Pemkot Palembang Usulkan Pelaku Usaha Rumah Makan Beromset Rp 6 Juta Dikenakan Pajak
SRIPOKU.COM, PALEMBANG -- Pembahasan Raperda Pajak Daerah oleh Pemkot dan DPRD Palembang masih berlangsung alot.
Pembahasan menarik saat membahas batas limit dari omset pengusaha yang akan dikenakan pajak.
Wakil Ketua Pansus IV tentang Pajak Daerah, Muhammad Hibbani mengatakan dari enam jenis pajak yang direvisi, pajak restoran menjadi sorotan publik karena berkaitan langsung dengan masyarakat menengah ke bawah.
Jalannya pembahasan revisi mulai dari mendengarkan aspirasi para pelaku usaha kuliner hingga saat ini masih menentukan limit omset yang didapat pelaku usaha untuk dikenakan pajak.
"Terjadi diskusi yang cukup menarik antara pihak eksekutif dan legislatif terutama terkait batas bawah omset sebuah usaha dikenakan pajak restoran," ujarnya.
Pada awalnya pemerintah Kota Palembang mengusulkan limit omset sebesar Rp. 6.000.000 per bulan, namun hal ini dianggap terlalu membebani.
"Sebelumnya ada demo dari pelaku usaha kuliner, ini berarti apa yang dikatakan DPRD sejalan dengan kondisi masyarakat saat ini yang merasa terlalu berat," ujarnya.
Hibbani juga mengatakan berkaca dengan Kota Surabaya, limit omset yang diambil sebagai pajak restoran sebesar Rp. 15.000.000 per bulan, seharusnya limit tersebut juga menjadi patokan pajak restoran Kota Palembang.
Ketua Fraksi PKS DPRD Kota Palembang ini juga mengatakan sampai saat ini Reperda tersebut masih dibahas, dengan tetap mempertimbangkan target pajak daerah Tahun 2020 yang naik hingga 1,5 Triliun, namun juga tidak membebani pelaku usaha kuliner atau UMKM kecil.
"Kita usahakan untuk mencari solusi bersama pemerintah kota, saat ini sudah tahap finishing," ujarnya.
Seperti dikutip dari Instgram DPW PKS Sumsel, Hibanni menjelaskan pajak restoran harus bersahabt dengan UMKM.
Menurut dia, jika pemerintah kota memaksakan batas omset dikenakan pajak restoran sebesar Rp 6.000.000 per bulan atau sama dengan Rp 200.000 per hari.
"Angka itu sama saja pemerintah akan memunggut pajak dari pedagang nasi uduk yang berhasil menjual dagangannya 20 bungkus per hari,' kata dia.
Selanjutnya, pajak restoran merupakan pajak daerah yang betul-betul menyentuh lapisan masyarakat paling bawah.
Sehingga pemungutan pajaknya betul-betul harus dikalkulasi dengan baik, agar tidak menimbulkan gejolak.
Menurut dia, berbeda halnya dengan pajak hotel yang menyasara pemilik hotel, kos kosan atau bangunan sejenis yang dimiliki oleh masyarakat menengah.
"Restoran warung makan, kios makan sebagian dimiliki oleh masyarakat kecil," kata dia.
• Sempat Gagal, Ratih Kini Peraih Nilai SKD CPNS di PALI, Ngaku tak Mau Ulangi Kegagalan
• Bahas Raperda Pajak Restoran, Pengusaha Rumah Makan di Palembang Was-was, Ngaku Omset Turun
Selain itu, dalam analisis yang dilakukannya, Pemerintah kota tidak menemukan alasan yuridis darimana angka omset Rp 3 juta per bulan (berdasarkan Perda nomor 2 tahun 2018) dan omset Rp 6 juta per bulan (berdasarkan Raperda) menjadi limit Wajib Pajak (WP), untuk dikenakan pajak restoran.
"Jika kita menilik definisi usaha mikro berdasarkan UU nomor 20 tahun 2008 tentang UMKM disana didapatkan bahwa usaha mikro adalah usaha yang memiliki omset sampai dengan Rp 300 juta per tahun atau sama dengan Rp 25 juta per bulan," kata dia.
Maka kata HIbbani jika pemerintah kota memiliki tekad untuk melindungi UMKM khususnya usaha mikro maka limit yang paling pas untuk dijadikan patokan pengenaan pajak restoran adalah omset sebesar Rp 25 juta per bulan bukan Rp 6 juta per bulan.
"PAD Palembangdi di tahun 2020 adalah sebesar Rp 1,8 T dimana 81 persennya atau sekitar Rp 1,5 T berasal dari pajak daerah. Sedangkan 3,44 persen atau sebesar 63 miliar berasal dari ekkayaan yang dipisahkan atau BUMD," kata dia.
Menurut dia dominannya pajak daerah sebetulnya masih wajar.
• Sopir Bawa Minyak Ilegal dari Sekayu ke Lampung Ngaku Jika Tertangkap Ada yang Mengurusnya
• Mantan Kadishub Prabumulih Ditahan di Rutan Pakjo Palembang, Kasus Pengelolaan Jasa Parkir
Namun yang perlu sama-sama pihaknya perhatikan bahwa porsi BUMD yang sangat kecil.
Jangan sampai pemerintah kota jago memanfaatkan kekuasaan yang dimilikinya untuk mengumpulkan pundi-pundi penerimaan dari masyarakat tapi tidak jago menjalankan bisnis atau usaha.