Mimbar Jumat

Sya’ban, Bulan Diangkatnya Amal

Sejak bulan Rajab, Sya’ban dan Ramadhon secara berturut-turut disebut bulan Pensucian, pen­su­cian badan, pensucian hati dan pensucian ruh.

Editor: Salman Rasyidin
ist
Drs. HM. Daud Rusjdi AW 

Ajaran hidup dan pesan-pesan agama ini da­pat dilihat dan diterjemahkan dalam simbol-simbol dan sajian yang digunakan. Misalnya bubur abang dan bubur putih.

Makna yang terkandung didalamnya ádalah permohonan doa selamat kepada Allah SWT bagi mereka yang masih hidup dan mohon ampunan kepada mereka-mereka yang su­dah meninggal.

Kemudian kue apam melambangkan yang hidup pasti akan menuju pada ke­ma­tian.

Masih dipercaya oleh umat Islam di beberapa tempat, bahwa bulan Sya’ban atau bulan ruwah ádalah bulannya para arwah atau ruh.

Karena pada bulan ini ribuan bahkan jutaan ruh ahli kubur da­tang menemui keluarganya yang masih hidup. Ruh-ruh ini menurut cerita, datang untuk didoa­kan sekaligus mengingatkan kepada sanak keuarganya akan datangnya bulan suci Ramadhan.

Walaupun dasar kepercayaan ini dinilai tidak cukup kuat, baik dari penjelasan Alquranul karim maupun hadits-hadits shoheh.

Namur bukan berarti tradisi ruahan bertentangan dengan jiwa ajaran Is­lam.

Karena tradisi dalam ruwahan terkandung nasihat, peringatan dan renungan bahwa setiap yang hidup yang bernyawa akan menemui kematian.

Ini akan memotivasi kita agar bersiap-siap meng­umpulkan modal amal dan kebajikan.

Menurut hasil pengamatan (monitoring), dalam tradisi ruwahan juga terkandung pengakaran agar mereka yang masih hidup ini terbiasa untuk memperbanyak doa lepada para keluarganya yang su­dah meninggal, banyak bersedekah dan memberikan bantuan lepada siapa saja yang membu­tuh­kan.

Sebenarnya seperti yang kita telah maklumi bersama, para arwah tidak butuh makanan dan mi­numan sebagaimana selalu dipersiapkan bila digelar acara ruwahan.

Justru sajian makanan dan mi­numan itu dikhususkan buat para jamaah acara.

Yang dibutuhkan para arwah adalah doa-doa ke­pada Allah SWT, dengan harapan dapat ditebarkan di jagat raya ini.

Konon menurut waliullah, yang mempopulerkan acara ruwahan adalah Sunan Kali Jaga.

Sunan Kali Jaga prnah melihat para ruh yang selama ini berada di dalam kubur, pada bulan sya’ban dibe­bas­kan untuk pergi kemana saja oleh Allah SWT.

Para ruh itu kemudian pergi bersilaturrahim ter­u­tama menemui para keluarganya untuk melihat bagaimana keadaan mereka.

Setelah melihat sanak keluarganya yang kebenaran saat itu tidak berbuat kebajikan dan mungkin te­ngah santai-santai bahkan sedang berbuat maksiat, para ruh itu kembali dengan sedih.

Dari sini kemudian waliullah itu menceritakan pengalaman yang dilihatnya kepada semua orang.

Waliullah itu menyarankan agar semua sanak keluarga menghibur para ruh yang sedih itu dengan menga­da­kan sedekah.

Acara sedekah diisi dengan membaca surah yasin, membaca tahlil, tahmid dan selawat serta di­akhiri dengan mendoakan para arwah tersebut.

Setelah menggelar acara,Waliullah tadi melihat ke la­­ngit. Ia melihar arwah-arwah yang tadinya sedih lantas bergembira karena telah mendapat ki­rim­an doa dari keluarganya yang masih hidup di dunia.

Berangkat dari cerita waliullah inilah, maka ter­ciptalah acara ruwhan, dan entah darimana pula awal sumbernya, wall ahu a’lam.

 Namun ken­da­tipun sumbernya tidak begitu jelas, namun bila dikaitkan dengan pengiriman baik surat Al Fatihah maupun doa-doa kepada para arwah, yang jelas sumbernya, tradisi ruwahan tidaklah me­nyim­­pang, karena intinya mendoakan para arwah yang telah mati.

Janji Allah SWT, doa yang dipanjatkan kepada-Nya untuk disampaikan kepada arwah pasti akan dikabulkan oleh Allah SWT.

Sumber: Sriwijaya Post
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved