Berita Palembang

Warga Sumsel Teriak tak Bisa Nonton TV, KPID Khawatir Lonjakan Harga Alat STB Capai Rp 800 Ribu

Masyarakat di Kota Palembang, Kabupaten Banyuasin, Ogan Ilir dan OKI berteriak terkejut lantaran tidak bisa menikmati tayangan siaran televisi

|
Penulis: Abdul Hafiz | Editor: Yandi Triansyah
handout
Jajaran Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Sumsel, Diskominfo Sumsel, TVRI Sumsel menggelar seremonial penghentian siaran analog televisi (Analog Switch Off) Wilayah Sumsel-1 +Palembang, OI, OKI, dan Banyuasin) di TVRI Sumsel Jl POM IX Palembang, Jumat (31/3/2023) malam. 

Hefriady menjelaskan bahwa terkait ASO ini tidak sepenuhnya tanggung jawab KPID. Tidak berjalannya komunikasi antara Kementerian Kominfo dengan pemerintah daerah. Paling tidak Kementerian bersurat ke kepala daerah mengenai perkembangan STB. Bahkan ditemukan ada Kades yang menolah STB. Ini kan aneh. Artinya tidak terbangun komunikasi dengan baik.

Kemudian persoalan infrastruktur pembagian STB di daerah-daerah itu jadi kendala. Makanya tidak jadi dilakukan di tanggal 20 Maret itu. Ditunda tanggal 31 Maret ini. Karena sosialisasi melewati jalan rusak, wilayah perairan. Tapi ini jadi kendala vendor-vendor untuk membagikan STB. 

"Alhamdulillah di Kota Palembang bantuan STB dari pemerintah sudah 100 persen," katanya. 

Adapun dasar mengapa TV Analog harus bermigrasi ke siaran digital ini adalah Undang-undang Cipta Kerja. Indonesia menurutnya termasuk negara paling terakhir bermigrasi ke digital.

Frekuensi yang digunakan untuk siaran analog ini di angka 700-800 Mega Hertz. Dengan adanya digital ini cuma digunakan sekitar 200-an mega hertz. Artinya ruang yang kosong masih ada sekitar 500-an mega hertz.

Siaran digital ini sudah tidak lagi di 700 Mega Hertz. Sisanya 500-an mega hertz digunakan untuk dipakai telekomunikasi. Misalkan nanti 5G.

Pengecilan frekuensi itu agar bisa dipakai untuk kepentingan-kepentingan lain. Salah satunya untuk telekomunikasi. Nanti 5G merata di wilayah Indonesia. Harus bermigrasi karena selama ini boros menggunakan frekuensi.

Mau tidak mau ini kan supaya terdistribusi dengan baik mendapatkan informasi juga bisa mengkonsumsi media seluruh masyarakat. Artinya selama ini di OKI misalkan bercerita kami sudah bisa menikmati 14 channel TV tanpa antena parabola.

Di siaran digital ini free to air artinya tidak berbayar. Gratis cuma harus upgrade teknologinya saja. Kalau smart TV tidak perlu beli STB. Tapi kalau TV tabung harus beli STB.

Memang keunggulannya gambarnya jernih, suaranya bagus, keunggulan yang didapatkan akhirnya bisa menikmati TV secara umum. Tetap yang namanya teknologi akan ada masalah, gangguan. Kita saja masalah sinyal kadang hilang-hilang. Samalah dengan itu.

TV-TV ini tidak lagi menggunakan pemancar. Mereka lelang di pemerintah pusat untuk penyedia MUX. Sama seperti TV zaman dulu TV swasta mengekor dengan TVRI. Mereka bayar per bulannya. Kalau pemancarnya sudah dibangun akan lebih bagus.

"KPID posisinya mendorong persoalan konten. Lalu kemudian infrastruktur juga menjadi salah satu tanggung jawab kami karena UU Nomor 32 belum direvisi, jadi kami masih mengacu itu. Memang untuk perizinan segala macam di Kementerian Kominfo semua," pungkasnya. (Abdul Hafiz) 

Sumber: Sriwijaya Post
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved