Mimbar Jumat
Opini: Ramadhan dan Nilai-Nilai Pedagogi Islam
Ternyata Islam sejak dini telah mengajarkan pola pendidikan anak yang penuh cinta dan kelembutan.
Oleh: Fatti Rina Hariani, S.Pd.I
SRIPOKU.COM -- RAMADHAN sebagai syahr ash-shiyam sangat sarat dengan nilai-nilai pendidikan. Tidak hanya pada aspek pendidikan orang dewasa (andragogi), tapi juga dalam hal melalukan pendidikan pada anak-anak (pedagogi).
Ibadah pokok Ramadhan adalah berpuasa sebulan penuh. Artinya, selama satu bulan umat beriman diperintahkan untuk berpuasa dan selama itu pula mengalami proses pendidikan praktis. Pendidikan itu antara lain belajar tentang bagaimana mengendalikan dan memanag diri sehingga diharapkan menjadi manusia yang ideal secara moralitas-spiritual atau dalam bahasa agama disebut insan kamil. Lebih spesifik lagi agar menjadi insan yang ‘munttaqun’ sebagai tujuan akhir puasa Ramadhan sebagaimana yang diisyaratkan Al Qur’an.
Aspek penting pengendalian diri yang ditanamkan Ramadhan adalah bagaimana setiap diri mampu menumbuhsuburkan nilai-nilai seperti kesabaran, keramahan, cinta dan kelembutan. Nilai-nilai tersebut tentu sangat penting dan harus dimiliki setiap pendidik, baik para guru, dosen, orang tua dan siapa yang saja yang melibatkan diri dalam dunia pendidikan.
Tidak bisa dibayangkan bagaimana proses pendidikan itu berlangsung jika seorang pendidik justru mudah marah, arogan dan bersikap kasar pada anak didiknya. Kesempurnaan ibadah puasa tidak hanya cerdas pada kemampuan menahan nafsu jasmani dari makan, minum atau kebutuhan biologis, tapi juga pandai mengendalikan pikiran, sikap, ucapan, pandangan, rasa bahkan hati.
Oleh karena itulah Nabi Saw. mensiyalir “banyak orang yang hanya mendapatkan rasa haus, lapar dan lelah saja dari puasanya”. Karena orientasi puasanya hanya pada aspek pengengendalian nafsu jasmani saja dan kosong dari nilai-nilai ruhani.
Dalam Islam hakikat mendidik anak sebenarnya tidak terletak di atas pundak tanggungjawab para guru dan sekolah, tapi justru pada masing-masing orang tua itu sendiri. Dalam hal ini, para guru dan sekolah hanya menerima limpahan kewajiban dan tanggungjawab dari para orang tua. Tentu sinergisitas antara orang tua dan guru sangat dibutuhkan dalam setiap proses pendidikan. Dengan telah memenuhi segala fasilitas sekolah anak tidak berarti beban, kewajiban dan tanggungjawab pendidikan bagi orang tua telah dituntaskan.
Jangan lupa subscribe, like dan share channel Youtube Sripokutv di bawah ini:
Ada faktor penting yang seringkali terabaikan, yakni sentuhan perhatian, cinta dan kelembutan dalam menanamkan pesan-peran moral bagi anak-anaknya. Sentuhan ini bisa jadi juga didapatkan dari para guru di sekolah, namun sumber cinta dan kelembutan yang sesungguhnya adalah ada pada para orang tua itu sendiri. karena itulah Nabi Saw. mengatakan “al-ummahat madrasat al-ula” (para ibu adalah sekolah utama bagi anak-anaknya).
Salah-satu catatan penting yang harus menjadi perhatian bagi mereka yang terlibat dalam dunia pendidikan, khususnya para orang tua adalah tentang pendekatan yang digunakan. Hal ini sangat berperan dalam menentukan proses pendidikan itu sendiri.
Dalam konteks ini, Islam mengajarkan bahwa semangat mendidik itu harus berangkat dari hati dan dilakukan dengan kelembutan. Sebab, dari berbagai perspektifnya ternyata kelembutan menyimpan kekuatan yang luar biasa dahsyat. Hal ini berbeda terbalik dengan kekerasan dan kekasaran yang justru melahirkan banyak mudharat dan minim manfaat. Kelembutan adalah kekuatan yang nyaris tanpa batas. Tak ubah seperti air yang terlihat lembut namun menyimpan banyak kekuatan. Nyatanya, paling tidak air mampu menghayutkan, memadamkan, menenggelamkan dan bahkan menghancurkan.
Ketika proses pendidikan itu dilakukan dengan kelembutan, sekeras dan sekasar apapun hati akan luluh saat berhadapan dengan kelembutan. Tidak heran jika agama mengajarkan bahwa akhlak yang paling terpuji adalah kelembutan dan sikap yang paling dibenci Tuhan adalah kekerasan. Oleh karena itu, pesan utama dari ibadah puasa adalah penanaman dan penumbuhkembangan nilai-nilai cinta dan kelembutan.
Pesan kelembutan dan cinta kasih dalam sebuah proses pendidikan antara lain diungkapkan oleh Al Qur’an dalam Qs. Ali Imran : 159 : “Maka karena kasih sayang dari Allah, engkau bersikap lemah lembut terhadap mereka. Andai engkau bersikap kasar dan berkeras hati, niscaya mereka akan menjauh dari sisimu”.
Jangan lupa juga subscribe, like dan share channel Instagram Sriwijayapost di bawah ini:

Begitu pula pesan serupa dikisahkan dalam sebuah riwayat bahwa suatu ketika Nabi Saw. menggendong seorang anak kecil, tiba-tiba ia pipis dan membasahi pakaian beliau. Sang ibu segera mengambil anak itu dengan gerakan yang sedikit kasar. Lalu Nabi Saw. bersabda : “Wahai ibu, kotoran di pakaian ini akan bersih dengan hanya memercikkan sedikit air. Tapi luka di hati anakmu, akan membekas dalam hati dan jiwanya hingga ia dewasa”.
Ternyata Islam sejak dini telah mengajarkan pola pendidikan anak yang penuh cinta dan kelembutan. Pada saat yang sama, Islam juga menolak semua bentuk kekerasan dalam membangun jiwa dan kepribadian anak. Karena kekerasan akan menyisakan luka di dalam jiwa dan sangat sulit dihilangkan. Parahnya lagi, hal tersebut akan berpengaruh pada proses tumbuh kembang mentalitas anak dan menjadi pribadi yang keras dan kasar pula.
Petikan ayat dan hadits di atas cukuplah menjadi dasar mengapa proses pendidikan itu harus berlangsung dengan kelembutan. Sebab, kelembutan itu bersifat mendekatkan, sebaliknya kekerasan dan kekasaran justru akan semakin menjauhkan.
Pendidikan Islam mengajarkan kepada para ibu untuk membangun komunikasi dengan anak sejak masih dalam kandungan. Meski masih bersifat komunikasi sepihak dan mungkin tidak ada respon secara langsung dari anak yang ada dalam kandungan, namun paling tidak itulah ungkapan kelembutan penuh cinta orang tua pada anaknya. Sesuatu yang diberikan dengan sebuah ketulusan juga akan diterima dengan ketulusan. Lebih dari itu, kata-kata yang diucapkan mengandung do’a dan Allah Swt. pasti mendengarnya.
Kelembutan dan cinta kasih merupakan sunnatullah yang tumbuh secara fitrawi pada setiap diri manusia, termasuk para orang tua pada anaknya. Namun terkadang karena rasa lelah, kesibukan dan faktor lainnya, orang tua sering melupakan makna pentung mendidik anak dengan kelembutan. Sehingga tanpa sadar seringkali bersikap kasar, keras dan memaksa. Padahal pada setiap belaian, perhatian, ciuman dan pelukan orang tua pada anaknya terdapat kekuatan luar biasa yang akan mengoptimalkan tumbuh kembang jiwanya.
Jangan lupa subscribe, like dan share channel TikTok Sriwijayapost di bawah ini:

Sebaliknya, semua perlakuan keras dan kasar yang pernah dilakukan pada mereka justru akan menyisakan trauma mendalam pada jangka waktu yang sangat lama. Ketika Nabi Saw. sedang mencium cucunya, Hasan, seorang sahabat berkata : “Saya punya sepuluh orang cucu, namun tidak pernah mencium satupun dari mereka”. Lalu Nabi Saw. bersabda : “Sungguh siapa yang tidak menyayangi, maka ia tidak akan disayangi”. (HR. Muslim). Beliau juga seringkali mengajak anak-anak bercanda dan bermain. Dalam satu kesempatan misalnya Nabi Saw. membariskan tiga orang anak kecil lalu berkata : “Siapa yang lebih dahulu dapat memegangku, maka ia akan mendapat hadiah”. Ketiga anak kecil itu berlomba untuk dapat memegang beliau. Di antaranya ada yang berhasil memegang punggung dan ada yang memegang dada. Lalu Nabi Saw. memeluk mereka. (HR. Imam Ahmad). Beliau tidak pernah membangun jarak antara dirinya dan anak-anak. Apa yang beliau lakukan adalah wujud dari kebesaran cinta dan kelembutan demi menghadirkan kegembiraan dan kebahagiaan di hati mereka.
Mendidik adalah sebuah proses yang panjang. Terkadang orang tua tidak sabar ingin segera melihat hasil dalam waktu yang singkat. Keinginan tersebut kerap kali menjadikan orang tua memaksa anak untuk menjadi apa yang mereka inginkan. Sedang bagi anak-anak, perlakuan tersebut tak lebih dari sebuah siksaan.
Ketika proses pendidikan sudah dirasa sebagai siksaan, maka jiwa anak akan rusak dan tidak akan tumbuh kembang secara maksimal. Mendidik dengan kelembutan berarti mengikuti alur kecenderungan yang telah dibawa anak sejak lahir. Tugas orang tua hanya mengarahkan, membimbing dan meluruskan, sembari menanamkan nilai-nilai kebaikan.
Selain itu, mendidik juga berarti memenuhi hak-hak anak. Meskipun hal ini seringkali disalahartikan dengan memberikan segala fasilitas, baik yang diinginkan maupun tidak. Hak anak yang paling penting dalam hal ini adalah mendapatkan perhatian, perlindungan, cinta dan kasih sayang yang penuh dari kedua orang tuanya. Parahnya, tidak jarang pekerjaan dan karier justru dianggap sebagai bukti cinta dan sayang pada anak-anaknya. Padahal orang tua adalah guru yang sebenarnya bagi anaknya. Puasa Ramadhan Wallahu a’lam.
Jangan lupa Like fanspage Facebook Sriwijaya Post di bawah ini:

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.