Virus Corona di Sumsel
Anda dari Zona Merah? PERSI Sebut Dokter Boleh Saja Arahkan Pasien untuk Rapid Test, Termasuk Hamil
Salah satu poin yang ditekankan adalah pihak rumah sakit dilarang menjadikan rapid test sebagai syarat bagi pasien untuk mendapat pelayanan medis.
SRIPOKU.COM, PALEMBANG - Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) mengeluarkan surat edaran terkait larangan dalam promosi layanan rumah sakit selama pandemi Covid-19 atau Virus Corona.
Salah satu poin yang ditekankan adalah pihak rumah sakit dilarang menjadikan rapid test sebagai syarat bagi pasien untuk mendapat pelayanan medis.
Ketua PERSI Sumsel, Dr Mohammad Syahril, Sp P MPH, mengatakan ketentuan dalam surat edaran tersebut harus dipatuhi oleh seluruh rumah sakit.
• Bayar Utang Baru Separuh, Sopir Angkot di Palembang Ini Dikeroyok dan Nyaris Kena Tikaman Pisau
Meski begitu, ada beberapa kategori pengecualian yang masih bisa dimaklumi, dengan syarat memang benar tindakan itu dilakukan sebagai upaya dalam mencegah penularan Covid-19.
"Contohnya, pasien yang berada di wilayah zona merah atau pasien yang diketahui punya riwayat kontak fisik dengan orang positif Covid-19, maka diperbolehkan bagi tim dokter mengarahkan untuk dilakukan rapid test.
Tindakan itu dilakukan untuk mencegah penularan.
Tapi kalau dia berada di wilayah zona hijau dan tidak ada indikasi ke Covid-19, maka tidak ada alasan untuk mewajibkan rapid test sebagai syarat untuk mendapat penanganan medis," ujarnya, jumat (19/6/2020).
"Dan ini berlaku untuk semua pasien. Tidak hanya bagi yang akan melahirkan atau menjalani tindakan operasi saja, di poli klinik rumah sakit juga seperti itu," imbuhnya.
Diketahui, PERSI mengeluarkan surat edaran nomor 735/1B1/PP.PERSI/IV/2020, tertanggal 24 April 2020.
Edaran tersebut ditujukan ke seluruh direktur, pimpinan dan kepala rumah sakit di seluruh Indonesia.
• Ruben Onsu Syok Lihat Betrand Peto Lakukan Hal Tak Terduga di Kamar, Sarwendah Kaget, Kelakuan ABG!
Dituliskan, ada empat poin yang mesti dilakukan pihak rumah sakit dalam koridor hukum dan sesuai etika perumahsakitan selama pandemi.
Pertama, tidak melakukan promosi berlebihan terhadap pelayanan rapid test screening Covid-19. Karena metode ini hanya merupakan suatu alternatif diagnosis untuk mendeteksi adanya infeksi Covid-19 pada pasien.
Kedua, memberikan informasi harga atau biaya pelayanan hanya pada media internal yang terdapat di dalam rumah sakit atau web rumah sakit.
Dan tidak menampilkan harga atau biaya pelayanan pada media informasi terbuka seperti media massa, baliho, spanduk, billboard ataupun berbentuk addsense di situs-situs media sosial.
Ketiga, tidak menjadikan pelayanan pemeriksaan rapid test screening Covid-19 sebagai persyaratan untuk pasien dapat dilayani oleh pihak rumah sakit dan biaya pemeriksaannya dibebankan pada pasien.
• Inilah Wilayah Indonesia yang Akan Dilewati Gerhana Matahari Cincin 21 Juni 2020: termasuk Sumsel
Karena hal ini bersifat menyesatkan, memaksa dan melanggar hak-hak pasien.
Keempat, bahwa pemeriksaan diagnostik dilakukan dengan mengikuti ketentuan dari organisasi profesi sehingga memiliki dasar keilmuan yang berbasis bukti, serta interpretasinya hanya dapat dilakukan oleh tim dokter yang memiliki kompetensi.
Syahril mengatakan larangan menjadikan rapid test sebagai syarat bagi seseorang untuk mendapat pelayanan, merupakan bagian upaya untuk menjaga etika rumah sakit terhadap pasien.
Apalagi jika rumah sakit menjadikan rapid test hanya untuk mencari keuntungan semata, ia menegaskan bahwa hal tersebut merupakan pelanggaran.
Namun Syahril juga mengatakan bahwa aturan dalam edaran tersebut lebih menekankan pada kewajaran.
"Jadi begini misalnya rumah sakit pemerintah, alat serta reagennya diberikan oleh pemerintah, maka kalau rapid test berbayar ke masyarakat tentu itu tidak wajar.
Tapi kalau dia rumah sakit swasta yang seluruh alatnya disediakan sendiri, maka kalau berbayar itu masih wajar karena menyangkut ekonomi," ujarnya.
"Tapi juga jangan menarik harganya terlalu mahal. Kalau harganya wajar, maka saya kira itu masih bisa dipahami.
Jadi sifatnya bukan mengenai boleh atau tidak boleh, dilarang atau tidak dilarang. Namun lebih terkait pada kewajaran,"imbuhnya.
• Kisah Penyamaran Fenomenal Soeharto, Bikin Ajudan Kalang Kabut, Pejabat Daerah Sampai Pucat
Termasuk dengan larangan terlalu mempublish harga rapid test secara berlebihan, ia tak menampik cukup banyak rumah sakit yang melanggar hal tersebut.
Sebagaimana poin kedua dalam surat edaran PERSI, informasi harga atau biaya pelayanan hanya boleh diumumkan pada media internal yang terdapat di dalam rumah sakit atau web rumah sakit.
"Itulah kenapa surat edaran itu dikeluarkan karena sudah banyak yang melanggar makanya diingatkan," ujarnya.
Terkait sanksi yang diberikan, ia mengatakan sejauh ini pihak rumah sakit yang kedapatan melanggar akan mendapat teguran dan sanksi moral.
"Intinya pihak rumah sakit harus patuh untuk memberikan pelayanan terbaik dan edukasi ke masyarakat.
Jangan sampai malah menyesatkan apalagi membodohi masyarakat. Semua ini kembali pada etika rumah sakit," ujarnya.