Opini

Prasangka yang Dibolehkan

Editor: Yandi Triansyah
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Dr. Hj. Uswatun Hasanah, M.Ag Sekretaris Program Dokror dan Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Raden Fatah Palembang.

Sebagai pedoman hidup yang paripurna, Islam telah menjelaskan tentang prasangka secara komprehensif.

Jangan lupa juga subscribe, like dan share channel Instagram Sriwijayapost di bawah ini:

Firman Allah swt: Hai orang-orang yang beriman jauhilah kebanyakan pra-sangka, karena sebagian dari prasangka merupakan dosa. Dan janganlah mencari-cari ke¬sa-lahan orang lain dan janganlah menggunjingkan satu sama lain.

Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa ji-jik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha penerima taubat la-gi Maha Penyayang (Q.S. 49, 12).

Secara khusus ayat menjelaskan bahwa ada dua jenis prasangka yang dapat tumbuh dan menguasai jiwa dan pemikiran manusia,

yaitu prasangka baik dan prasangka buruk. Prasangka buruk atau yang dikenal dengan istilah su’uzhan merupakan perbuatan yang tegas dilarang dan menimbulkan dosa. Sebuah prasangka buruk diibaratkan sebagai memakan bangkai sau-daranya.

Bagaimana hukum memakan bangkai, terlebih itu adalah bangkai dari saudara sendiri, maka itulah qias dari haramnya berprasangka buruk kepada orang lain.

Selanjutnya pada kisah Nabi Ayub berikut akan menjelaskan lebih lanjut tentang adanya dua jenis prasangka dalam jiwa manusia serta bagaimana strategi mengelola sebuah prasangka.

Diawali dengan kisah sebelum terkena musibah, Nabi Ayub memiliki segala jenis kemewahan dunia yang diinginkan manusia, yaitu berupa perniagaan, hewan ternak yang terus ber-kembang biak, rumah yang nyaman, istri yang taat dan keturunan yang banyak terdiri atas laki-laki dan perempuan.

Jangan lupa subscribe, like dan share channel TikTok Sriwijayapost di bawah ini:

Di masyarakatnya Nabi Ayub sangat dikenal dengan ketaatan, menyayangi orang miskin, menyantuni anak yatim, kaum dhuafa dan Ibnu Sabil. Ia senantiasa ber¬syukur atas nikmat Allah yang telah diberikan kepadanya dengan menunaikan hak-hak Tuhan.

Setelah ujian kemewahan tidak menggoyahkan keimanannya.

Allah berkenan memberi ujian berupa kemalangan dan kekurangan. Perlahan-lahan semua nikmat dicabut darinya, hingga penyakit kusta menguasai sekujur tubuhnya selama bertahun-tahun.

Sebagaimana ujian kemewahan yang berhasil dilaluinya, ujian kemalangan pun dapat dijalaninya tanpa pernah mengeluh. Nabi Ayub tetap tegar menjalani kehidupan dan sabar dengan segala terpaan musibah.

Tidak sedikitpun keluar dari lisannya, terbersit dalam pikiran dan tercermin pada perbuatannya prasangka buruk kepada Tuhan. Intensitas dan kualitas ibadahnya pun tidak berkurang.

Halaman
1234
Tags:

Berita Terkini