Opini
Makan Bergizi Gratis dan Ujian Publik
Pada akhirnya, MBG sedang menghadapi ujian publik: apakah pemerintah berani belajar dari kesalahan atau justru menyerah pada tekanan.
Pengalaman negara lain memberi pelajaran penting. India pernah menghadapi tragedi keracunan massal dalam Mid-Day Meal Scheme tahun 2013.
Alih-alih menutup program, pemerintah India memilih memperbaikinya: audit dapur, standar higienitas diperketat, dan sistem pengawasan diperkuat.
Kini, program tersebut tetap berjalan dan menjadi salah satu intervensi gizi terbesar di dunia (Afridi, 2010; Drèze & Goyal, 2003).
Brasil juga menghadapi tuduhan korupsi dalam Programa Nacional de Alimentação Escolar. Pemerintah tidak mematikan program, melainkan membentuk dewan pengawas independen dan melibatkan masyarakat sipil.
Hasilnya, legitimasi program justru meningkat (Sidaner, Balaban, & Burlandy, 2013). Dua contoh itu menegaskan bahwa masalah tidak selalu berarti kegagalan, melainkan peluang untuk memperkuat program.
Apa yang Dapat Kita Lakukan?
Ada dua pilihan. Pertama, penghentian total agar investigasi berjalan tanpa risiko baru. Namun konsekuensinya, anak-anak kehilangan manfaat gizi, dan restart program bisa lebih berat.
Kedua, opsi yang lebih moderat: menghentikan dapur atau vendor bermasalah, sambil memperketat pengawasan di titik yang masih layak. Opsi ini lebih sejalan dengan policy learning: keselamatan anak tetap prioritas, sementara manfaat program tidak terhenti sepenuhnya.
Untuk itu, beberapa langkah kunci perlu ditempuh: audit independen terhadap seluruh rantai produksi dan distribusi; sertifikasi higienitas dapur MBG; inspeksi mendadak dengan uji sampel acak; serta keterbukaan hasil audit kepada publik.
Transparansi bukan sekadar teknis, tetapi fondasi untuk membangun kembali kepercayaan.
Di titik inilah peran komunikasi kebijakan menjadi sangat penting. Publik saat ini melihat MBG dari kasus viral nasi berbelatung, bukan dari tujuan mulianya. Jika pemerintah hanya reaktif setelah masalah muncul, kepercayaan akan semakin terkikis.
Yang dibutuhkan adalah komunikasi proaktif: publikasi rutin soal menu dan kualitas, pelibatan pihak independen sebagai pengawas, serta penyampaian terbuka hasil audit.
Dengan begitu, narasi publik bergeser dari “program bermasalah” menjadi “program yang sedang berbenah.”
Di sinilah ilmu komunikasi bertemu dengan kebijakan publik: membangun legitimasi bukan hanya lewat kebijakan yang benar, tapi juga komunikasi yang jujur dan konsisten.
Dalam kaitan dengan Sumsel, walau kasusnya muncul di Sumsel, dampaknya berskala nasional. Daerah lain melaporkan persoalan serupa, dari kualitas menu hingga logistik distribusi.
Suara yang Hilang, Demokrasi yang Tergerus |
![]() |
---|
Peringatan Dini: IPM Kota Palembang Sangat Tinggi Tapi Tersendat |
![]() |
---|
Cerdas Finansial, Aman dari Penipuan: Pentingnya Literasi Keuangan di Era Digital |
![]() |
---|
Teror Likuiditas Dana Rp 200 Triliun: “Offside”? |
![]() |
---|
Serapan Anggaran MBG Rendah: Diduga Ada Skandal 'Uang Titik' Dapur Rp 50 Juta di Palembang |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.