Berita Mimbar Jumat

Mimbar Jumat: Apakah Kamu Mampu Memikul Dosaku?

Masakanku ini tak akan pernah matang. Karena aku sedang merebus batu. Nanti kalau capek menangis, anak-anak akan tertidur sendiri

Editor: adi kurniawan
Pexels/Konevi
Foto ilustrasi masjid -- Mimbar Jumat: Apakah Kamu Mampu Memikul Dosaku? 

Apakah Kamu Mampu Memikul Dosaku?
Penulis: Yoli Hemdi
Direktur The Superteacher Institute

SRIPOKU.COM -- Pada dalam yang pekat, Umar bin Khattab berkeliling memantau keadaan rakyatnya, hingga terdengarlah tangisan anak-anak.

Dari jarak yang aman, sang khalifah Islam mencermati suatu keanehan. Sang ibu memasak lama sekali dan tidak kunjung matang masakannya, sedangkan anak-anak terus menjerit.

Kemudian Umar mendekat dan bertanya, “Mengapa anak-anakmu menangis?” Ibu itu menjawab, “Anak-anakku kelaparan.”

Umar bertanya lagi, “Apakah yang kamu masak sangat lama itu?” Perempuan itu menjelaskan, “Masakanku ini tak akan pernah matang. Karena aku sedang merebus batu. Nanti kalau capek menangis, anak-anak akan tertidur sendiri. Inilah akibatnya saat Umar tidak mengurusi rakyatnya.”

Sang ibu tidak mengetahui sedang berhadapan dengan Umar bin Khattab. Alih-alih tersinggung, sang khalifah justru meneteskan air mata.

Selanjutnya Umar bergegas menuju gudang negara dan mengambil tepung dan bahan makanan.

Umar langsung memikul sekarung bahan makanan di punggungnya. Salah seorang sahabat tidak tega melihat punggung khalifah kotor memikul karung. Dia menawarkan diri untuk memikul beban berat itu.

Dan yang terjadi Umar bin Khattab malah marah, “Apakah kamu sanggup memikul dosaku di akhirat karena menelantarkan rakyat?”

Kegarangan Umar bin Khattab memang telah melegenda, tetapi dipakainya dalam membela kebenaran. Namun, sebagai pemimpin yang saleh, Umar menunjukkan kehalusan perasaan dengan cara menempa hatinya agar takut dengan dosa.

Tidak rasa gengsi saat pundaknya kotor memikul karung gandum, karena memang tugas pemimpin melayani rakyat.
Bandingkan dengan pemimpin dewasa ini yang berlagak bak raja.

Bagaimana mereka bisa tega menyuruh orang-orang fakir miskin dan anak-anak yatim piatu berdiri lama kepanasan, hingga di antarannya sampai jatuh pingsan demi mendapatkan secuil bantuan sembako.

Seolah-olah penderitaan rakyat jelata menjadi hiburan penguasa, lalu dieksploitasi sedemikian rupa demi popularitas. Sedikit bantuan yang diberikannya dilakukan terang-terangan supaya publik mengira dirinya sosok dermawan, sehingga orang-orang miskin sengaja dibuat berdesakan atau menderita dalam waktu lama.

Kisah Umar bin Khattab menyiratkan bahwa seorang pemimpin harus memiliki kesadaran moral. Pemimpin yang baik senantiasa merasa takut akan dosa kalau sampai menelantarkan tanggung jawab terhadap rakyat.

Takut akan dosa bukan berarti seorang pemimpin harus menjadi lemah atau tidak berani mengambil keputusan. Sikap ini tentang mempunyai hati nurani yang murni dan senantiasa berusaha untuk menegakkan kebenaran dan keadilan.

Sehingga pemimpin yang takut akan dosa selalu berusaha melayani rakyatnya dengan sepenuh cinta. Mereka berjuang menghindari tindakan yang merugikan rakyat dan berusaha sebaik mungkin mengatasi kemalangan yang dihadapi oleh rakyatnya.

Pemimpin saleh seperti ini senantiasa mendekatkan diri kepada Allah, agar mendapatkan petunjuk dalam mensejahterakan rakyat.

Pemimpin yang takut dosa memahami bahwa jabatan bukanlah keagungan, melainkan amanah yang berat dan mesti dijalankan dengan sepenuh hati.

Mereka menyadari bahwa setiap keputusan yang diambil akan dipertanggungjawabkan di hadapan mahkamah Allah. Oleh karena itu, pemimpin yang saleh akan berusaha sebaik mungkin membuat kebijakan yang membawa manfaat bagi seluruh rakyatnya.

Pentingnya memiliki pemimpin yang takut dosa adalah untuk memastikan bahwa amanah dijalankan secara berempati. Sosok seperti Umar bin Khattab adalah sosok teladan yang harus dipanuti oleh setiap pemimpin. Hanya bersama dengan pemimpin yang memiliki rasa takut akan dosa dan kesadaran moral yang tinggi, rakyat bisa mencapai kesejahteraan dan keadilan yang sebenarnya.

Rakyat pun tidak boleh tinggal diam saja, kita hendaknya istikamah memilih dan mendukung pemimpin yang memiliki integritas moral dan tentunya takut akan dosa. Bahkan rakyat harus mengingatkan pemimpin tentang tanggung jawab besar yang mereka emban dan selalu mengawasi serta memberikan masukan yang berharga.

Sebetulnya Umar bin Khattab bukan saja mengotori pundaknya demi mengantar tetapi dia juga turun tangan langsung memasak makanan tersebut.

Perasaan takut akan dosa sebagai pemimpin yang rakyatnya kelaparan menjadikan Khalifah Umar mengorbankan waktu istirahatnya di malam hari. Bahkan dirinya yang menghidangkan santap malam yang sangat terlambat untuk penghuni gubuk itu. Mereka tidak menyadari bahwa khalifah bertindak sebagai pelayan.

Sesudah selesai bersantap malam, maka anak-anak itu tertidur kekenyangan. Ketika Umar bin Khattab berpamitan pulang, sang ibu berkata, “Terima kasih. Seandainya Umar seperti dirimu, tentulah penduduk negeri ini akan sejahtera.”

Demikian tulusanya Umar bin Khattab mencintai rakyatnya, sehingga dirinya tidak merasa perlu menyingkap identitas diri yang sebenarnya. Dia mengizinkan sang ibu mengkritik Khalifah Umar, karena dengan kritikan itulah dia mampu menjaga dirinya dari dosa.

Umar bin Khattab lebih malu tatkala di mahkamah akhirat tersibak kenyataan ada rakyatnya yang kelaparan. Baginya itu adalah dosa sebagai pemimpin yang mestinya tidak boleh lalai dari amanahnya.

Lebih jauh, episode ini mengingatkan bahwa seorang pemimpin yang baik harus siap menerima kritik. Sejatinya kritik yang konstruktif bukanlah ancaman, tetapi sebuah cermin yang dapat membantu pemimpin untuk melihat kekurangan dan memperbaiki diri.

Umar bin Khattab tidak melakukan kesalahan, malahan dirinya telah menjalankan amanah sebagai pemimpin yang melayani rakyat. Akan tetapi Umar tidak marah ketika mendengar kritik dari sang ibu, malahan mampu menerimanya dengan lapang dada dan menjadikannya sebagai introspeksi untuk menjadi pemimpin yang lebih bertanggungjawab.

Keteladanan dari Umar bin Khattab merupakan pelajaran penting tentang nilai-nilai kepemimpinan yang memiliki hati nurani. Pemimpin yang baik bukanlah yang duduk kekenyangan di atas takhtanya, melainkan yang terjun langsung ke lapangan untuk merasakan dan memahami penderitaan rakyat.

Ketika pemimpin menyaksikan langsung keprihatinan yang dialami rakyat, maka dirinya akan merasa amat berdosa jika sampai menzalimi hak-hak kaum jelata.

Kisah Umar bin Khattab bukan hanya sekadar cerita sejarah, tetapi juga sebagai cermin mengenai betapa pentingnya memiliki pemimpin yang takut akan dosa.

Pemimpin macam ini akan selalu mengutamakan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi atau golongan. Mereka akan rela mengotorkan tubuhnya demi memuliakan fakir miskin, bukannya berpesta di atas genangan air mata kaum jelata.

Pemimpin sejati yang mempunyai kesadaran moral tinggi dan takut akan dosa mengetahui bahwasanya tanggung jawab mereka bukan sekadar terbatas pada dunia, tetapi juga berhubungan dengan mahkamah akhirat. Mereka menyadari bahwa setiap kebijakan yang diputuskan pasti dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.

Kesadaran inilah yang mendorong para pemimpin selalu menjaga dirinya dari penyimpangan dan mengutamakan kesejahteraan rakyat.

Agar tidak melenceng dari kebenaran, pemimpin yang takut dosa berupaya mendekatkan diri kepada Tuhan, dalam rangka memohon petunjuk dan kekuatan dalam membela nasib rakyatnya.

Sehingga bukan hanya mengandalkan kemampuan pribadi, tetapi mereka mendapatkan bantuan Ilahiah, terutama dalam menjaga kelurusan hati mereka dalam sebagai pemimpin yang mencintai rakyatnya.

Berdasarkan kisah inspiratif Umar bin Khattab, dapat dipetik sejumlah hikmah tentang cara agar pemimpin membangun rasa takut akan dosa, khususnya dalam konteks tanggung jawab terhadap rakyatnya, di antaranya:

Pertama, hendaknya pemimpin menempa rasa empati yang mendalam dan mengedepankan moralitas dalam tanggung jawab. Rasa empati itu muncul tatakala pemimpin menyaksikan langsung perihnya kehidupan rakyat, sehingga dirinya menyadari betapa berat amanah kepemimpinan. Tuhan akan meminta tanggung jawab pemimpin atas perasaan berdosa mereka terhadap duka lara rakyatnya.

Kedua, pemimpin hendaknya mengambil tindakan nyata dan bukan sekadar berkurang dalam rasa berdosa. Tidak banyak berkata-kata tapi Umar bin Khattab memberikan solusi nyata dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Perasaan takut berdosa semakin kuat dengan menghadirkan dirinya sebagai pelayan rakyat.

Ketiga, pemimpin hendaknya bernyali dalam melakukan introspeksi diri bahkan mengakui kelalaian atau kesalahannya. Hal ini akan sangat membantu dirinya menguatkan perasaan takut berdosa, sehingga mau memperbaiki diri. Dengan mengedepankan kesejahteraan rakyat, pemimpin yang takut akan dosa tidak akan takut melakukan introspeksi diri demi kebaikan bersama.

Akhirnya, pemimpin yang takut dosa menyadari bahwasanya kekuasaan atau jabatan hanyalah amanah Tuhan yang mesti dijaga dengan kekuatan iman.

Dengan demikian, mereka akan melayani rakyatnya dengan ikhtiar sepenuh hati untuk menjauhi dosa. Menjadi pemimpin itu memang berat, tetapi dengan kemurnian hati insyaallah Tuhan akan memberikan bimbingan.

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved