Berita Musi Rawas

Derai Air Mata di Musi Rawas, Kisah Pengabdian Honorer 10 Tahun yang Terancam Terbuang

Ia bukan seorang politisi, bukan pula pejabat. Ia adalah seorang tenaga honorer dari Puskesmas Megang Sakti

Penulis: Eko Mustiawan | Editor: Yandi Triansyah
SRIPOKU.COm / Eko Mustiawan
FOTO BERSAMA - Suasana haru di Ruang Rapat Paripurna DPRD Musi Rawas, saat puluhan pegawai honorer non database mengadukan nasibnya ke DPRD Musi Rawas, Rabu (17/9/2025) 

SRIPOKU.COM, MUSI RAWAS - Suara Heni bergetar saat menggenggam mikrofon.

Ia bukan seorang politisi, bukan pula pejabat. Ia adalah seorang tenaga honorer dari Puskesmas Megang Sakti, salah satu dari puluhan wajah yang datang dengan harapan terakhir ke gedung dewan.

Air matanya tak terbendung, membasahi janji pengabdian yang telah ia rawat selama satu dekade.

"Kami sudah 10 tahun mengabdi, Pak. Siang, malam, hujan, petir, kami selalu dinas. ASN mana ada yang seperti itu?" ucap Heni dengan nada getir di hadapan Ketua DPRD Firdaus Ceolah dan Sekda Ali Sadikin, Rabu (17/9/2025). 

Kalimat itu bukan sekadar keluhan, melainkan sebuah jeritan hati. Heni dan rekan-rekannya, para pegawai honorer yang tak terdata dalam database pemerintah pusat, kini berhadapan dengan tembok tebal.

Nama mereka tak masuk dalam usulan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) Paruh Waktu, sebuah skema yang dirancang untuk menyelamatkan tenaga non-ASN. 

PPPK separuh waktu (part-time) adalah Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) yang diangkat untuk mengisi kebutuhan jabatan fungsional tertentu yang bekerja berdasarkan perjanjian kerja dengan jangka waktu tertentu, namun dengan jam kerja yang lebih sedikit dari ketentuan jam kerja normal.

Ini berarti PPPK separuh waktu akan bekerja kurang dari jam kerja standar yang biasanya berlaku untuk pegawai ASN (Aparatur Sipil Negara), yang umumnya adalah 40 jam per minggu.

Pembagian waktu kerja ini bisa bervariasi tergantung pada kebijakan instansi yang merekrut dan kebutuhan jabatan yang bersangkutan.

Bagi mereka, ini adalah sebuah ironi yang menyakitkan. Saat negara berjibaku melawan pandemi COVID-19, merekalah garda terdepan di puskesmas dan rumah sakit.

Namun kini, ketika badai telah reda, pengabdian mereka seolah terlupakan, tercecer dari sistem pendataan.

"Kami kalah dengan yang baru-baru. Mereka masuk, sedangkan kami tertinggal," lanjut Heni.

"Pendataan tahun 2022 itu harusnya untuk yang sudah lebih dari 5 tahun. Tapi di lapangan, kami tidak ada yang masuk. Tolonglah, Pak, kami ada di sini. Bukan kami tidak ada."

Kisah serupa datang dari Harda, honorer di RSUD dr. Sobirin dengan masa kerja lebih dari 10 tahun.

Ia merasa ada ketidakadilan yang sistemik. Menurutnya, seleksi P3K tahap kedua terasa seperti formalitas belaka, di mana peserta cukup hadir untuk dinyatakan lulus.

Sementara itu, nasibnya dan ratusan honorer lain terkatung-katung karena sebuah pilihan di masa lalu.

"Kenapa kami dibedakan? Hanya karena dulu kami ikut tes CPNS, akun kami terkunci untuk ikut P3K. Padahal saat itu kami berpikir masih ada kesempatan menjadi PNS karena usia di bawah 35 tahun," ungkap Harda.

"Jika kami dirumahkan, maka akan banyak pengangguran baru di Musi Rawas."

Pemerintah Kabupaten Musi Rawas sendiri berada dalam posisi sulit. Sekretaris Daerah (Sekda) Musi Rawas, H. Ali Sadikin, menjelaskan bahwa pemerintah daerah terikat oleh regulasi dari pemerintah pusat yang kerap berubah.

"Kami tentu sudah memikirkan nasib pegawai yang telah mengabdi lama. Namun, aturan dari pusat selalu dinamis. Salah satunya aturan bahwa yang pernah ikut tes CPNS tidak bisa masuk P3K," jelas Ali Sadikin.

Pihaknya mengaku telah berupaya mengambil langkah-langkah, termasuk menginformasikan yang tidak lulus CPNS untuk mengikuti tes P3K penuh waktu dan mengusulkan yang akunnya terkunci untuk P3K paruh waktu. Namun, sistem tetap menolak nama-nama mereka.

Di tengah suasana haru dan ketidakpastian itu, secercah harapan muncul. Ketua DPRD Musi Rawas, Firdaus Ceolah, menegaskan bahwa daerah tidak boleh tinggal diam.

Baginya, ini bukan hanya masalah administrasi, tetapi juga masalah sosial.

"Mereka butuh bantuan kita. Jangan sampai mereka dirumahkan. Apabila itu terjadi, bisa meningkatkan kriminalitas dan masalah sosial lainnya," tegas Firdaus.

Ia mendorong agar ada desakan bersama dari daerah agar pemerintah pusat mau mengubah regulasinya.

Pertemuan itu pun berakhir bukan dengan kepastian, melainkan dengan sebuah misi.

Disepakati bahwa dua orang perwakilan honorer non-database akan diberangkatkan ke Jakarta untuk mengadukan nasib mereka langsung ke Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB).

Sumber: Sriwijaya Post
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved