Opini

Teknologi untuk Manusia atau Manusia untuk Teknologi?

Konsekuensi sistem civil law yang dianut bumi pertiwi, mau tak mau kepastian hukum harus dihimpun dalam produk hukum tertulis.

Editor: tarso romli
handout
M Syahri Ramadhan 

PULUHAN situs dan aplikasi di Indonesia akan terancam diblokir oleh Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemenkomdigi).

Alasannya ialah platform tersebut belum memenuhi administrasi Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) untuk Lingkup Privat sebagaimana diamanatkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat (PM Kominfo 5/2020).

Menariknya ialah salah satu situs yang masuk dalam daftar “bandel” karena tidak menuntaskan kewajiban administrasinya yaitu Generative Pre-Trained Transformer atau biasa dikenal dengan nama Chat GPT.

Sebuah situs di bidang teknologi kecerdasan Artificial Intellegence (AI) yang mampu menjawab segala pertanyaan di semua bidang apa pun.

Maka dari itu, Chat GPT dan situs lain yang belum terdaftar, diberikan kesempatan untuk menuntaskan amanat regulasi.

 Jika pun peringatan tidak diindahkan, berdasarkan Pasal 7 PM Kominfo 5/2020, sanksi administratif harus dilayangkan bagi perusahaan tersebut.

Lantas pernyataan selanjutnya, jika semua situs sudah menunaikan kewajiban regulasi, apakah hal tersebut sudah cukup menuntaskan hubungan teknologi dan manusia yang masih dibumbui polemik?

Manusia dan Teknologi

Satjipto Rahardjo dengan gagasan hukum progresif, menyatakan hukum bukan hanya terbatas kepada tekstual, tetapi juga kontekstual. Hukum tidak hanya dipahami untuk membaca dan menerapkan undang–undang. 

Hal ini pun berlaku kepada aparat penegak hukum yang diharapkan tidak sekedar menjadi corong undang – undang (La Bouche de la Loi). Lebih dari itu, mereka diharapkan mempunyai kemauan untuk bertindak progresif (Rahardjo, 2010).

Segala upaya pemerintah dalam meregulasi bidang Ilmu dan Pengetahuan Teknologi (IPTEK) selayaknya tetap diapresiasi.

Konsekuensi sistem civil law yang dianut bumi pertiwi, mau tak mau kepastian hukum harus dihimpun dalam produk hukum tertulis.

Tak pelak, sudah banyak peraturan perundang–undangan terkait telematika sudah diterbitkan.

Seperti contoh UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang bahkan mengalami 2 (dua) kali perubahan (UU No. 19 tahun 2016 dan UU No. 1 tahun 2024) dan UU No. 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi, merupakan contoh dari sinkronisasi hukum terhadap dinamika masyarakat yang tidak dapat lepas dari digitalisasi.
 
Namun, hukum tertulis tetaplah produk yang bersifat rigid dan kaku. Di sisi lain,  digital adalah dunia maya yang dihimpun berbagai algoritma.

Menangani problematika objek tersebut, tidak cukup hanya dengan diikat dalam pasal – pasal dalam peraturan perundang–undangan.

Sebagaimana contoh Chat GPT dan platform AI lainnya. Ketergantungan manusia terhadap aplikasi tersebut sudah tidak dapat terbendung.

Transformasi cara berpikir konvensional sudah beralih ke digital. Alhasil, segala pekerjaan baik di bidang pendidikan, bisnis bahkan seni dapat dituntaskan dengan tempo yang tidak begitu lama.

Cukup dengan menuliskan prompt atau instruksi diinginkan, maka AI akan menjawabnya dengan susunan kalimat dalam sebuah teks yang sangat rapi.

Keresahan pun muncul, gempuran aplikasi AI yang ada saat ini dianggap dapat mereduksi kreativitas dan cara berpikir kritis manusia dalam menghadapi masalah kehidupan.

Kehadiran berbagai platform di dunia maya harus dianggap sebuah keniscayaan. Perkembangan masa revolusi industri dari 1.0 (mesin uap) hingga 4.0 (AI dan big data) adalah bukti nyata bahwa manusia tidak dapat menyangsikan perubahan yang terus terjadi.

Fenomena tersebut merupakan disrupsi kehidupan manusia yang tidak dapat dinafikan.

Ketergantungan terhadap teknologi seakan menjadi kebutuhan primer dalam menunjang segala aktivitas.

Contoh sederhana, segala keperluan administrasi yang berkaitan dengan birokrasi pemerintah seperti membayar pajak, memperpanjang masa aktif Surat Izin Mengemudi (SIM), dan sejenisnya. Semua dilaksanakan secara online.  

Jalan Pintas atau Penunjang Kreativitas ?

Segala keinginan umat manusia saat sudah dalam satu genggaman yang bernama gawai (smartphone).

Cukup memainkan jari jemari di berbagai aplikasi, maka hasrat manusia sebagai homo sapiens, dapat diwujudkan secara sekejap saja.

Keberkahan telematika terhadap hukum, dapat dilihat banyaknya kasus kriminal yang dapat diungkap melalui serangan viral para warganet. Fenomena tersebut sekaligus mendobrak proses penegakan hukum yang dikenal berbelit – belit dan lambat.  

Namun, efisiensi yang diberikan teknologi bukan berarti tidak mempunyai masalah. Selayaknya hukum yang timbul karena kesalahan dalam realitas sosial.

Digitalisasi menimbulkan masalah baru termasuk juga masalah hukum.

Begawan Hukum Tata Negara Mahfud MD menyatakan jika ditinjau dari sistem hukum Lawrence M. Friedman, Indonesia tidak pernah ada masalah dengan persoalan substansi hukum (peraturan hukum).

Ribuan produk legislasi yang dihasilkan adalah contoh keberhasilan pemerintah bersama parlemen dalam membuat teks peraturan hukum.

Akan tetapi struktur hukum (penegak hukum) dan budaya hukum yang masih perlu dibenahi (Moh Mahfud MD, 2018).

Budaya digitalisasi yang diterapkan masyarakat masih belum diimbangi dengan literasi digital yang paripurna.

Contoh sederhana di bidang pinjaman online (pinjol). Pada tahun 2024, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat dana peer to peer (P2P) lending atau pinjaman online (pinjol) yang belum dilunasi mencapai Rp 72,03 triliun.

Tunggakan utang yang bernilai fantastis menjadi cerminan sosial, bahwa masyarakat menggunakan pinjol atas dasar “kemauan” tanpa diimbangi dengan “kemampuan” membayar utang.

Terlebih lagi, utang digunakan atas dasar memenuhi gaya hidup (life style), bukan kebutuhan hidup.

Harus diakui, kedewasaan masyarakat dalam bersikap di dunia maya masih belum memuaskan. Hal ini terlihat dari informasi yang disampaikan Kemenkomdigi, pada tahun 2024 terdapat 1.923 konten hoaks.  

Selayaknya peraturan hukum, tidak cukup dengan menulis dan membaca teks. Masyarakat harus mampu menggali nilai, norma maupun asas yang dibuat dalam regulasi.

Aplikasi seyogianya jangan dijadikan jalan pintas untuk memenuhi goals (tujuan yang dicapai). Manusia tetap menjadi pengendali atas semua perangkat teknologi.

Platform adalah penunjang kreativitas yang berbasis nilai dan moral.

Situs dan aplikasi merupakan objek hukum yang tidak mempunyai parameter dalam menilai baik atau buruk seperti yang dimiliki manusia pribadi kodrati selaku subjek hukum.

Pemanfaatan atas perangkat di dunia maya yang kebablasan akan menghancurkan generasi manusia yang selalu dituntut berpikir kritis dan analitis.  

Sama halnya yang disampaikan oleh Satjipto Rahardjo, bahwa hukum untuk manusia, bukan manusia untuk hukum.

Maka dari itu, apakah teknologi untuk manusia atau manusia untuk teknologi? Mari kita renungkan bersama. (*)

Simak berita menarik lainnya di sripoku.com dengan mengklik Google News.

Sumber: Sriwijaya Post
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved