Siaga dan Komitmen di 2019
Tahun 2019 sudah kita masuki. Sepanjang 2018 banyak dinamika dan dialektika yang terjadi, khususnya di Sumsel.
Bagi TNI sendiri (yang biasanya selalu menjadi Dansatgas), prioritas adalah pada aspek penanggulangan atau siaga darurat.
Sementara untuk pencegahan, TNI bisa saja melakukannya, tetapi fokus garapan ini sebenarnya ada di instansi lain, terutama Pemerintah Kabupaten ataupun Tim Restorasi Gambut (TRG) dan Badan Restorasi Gambut (BRG).
Kelompok ini yang pegang kendali besar dalam melakukan upaya strategis mencegah dan mengantisipasi terjadinya karhutla.
Sejauh ini sebenarnya TNI juga terlibat dalam upaya pencegahan, utamanya melakukan program pemberdayaan dan penguatan masyarakat, termasuk penguatan akses ekonomi.
Inovasi-inovasi juga dilakukan seperti produk Bios 44.
Harapannya adalah keinginan sebagian masyarakat untuk membakar guna membuka lahan pertanian bisa dicegah.
Sebagian ini sudah berhasil, tapi tak bisa dipungkiri banyak yang belum teratasi.
Kedepannya apa yang bisa dan harus dilakukan?
Dari pengalaman saat menjadi satgas dalkarhutla 2018, saya bisa menguraikan beberapa hal.
Pertama, sangat penting untuk mengkampanyekan dan menjadikan opini bersama bahwa karhutla dan kabut asap adalah derita kita bersama.
Karhutla bukan hanya dirasakan oleh masyarakat setempat, tidak hanya di titik terjadinya api, tapi juga ke daerah lain yang mungkin tidak tahu apa-apa.
Efek karhutla tidak hanya dirasakan oleh petani, perusahaan, atau sekelompok orang.
Efek karhutla tak pandang strata dan status, mau pejabat, rakyat biasa, tentara, polisi, siapapun akan terkena.
Di 2019 ini, dan dimulai dari sekarang, kampanyekanlah bahwa asap harus dilawan, karhutla mutlak tidak ada.
Karhutla adalah musuh bersama.
