
Lalu beliau SAW menjawab : “Orang yang paling dicintai Allah adalah yang paling bermanfaat untuk orang lain, dan perbuatan yang paling dicintai Allah adalah menggembirakan hati seorang mukmin, menghilangkan kesusahannya, membayarkan hutangnya, ataupun menghilangkan rasa laparnya” (HR. At-Tabrani)
Ibnul Mubarak sebagaimana ditukil oleh Imam An-Nawawi dalam Riyadhus Sholihin, memberikan tehnis secara simpel dan praktis: “Tholaqotul Wajhi, wa Badzlul Ma’ruf wa Kafful Adza” (Wajah berseri, berbuat kebaikan (secara umum) dan menghilangkan gangguan).
Karena itu keshalihan sosial tersebut jika dikaitkan dengan Idul Adha, maka hewan yang utama untuk Qurban adalah hendaknya hewan kurban yang gemuk, banyak dagingnya, sehat dan sempurna fisiknya tanpa cacat.
Jika saat Idul Firi kaum fakir miskin digembirakan dengan Zakat Fitrah, maka saat Idul Adha mereka digembirakan dengan daging kurban.
Pembagian daging hewan qurban kepada orang yang tidak mampu hakikatnya adalah membangun kesetia kawanan sosial umat Islam dan memupuk rasa kebersamaan serta nilai-nilai ukhuwwah Islamiyah.
Berkurban bukan hanya sekedar mampu melawan setan dan mengeluarkan uang untuk menyembelih hewan kurban. Tapi ini adalah langkah awal menuju pengorbanan-pengorbanan lainnya untuk agama Allah SWT.
Qurban pada hakikatnya memangkas atau memotong sifat-sifat hewani seperti egois, rakus atau tamak, mencuri atau korupsi, merampas hak-hak orang lain, bahkan diktator sudah selayaknya disembelih atau dihilangkan.
Umat Islam yang memiliki kemampuan untuk berqurban, sangat dianjurkan berqurban dan daging-daging hewan qurban dibagikan kepada mustadh’afin (orang-orang yang lemah secara ekonomi).
Menjadi tolak ukur bukan material daging hewan qurban bahkan darahnya yang tertumpah melainkan ketulusan dalam membangun kedekatan kepada Allah, menjalin silaturrahim antar sesama yang diinspirasi dari semangat ketaqwaan kepada Allah.
Keta’atan Nabi Ibrahim dan keshalihan Isma’il dalam peristiwa penyembelihan yang “akan/hampir saja” dilakukan oleh Ibrahim (selaku ayah kandung) kepada Isma’il (anak kandung/darah dagingnya sendiri).
Merupakan simbol kepada semua manusia bahwasanya untuk mencapai kesuksesan dan ridha Allah maka semangat rela berqurban harus digalakkan.
Kisah hidup dan keteladanan Nabi Ibrahim as khususnya dalam peristiwa Qurban merupakan tolak ukur ketaatan dan keikhlasan seorang hamba kepada Kholiq (pencipta)-Nya, merupakan wujud keshalihan sosial dalam merespon perintah Allah tanpa satu keraguan.
Mudah-mudahan kita mampu mengaplikasikan pesan moral dan spiritual peristiwa qurban dalam realitas kehidupan sebagai insan yang beriman.
Bercermin Dengan Keshalihan Sosial Ala Umar Bin Khaththab.
Saat banyak orang yang hanya berslogan pro rakyat cilik padahal rakus dan licik, maka mari kita bercermin dengan sahabat dan binaan Rasulullah SAW yaitu Umar bin Khaththab.
Sejarah mencatat dengan tinta emas nan gemilang tentang kepedulian dan keadilan Khalifah Umar bin Khaththab, seorang penguasa yang rela memikul karung gandum untuk diantarkan kepada seorang janda dan anaknya yang tak berhenti menangis lantaran kelaparan.
Beliau pun kemudian memikul sendiri karung gandum dan makanan melewati padang pasir yang jauh untuk dibawakan kepada ibu dan anak tersebut.
Bahkan untuk menjamin bahwa kebutuhan rakyatnya terpenuhi, Umar sampai pernah melarang dirinya sendiri untuk memakan daging, minyak samin, dan susu yang merupakan makanan favorit dan elit kala itu.
Hebatnya lagi, Khalifah Umar Bin Khaththab memerintahkan para petugas untuk segera menjual segala aset pribadi Khalifah yang difasilitasi negara, dan uang hasil penjualan tersebut dimasukkan (diserahkan) ke Baitul Mal (Kas Negara / tempat untuk menyimpan dan mengelola segala macam harta yang menjadi pendapatan negara).
Lalu sang Khalifah menerbitkan Maklumat atau Keputusan Khalifah (atau istilah sekarang Keppres) yang berisi beragam kebijakan yang berpihak dan menyasar langsung kepada kemaslahatan kaum dhu’afa’.
Nabi Ibrahim telah merintisnya, mengajarkan kepada kita untuk berkurban.
Dalam istilah ilmu fiqh, Qurban adalah binatang yang disembelih guna semata-mata ibadat kepada Allah pada Hari Raya Haji (10 Dzul Hijjah) dan tiga hari kemudian atau hari tasyrik (11–13 Dzul Hijjah).
Binatang yang sah untuk Qurban ialah yang tidak ”bercacat” seperti pincang, sangat kurus, sakit, putus telinga, putus ekornya dan telah berumur.
Sebagaimana yang dipesankan oleh Rasulullah SAW : Empat (4) macam hewan yang tidak boleh dijadikan kurban, yaitu: hewan buta sebelah yang jelas butanya, hewan sakit yang jelas sakitnya, hewan pincang yang jelas pincangnya dan hewan kurus yang tidak bersumsum (sangat kurus).” (HR. Tirmidzi).
Hikmah yang dapat dipetik adalah anjuran untuk saling berbagi, dan suka berkorban untuk orang lain. Ini berarti kita di didik agar terbiasa memberi, berinfak, sedekah dan peduli kepada orang lain, terlebih lagi kepada orang-orang yang berada di sekitar kita.
Kepedulian, solidaritas, sifat kasih dan kedermawanan (tidak pelit) harus kita dipupuk agar tumbuh berkembang menjadi muslim yang rahmatan lil ’alamin (menjadi rahmat bagi orang lain/alam sekitar), sehingga kehadiran kita menjadi manfaat dan penuh keberkahan bagi orang di sekeliling kita.
Manfaatnya juga agar mensucikan harta (dari syubhat dan dosa) dan mensucikan jiwa kita (dari kedengkian dan kesombongan).
Untuk mewujudkan kesatuan ummat dan mengatasi problematika ummat sangat membutuhkan pengorbanan, tanpa pengorbanan mustahil hal tersebut akan terwujud.
Qurban berasal dari kata “Qoroba” , yang artinya mendekatkan diri.
Dalam konteks keislaman maknanya yaitu mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Ibadah haji juga bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah (agar menjadi haji yang mabrur) bukan untuk pelesir, melancong, jalan-jalan, berbelanja dan lain sebagainya.
Ibadah haji dan Qurban itu bukan hanya sebagai ibadah ritual (yaitu ibadah rutinitas tahunan) tapi juga kita maknai sebagai ibadah sosial.
Namun sebagian umat Islam masih memiliki sikap mental yang belum benar-benar terbentuk sesuai dengan pola yang dikehendaki oleh ajaran yang terkandung dalam ibadah haji dan ibadah Qurban tersebut.
Hal ini antara lain dikarenakan ajaran-ajarannya yang selama ini kita praktikkan dalam kehidupan sehari-hari barangkali masih terbatas pada segi-segi rutinitas ritual belaka dan tidak menyentuh segi-segi sosial kemasyarakatan.
Shalih sosial lebih diutamakan dari Shalih ritual
Ulama' Kontemporer Syekh Yusuf Al-Qaradhawi : "sesungguhnya hak Allah dibangun di atas toleransi, sedangkan hak hamba-hamba-Nya dibangun di atas aturan yang sangat ketat".
Oleh sebab itu, ibadah haji misalnya yang hukumnya wajib, dan membayar hutang hukumnya juga wajib.
Maka yang harus di dahulukan ialah kewajiban membayar hutang.
Ini berarti dalam kondisi tertentu kita harus mendahulukan keshalihan sosial daripada keshalihan ritual.
Fenomena krisis ekonomi, dan moral berimplikasi pada ketegangan publik, frustasi sosial dan dekadensi moral yang berpengaruh terhadap perilaku negatif sosial di kalangan umat beragama dan dapat berpotensi memicu dan memacu kericuhan yang tidak jarang terjadinya konflik yang dibungkus dengan label agama.