Semuanya tetap ia laksanakan seperti saat kondisi sehat dan berlimpah kemewahan.
Nabi Ayub menanamkan dalam dirinya rasa malu untuk menciptakan kondisi tertentu atas dirinya sesuai keinginanya apalagi untuk meminta kembali apa yang pernah Tuhan berikan kepadanya.
Hal itu disebabkan prasangka baiknya kepada Allah. Keyakinan bahwa Allah sangat menyayanginya, mengabulkan doanya dan pastinya memberikan hal terbaik untuk dirinya (Ibn Katsir, 1244-1245).
Sampai suatu ketika datang dua orang ke kediaman Nabi Ayub. Mereka tidak kuat berdekatan dengan sang nabi karena bau yang disebarkan oleh penyakit kulitnya. Keduanya berdiri dari kejauhan.
Jangan lupa Like fanspage Facebook Sriwijaya Post di bawah ini:
Salah satu dari keduanya kemudian berkata: Andai Allah mengetahui kebaikan Ayub, ia tidak akan tertimpa musibah ini. (HR. Ibn Hanbal, 1992).
Nabi Ayub sangat sedih dengan kesedihan yang tidak pernah ia rasakan seumur hidupnya bukan karena perilaku atau perkataan kedua orang tersebut tentang dirinya.
Namun prasangka buruk orang tersebut me¬nge¬nai sedikitnya pengetahuan Allah. Hal tersebut sangat memberatkan hati Nabi ayub. Ke¬cintaannya terhadap Tuhan menjadikannya tidak ingin siapapun berprasangka buruk terhadap Sang Pencipta.
Akhirnya ia berdoa yang disaksikan oleh kedua orang tersebut, dan berjanji tetap bersujud dengan tidak mengangkat kepala selamanya, hingga Allah berkenan menghilangkan semua musibah. (Ibn Katsir, 1246).
Selesai mengucapkan doa, Allah menampakkan mukjizat untuk nabi Ayub, dengan begitu mudah Allah menyembuhkan penyakitnya tanpa meninggalkan bekas kemudian mengembalikan keluarga beserta harta kekayaan yang pernah dimilikinya.
Sebuah pembelajaran bagi insan beriman bahwa terdapat dua macam prasangka yang bisa menyelimuti hati, pikiran dan perilaku manusia.
Meskipun dalam pandangan masyarakat prasangka senantiasa identik dengan pemikiran buruk. Namun secara tegas ayat, hadis maupun pendapat ulama menyebut ada dua jenis prasangka, yaitu prasangka baik dan prasangka buruk.
Allah memerintahkan untuk memelihara diri dengan senantiasa berprasangka baik terhadap siapapun termasuk kepada diri sendiri, terlebih kepada Allah. Karena Allah akan menyesuaikan dengan apa yang menjadi prasangka seorang hamba (H.R. Bukhariy, 6970).
Update 17 Maret 2022. (https://covid19.go.id/)
Membangun prasangka baik dalam diri merupakan ekspresi dari ketaqwaan seseorang kepada Allah. Memperbanyak ibadah dan tawakal kepada Allah adalah cara terbaik untuk mengatasi lahirnya prasangka buruk. Karena ibadah dan tawakal mengakibatkan hati menjadi tenang dan melupakan hal-hal buruk.
Perlu disadari bahwa Allah tidak pernah menciptakan sesuatu tanpa manfaat (Q.S.3: 191) termasuk strategi membangun dan mengelola prasangka.