Mimbar Jumat
Sya’ban, Bulan Diangkatnya Amal
Sejak bulan Rajab, Sya’ban dan Ramadhon secara berturut-turut disebut bulan Pensucian, pensucian badan, pensucian hati dan pensucian ruh.
Ajaran hidup dan pesan-pesan agama ini dapat dilihat dan diterjemahkan dalam simbol-simbol dan sajian yang digunakan. Misalnya bubur abang dan bubur putih.
Makna yang terkandung didalamnya ádalah permohonan doa selamat kepada Allah SWT bagi mereka yang masih hidup dan mohon ampunan kepada mereka-mereka yang sudah meninggal.
Kemudian kue apam melambangkan yang hidup pasti akan menuju pada kematian.
Masih dipercaya oleh umat Islam di beberapa tempat, bahwa bulan Sya’ban atau bulan ruwah ádalah bulannya para arwah atau ruh.
Karena pada bulan ini ribuan bahkan jutaan ruh ahli kubur datang menemui keluarganya yang masih hidup. Ruh-ruh ini menurut cerita, datang untuk didoakan sekaligus mengingatkan kepada sanak keuarganya akan datangnya bulan suci Ramadhan.
Walaupun dasar kepercayaan ini dinilai tidak cukup kuat, baik dari penjelasan Alquranul karim maupun hadits-hadits shoheh.
Namur bukan berarti tradisi ruahan bertentangan dengan jiwa ajaran Islam.
Karena tradisi dalam ruwahan terkandung nasihat, peringatan dan renungan bahwa setiap yang hidup yang bernyawa akan menemui kematian.
Ini akan memotivasi kita agar bersiap-siap mengumpulkan modal amal dan kebajikan.
Menurut hasil pengamatan (monitoring), dalam tradisi ruwahan juga terkandung pengakaran agar mereka yang masih hidup ini terbiasa untuk memperbanyak doa lepada para keluarganya yang sudah meninggal, banyak bersedekah dan memberikan bantuan lepada siapa saja yang membutuhkan.
Sebenarnya seperti yang kita telah maklumi bersama, para arwah tidak butuh makanan dan minuman sebagaimana selalu dipersiapkan bila digelar acara ruwahan.
Justru sajian makanan dan minuman itu dikhususkan buat para jamaah acara.
Yang dibutuhkan para arwah adalah doa-doa kepada Allah SWT, dengan harapan dapat ditebarkan di jagat raya ini.
Konon menurut waliullah, yang mempopulerkan acara ruwahan adalah Sunan Kali Jaga.
Sunan Kali Jaga prnah melihat para ruh yang selama ini berada di dalam kubur, pada bulan sya’ban dibebaskan untuk pergi kemana saja oleh Allah SWT.
Para ruh itu kemudian pergi bersilaturrahim terutama menemui para keluarganya untuk melihat bagaimana keadaan mereka.
Setelah melihat sanak keluarganya yang kebenaran saat itu tidak berbuat kebajikan dan mungkin tengah santai-santai bahkan sedang berbuat maksiat, para ruh itu kembali dengan sedih.
Dari sini kemudian waliullah itu menceritakan pengalaman yang dilihatnya kepada semua orang.
Waliullah itu menyarankan agar semua sanak keluarga menghibur para ruh yang sedih itu dengan mengadakan sedekah.
Acara sedekah diisi dengan membaca surah yasin, membaca tahlil, tahmid dan selawat serta diakhiri dengan mendoakan para arwah tersebut.
Setelah menggelar acara,Waliullah tadi melihat ke langit. Ia melihar arwah-arwah yang tadinya sedih lantas bergembira karena telah mendapat kiriman doa dari keluarganya yang masih hidup di dunia.
Berangkat dari cerita waliullah inilah, maka terciptalah acara ruwhan, dan entah darimana pula awal sumbernya, wall ahu a’lam.
Namun kendatipun sumbernya tidak begitu jelas, namun bila dikaitkan dengan pengiriman baik surat Al Fatihah maupun doa-doa kepada para arwah, yang jelas sumbernya, tradisi ruwahan tidaklah menyimpang, karena intinya mendoakan para arwah yang telah mati.
Janji Allah SWT, doa yang dipanjatkan kepada-Nya untuk disampaikan kepada arwah pasti akan dikabulkan oleh Allah SWT.