Iuran BPJS Kesehatan Tidak Jadi Naik, Kelas I Kembali Rp 80 Ribu
Komunitas Pasien Cuci Daerah (KPCDI) pada akhir 2019 mengajukan keberatan dengan kenaikan iuran BPJS Kesehatan.
JAKARTA, SRIPO -- Mahkamah Agung (MA) mengabulkan peninjauan kembali (judicial review) Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan. Dengan keluarnya putusan MA itu, maka iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan batal naik dan kembali seperti sebelum Perpres itu diterbitkan.
Sebelumnya Komunitas Pasien Cuci Daerah (KPCDI) pada akhir 2019 mengajukan keberatan dengan kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Pengacara KPCDI Rusdianto Matulatuwa menilai kenaikan iuran BPJS Kesehatan sebesar 100 persen tanpa ada alasan logis dan sangat tidak manusiawi.
“Angka kenaikan iuran BPJS Kesehatan sebesar 100 persen menimbulkan peserta bertanya-tanya dari mana angka tersebut didapat, sedangkan kenaikan penghasilan tidak sampai 10 persen setiap tahun,” kata dia dalam keterangan di Jakarta, Jumat (6/12/2019).
• Syarat Khusus Turun Kelas BPJS Kesehatan
• Warga Lahat Mulai Tinggalkan BPJS Kesehatan Sejak Layanan Kesehatan Gratis Gunakan KTP KK Berlaku
• Rapat Dengar Pendapat dengan Dirut BPJS Kesehatan Terkait Kenaikan Iuran, Komisi IX DPR Geram
“Ingat ya, parameter negara ketika ingin menghitung suatu kekuatan daya beli masyarakat disesuaikan dengan tingkat inflasi,” lanjutnya.
Komunitas itu kemudian melayangkan gugatan judicial review ke Mahkamah Agung. MA lantas memasukan gugatan judicial review itu ke dalam Perkara Nomor 7 P/HUM/2020 tentang Hak Uji Materiil.
Dalam amar putusannya, MA menerima dan mengabulkan permohonan Komunitas Pasien Cuci Darah. MA menyebutkan Pasal 34 ayat 1 dan 2 Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Selain itu, pasal tersebut juga dinyatakan bertentangan dengan sejumlah undang-undang.
“Menyatakan Pasal 34 ayat (1) dan (2) Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang perubahan atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” demikian bunyi amar putusan yang diberikan Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro, Senin (9/3).
MA menilai pasal itu bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi, yakni Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), Undang-Undang Nomor 24 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Putusan tersebut diketok oleh Hakim MA Supandi selaku ketua majelis hakim bersama Yosran dan Yodi Martono Wahyunadi masing-masing sebagai anggota. “Perkara Nomor 7 P/HUM/2020 perkara hak uji materiel. Diputus Kamis, 27 Februari 2020,” imbuh Andi Samsan Nganro.
Pemerintah sebelumnya menaikkan iuran BPJS Kesehatan melalui Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Perubahan Presiden Nomor 82 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan, yang mulai berlaku 1 Januari 2020. Kenaikan iuran dilakukan demi mengatasi masalah defisit keuangan yang melanda pelaksana Program Jaminan Kesehatan Nasional tersebut.
Tercatat, lembaga itu memiliki defisit keuangan sebesar Rp3,3 triliun pada 2014. Lalu, membengkak menjadi Rp5,7 triliun pada 2015, dan Rp9,7 triliun pada 2016. Defisit terus berlanjut hingga 2017 menjadi sebesar Rp13,5 triliun dan pada 2018 menjadi Rp19 triliun. Tahun lalu, defisit diperkirakan sebesar Rp32 triliun.
Dengan adanya Perpres ini maka iuran bagi peserta bukan penerima upah (PBPU) naik menjadi Rp 42.000 per bulan untuk kelas tiga dari sebelumnya Rp 25.500. Untuk kelas dua menjadi Rp 110 ribu per bulan dari Rp 51.000 dan kelas satu menjadi Rp 160.000 per bulan dari sebelumnya Rp 80.000. Namun dengan adanya putusan MA, maka iuran BPJS Kesehatan kembali ke semula yakni Rp 25.000 untuk kelas tiga, Rp 51.000 kelas dua, dan Rp 80.000 kelas satu.
Menanggapi keputusan MA itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan akan meninjau kembali kondisi keuangan BPJS Kesehatan. “Ini kan keputusan yang memang harus dilihat lagi implikasinya kepada BPJS. Kalau dia secara keuangan akan terpengaruh, ya nanti kami lihat bagaimana BPJS Kesehatan akan tetap bisa berlanjut,” kata Sri Mulyani di Kompleks Istana Kepresidenan, Senin (9/3).
Sri Mulyani mengatakan, dampak harus dilihat secara menyeluruh karena BPJS Kesehatan tetap saja merugi meski pemerintah telah menyuntikkan dana triliunan rupiah berkali-kali. Oleh karena itu, ia akan melihat lagi kondisi keuangan lembaga tersebut setelah MA membatalkan aturan presiden yang berisikan kenaikan iuran BPJS Kesehatan.
“Meskipun kami sudah tambahkan Rp15 triliun, BPJS Kesehatan masih negatif hampir sekitar Rp13 triliun. Jadi kalau sekarang ada realita (pembatalan kenaikan iuran), ya harus kami lihat. Kami nanti review lah ya,” jelas Sri Mulyani.
Sedangkan Menteri Kordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan, Mahfud MD menegaskan Pemerintah tidak akan melawan putusan MA terkait dibatalkannya kenaikan iuran BPJS. Mahfud menyebut putusan judicial review MA terkait iuran BPJS itu bersifat final dan tidak bisa diajukan banding.
“Berbeda dengan gugatan perkara perdata atau pidana itu masih ada PK (Peninjauan Kembali) ya kalau sudah diputus oleh MA di Kasasi. Kalau judicial review itu sekali diputus final dan mengikat. Oleh sebab itu ya kita ikuti saja. Pemerintah kan tidak boleh melawan putusan pengadilan,” kata Mahfud di kantor Kemenko Polhukam Jakarta Pusat, Senin (9/3). (tribun network/gle/git/yud/dod)