Opini

Opini: Tata Ruang Wilayah dan Upaya Pengelolaan Gambut Berkelanjutan

Ini adalah momentum yang tepat agar setiap inisiatif dalam kerangka pembangunan berkelanjutan dan ekonomi hijau

Editor: Odi Aria
Handout
Lahan gambut untuk kegiatan pertanian. 

Penulis : Feri Johana, Mahasiswa Doktoral 

Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan, IPB, Bogor, Indonesia.


SRIPOKU.COM- Tahun 2022-2024 merupakan periode penting bagi sebagian besar daerah di Indonesia baik propinsi dan kabupaten dalam proses evaluasi perencanaan pembangunan daerah, dan juga dalam proses penyusunan perencanan pembangunan (RPJPD/RPJMD) dan perencanaan keruangan (RTRW) untuk lima hingga dua puluh lima tahun kedepan.

Ini adalah momentum yang tepat agar setiap inisiatif dalam kerangka pembangunan berkelanjutan dan ekonomi hijau disinergikan dengan proses tersebut.

Setidaknya terdapat 20 propinsi di Indonesia yang diharapkan melakukan proses integrasi ini.


Salah satu isu penting yang perlu direspon melalui momentum ini terkait pengelolaan gambut berkelanjutan.

Hal ini sudah menjadi masalah umum, akan tetapi belum ada keseragaman proses yang membuktikan adanya komitmen pembangunan berkelanjutan disetiap daerah.

Banyak sekali kondisi yang yang menyebabkan proses tersebut berjalan didasarkan hanya kepada solusi yang berbasis kepentingan masing-masing daerah.

Untuk menyambut momentum tersebut, berikut ini adalah beberapa catatan pembelajaran dalam proses yang sudah dan sedang dilaksanakan di beberapa daerah, dan perlu menjadi pembelajaran bagi daerah lain.

Secara umum sangat penting adanya pemahaman terkait latar belakang pengelolaan gambut bagi pembuat kebijakan, dan terhadap tahapan proses tata ruang, sehingga tujuan integrasi dapat diwujudkan.


Hal ini dimulai dari posisi Indonesia yang merupakan salah satu negara yang sangat berkepentingan dalam pengelolaan gambut, dengan luas yang mencapai 36 persen dari lahan gambut tropis dunia.

Lahan gambut tropis merupakan tempat hidup bagi berbagai jenis tumbuhan dan hewan.

Lahan gambut yang rusak dan kering menjadi rentan terhadap kebakaran hutan dan lahan, sementara kebakaran di lahan gambut cukup sulit untuk dipadamkan karena api yang menyala berada di bawah tanah, sehingga dampaknya tidak hanya dirasakan oleh penduduk di wilayah lahan gambut, melainkan hingga ke wilayah yang relatif jauh. 


Lahan gambut juga merupakan sumber matapencaharian masyarakat yang sehari-harinya hidup dan bergelut dengan berbagai kegiatan ekonomi yang ada sehinga perannya sangat penting dalam pembangunan.

Berbagai fungsi penting lahan gambut dalam konteks pembangunan nasional dapat dikelompokan dalam beberapa fungsi , yaitu ; (1) menopang penghidupan masyarakat, memberikan jasa dan manfaat melalui kegiatan pertanian, perikanan, dan usaha ekonomi khas gambut lainnya, (2) menjaga tata air, mengurangi kekeringan pada musim kemarau dan mencegah banjir pada musim hujan, (3) menyimpan cadangan karbon, dan (4) menjaga habitat dan keanekaragaman hayati.

Kebijakan Pengelolaan Gambut di Indonesia

Pengelolaan gambut merupakan suatu hal yang sangat penting. Pandangan ini merupakan sebuah keniscayaan apabila semua komponen sepakat terhadap kelangsungan Sumber Daya Alam dan Lingkungan disemua tingkatan dari desa hingga ke tingkat nasional.

Aspek kepentingan global mungkin perlu dilihat, akan tetapi dalam pandangan yang cukup nyata bahwa kepentingan masyarakat dan bangsa sangat lebih penting.

Pemerintah Indonesia telah mengambil berbagai langkah penting dalam pengelolaan gambut berkelanjutan diantaranya melalui Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2014 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2016 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.

Berbagai peraturan turunan juka dikeluarkan seperti melalui Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan kehutanan Nomor : SK.246/MenLHK/SETJEN/KUM.1/2020 tentang Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut Nasional, yang telah memberikan arah yang jelas terkait pengelolan gambut secara keseluruhan.


Dalam pelaksanaan ditingkat daerah telah juga dikeluarkan Peraturan Menteri Nomor P.60/MenLHK/SETJEN/KUM.1/2019 tentang Tata Cara Penyusunan, Penetapan, dan Perubahan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.

Upaya perlindungan lahan gambut pertama kali diundangkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 71 tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut yang mengatur secara detail proses perencanaan, pemanfaatan, pemeliharaan, hingga pengawasan pada Fungsi Ekosistem Gambut (FEG) lindung dan budidaya.

Berselang dua tahun aturan tersebut direvisi menjadi PP No 57 tahun 2016 yang memperkuat beberapa ketentuan pada PP No 71 tahun 2014, diantaranya penambahan definisi gambut dengan identifikasi ketebalan gambut, penetapan FEG pada puncak kubah gambut, sampai dengan penguatan kelembagaan dan penegakan hukum.


PP No 57 tahun 2016 kemudian diturunkan dalam berbagai pedoman teknis dalam bentuk peraturan Menteri, antara lain (1) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (PermenLHK) No 14 tahun 2017 tentang Tata Cara Inventarisasi dan Penetapan Fungsi Lahan Gambut, (2) Permen LHK No 15 tahun 2017 tentang Tata Cara Pengukuran Muka Air Tanah di Titik Penataan Ekosistem Gambut, (3) PermenLHK No 16 tentang Pedoman Teknis Pemulihan Ekosistem Gambut, (4) PermenLHK No 17 tahun 2017 tentang Pembangunan Hutan Tanaman Industri, (5) Permen LHK No 40 tahun 2017 tentang Fasilitasi Pemerintah pada Usaha Hutan Tanaman Industri dalam Rangka Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, dan (6) PermenLHK No 10 tahun 2019 tentang Penentuan, Penetapan dan Pengelolaan Puncak Kubah Gambut Berbasis Kesatuan Hidrologis Gambut.


Melalui Permen LHK No 14 tahun 2017, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengeluarkan SK.130/MENLHK/SETJEN/ PKL.0 /2/2017 tentang Penetapan Peta Fungsi Ekosistem Gambut (FEG) Nasional yang menetapkan peta FEG dan peta Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG), dimana disebutkan luasan lahan gambut seluruh Indonesia sebesar 24,2 juta hektar dan 12,1 juta hektar diantaranya memiliki Fungsi Ekosistem Lindung Gambut.

Pemerintah melalui kementerian juga telah mengeluarkan Permen LHK No 10 tahun 2019 yang mengatur penentuan dan penetapan puncak kubah gambut berbasiskan KHG.

Beberapa pasal dalam aturan ini dianggap tidak selaras dengan PP No. 57 tahun 2016, dimana jika terdapat lebih dari satu puncak kubah gambut dalam KHG, puncak kubah gambut lainnya dapat dimanfaatkan asal ada minimal satu puncak kubah gambut yg ditetapkan sebagai puncak kubah gambut lindung dengan minimal 30 persen fungsi lindung dalam ekosistem gambut.

Selain itu, aturan ini juga memperbolehkan areal di luar puncak kubah gambut yang masuk dalam fungsi lindung untuk bisa dimanfaatkan sampai izin berakhir dengan memperhatikan fungsi hidrologis.

 

 


 


Kedudukan Dokumen RTRW dan Perencanaan Gambut

Berbagai macam kebijakan pemerintah pusat melakukan rekayasa penataan ruang untuk mencapai tata kelola lahan yang baik terus ditingkatkan melalui berbagai perubahan regulasi dan perbaikan dokumen tataruang baik skala nasional, propinsi maupun kabupaten/kota.

Dalam pelaksanaannya, tata ruang mengikuti kaidah UndangUndang Nomor 26 tahun 2007 dimana Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang, sedangkan Penyelenggaraan penataan ruang adalah kegiatan yang meliputi pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang.

Tujuan akhir dari sebuah perencanaan ruang adalah : (a) terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan, (b) terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia, (c) terwujudnya perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.


Dalam perencanaan tata ruang aspek peta merupakan bagian penting yang harus dipersiapkan secara baik. Peta Perencanaan Tata Ruang (RTRW) didasarkan pada: (1) Peraturan Menteri Agraria & Tata Ruang No. 1/2018 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Provinsi, Kabupaten dan Kota, dan (2) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 16/2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah.

Secara umum proses penyusunan RTRW menganut kaidah penyelenggaraan penataan ruang wilayah secara komprehensif, holistik, terkoordinasi, terpadu, efektif, dan efisien dengan memperhatikan faktor politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan, dan kelestarian lingkungan hidup.


Dalam konteks perencanaan pengelolaan ekosistem gambut dikenal sebuah bentuk rencana yang disebut sebagai Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (RPPEG), merupakan sebuah dokumen perencanaan tertulis yang memuat potensi, masalah ekosistem gambut, serta upaya perlindungan dan pengelolaannya dalam kurun waktu tertentu.

RPPEG merupakan sebuah upaya corrective action dalam pengelolaan ekosistem gambut. Penyusunan dokumen RPPEG merupakan amanat Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2014 sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 57 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.

PP tersebut memberikan mandat kepada Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota untuk menyusun dan menetapkan RPPEG sesuai kewenangannya. Meliputi RPPEG nasional oleh Menteri, RPPEG provinsi oleh Gubernur, dan RPPEG kabupaten/kota oleh Bupati/Walikota.


Dokumen RPPEG memuat rencana jangka panjang pengelolaan dan perlindungan lahan gambut untuk 30 tahun ke depan, dengan mengacu pada Kepmen LHK No. 246 Tahun 2020 tentang Rencana Perlindungan Ekosistem Gambut (RPPEG) Nasional Tahun 2020-2049.

Proses integrasi keruangan pengelolaan ekosistem gambut terhadap recana tata ruang wilayah perlu dilengkapi dengan data keruangan. Peta Kesatuan Hidrologi Gambut (KHG) dan Peta Fungsi Ekosistem Gambut (FEG) merupakan dua informasi dasar yang dapat digunakan dalam proses rencana tata ruang.

Potensi dan Tantangan Integrasi Pengelolaan Gambut Berkelanjutan Dalam Tata Ruang Wilayah

Proses penyusunan RTRW pada dasarnya bukan hanya proses teknis akan tetapi juga merupakan proses politis dimana parapihak yang berada di wilayah mengambil peran, ataupun pihak lain yang berkepentingan dalam penggunaan ruang di wilayah tersebut.

Terdapat dua proses yang diikuti yaitu proses formal yang sudah sesuai dengan panduan, akan tetapi diikuti juga dengan proses yang bersifat politis.


Pada kasus penyusunan pola ruang (bagian RTRW) seringkali setidaknya terdapat beberapa hal yang menyebabkan adanya gap integrasi muatan pengelolaan gambut yaitu : (1) karena panjangnya proses yang sudah dilaksanakan sehingga mengakibatkan menurunkan resources yang sudah diinvestasikan, (2) adanya regulasi yang saat ini dirasakan belum mengakomodasi prinsip pembangunan berkelanjutan dilihat dari aspek pengelolaan gambut, (3) gap informasi terkait pengelolaan gambut diluar kawasan hutan, dan (4) praktek bussiness as usual dalam proses Penyusunan Rencana Tata Ruang yang dilaksanakan oleh Tenaga Ahli/Konsultan dan Tim Penyusun sehingga tidak terlalu memprioritaskan aspek gambut dalam muatan rencana tata ruang.

Langkah 1 - Penyusunan pola ruang yang tanggap terhadap pengelolaan gambut

Pola ruang merupakan alokasi fungsi yang didasarkan kepada berbagai aspek peruntukan baik lindung maupun budidaya.

Pola ruang menggambarkan kesepakatan para pihak dalam pengelolaan wilayah dimana wilayah yang dibebani fungsi lindung dan dimana yang dapat digunakan untuk berbagai fungsi penggunaan. Peta gambut dapat dilihat sebagai sebuah kebaruan dalam aspek pembangunan berkelanjutan yang perlu diakomodasi dalam tata ruang.

Berbagai kepentingan para pihak didaerah seringkali mengakibatkan adanya pendapat yang berbeda bagaimana pengaturan aspek gambut tersebut. Kondisi dilapangan seringkali menjadi justifikasi tidak diperhatikannya aspek gambut dalam tata ruang.

Hal ini menyangkut  kekawatiran menyempitnya wilayah budidaya karena adanya pengelolaan gambut berkelanjutan di suatu daerah. Padahal pengelolaan lahan gambut yang berkelanjutan juga akan meningkatkan perekonomian masyarakat.

Dalam konteks pembangunan berkelanjutan hal ini ujian bagi daerah terkait komitmen implementasi pembangunan berkelanjutan yang melingkupi aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan.

 

 

 

Langkah 2 - Tata Aturan Pemanfaatan

Pengaturan pemanfaatan dalam overlay zone menggunakan skenario pengelolaan gambut berkelanjutan merupakan langkah lanjutan yang dapat ditempuh dalam proses pengintegrasian aspek gambut kedalam tata ruang. Peraturan zonasi perlu mengadopsi berbagai praktik pengelolaan lahan yang selaras dengan proses perencanaan tata ruang formal dan lahan gambut.

Salah satu contoh nyata adalah dengan memasukkan prinsip-prinsip peraturan zonasi dalam skenario yang telah diatur dalam peratura-peraturan di atas. Prinsip-prinsip tersebut harus dijabarkan dan dituangkan dalam narasi/text rencana tata ruang.

Ini adalah langkah akhir dari proses integrasi pengelolaan gambut dalam tata ruang. Apabila hal ini tidak dapat dilakukan maka menunjukan tidak adanya proses integrasi yang diharapkan.

Langkah 3- Dukungan Regulasi dari Tingkat Nasional

Dalam menyelesaikan perbedaan interpretasi terhadap perlunya pengelolaan lahan gambut di dalam dan diluar kawasan, serta pengintegrasiannya dalam penyusunan RTRW, setidaknya terdpat dua kementerian yang harus dilibatkan dalam proses secara intensif yaitu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR).

KLHK perlu diinformasikan tentang kompleksitas penerapan peraturan fungsi ekologi gambut dan kesatuan hidrologi gambut diantara fungsi ruang yang lain.

Di sisi lain, Kementeria ATR perlu dikonsultasikan tentang kemungkinan penerapan peraturan zonasi untuk tujuan pengelolaan gambut berkelanjutan baik di dalam area yang diklasifikasikan sebagai kawasan hutan dan area penggunaan lahan lainnya (APL).

Kementerian ATR diharapkan memberikan arahan yang lebih tegas tentang cara memperkuat keputusan dalam konteks perencanaan tata ruang. Komunikasi dan koordinasi antara kedua kementerian harus dapat memberikan panduan yang jelas bagi daerah tentang bagaimana memasukkan perlindungan lahan gambut ke dalam peraturan.

Secara teknis hal ini perlu dilakukan. misalnya pada saat proses Validasi Lintas Sektoral (LinSek) RTRW perlu melibatkan direktorat yang terkait dengan pengelolaan gambut pada kementerian terkait.

Sumber: Sriwijaya Post
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved