Bonus Demografi dalam Bayang-bayang Pandemi

Semestinya PJJ tidak berarti siswa diliburkan, namun hanya berubah tempat belajar. Tetapi kenyataannya PJJ merupakan pengganti yang jauh dari sepadan.

Editor: Bejoroy
SRIPOKU.COM/Istimewa
Rini Tri Hadiyati, S.ST, M.Si / Statistisi Muda Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Selatan. 

Oleh: Rini Tri Hadiyati, S.ST, MSi
Statistisi Muda Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Selatan.

SRIPOKU.COM -- PANDEMI Covid-19 berdampak di hampir semua sektor, termasuk sektor pendidikan. Sejak penutupan sekolah pada Maret 2020, lebih dari 40 juta siswa di Indonesia terpaksa belajar dari rumah.

Semestinya Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) tidak berarti siswa diliburkan, namun hanya berubah tempat belajar. Tetapi kenyataannya PJJ merupakan pengganti yang jauh dari sepadan. Berbagai kendala harus dihadapi oleh siswa, orang tua siswa dan pengajar tentunya.

Tidak semua siswa memiliki gawai pintar, kalaupun punya harus berbagi pakai dengan orang tua atau saudara yang lain. Terutama mereka yang berasal dari kalangan ekonomi bawah. Belum lagi koneksi internet yang buruk di sejumlah daerah.

Kegiatan PJJ juga menjadi semakin tidak efektif karena tidak semua siswa memiliki tempat yang nyaman untuk belajar selama di rumah. Ini diperparah lagi dengan sejumlah penelitian yang menyebutkan tingkat kekerasan pada anak mengalami peningkatan selama masa pandemi.

Bagi pengajar, sekolah daring juga membawa tantangan tersendiri. Tidak semua guru menguasai teknologi informasi dan komunikasi dengan memadai. Ini menjadi tidak mudah ketika para guru harus menggunakan media ajar yang sesuai tuntutan pembelajaran daring. Intinya kebijakan PJJ ternyata jauh dari kondisi ideal, bahkan telah menyebabkan terjadinya learning loss (hilangnya pengalaman dan capaian belajar).

Pembelajaran tanpa adanya interaksi secara langsung yang dilakukan dalam jangka panjang memang memiliki sejumlah kelemahan. Siswa dapat kehilangan kemampuan bersosialisasi, kesulitan berinteraksi, menurunnya rasa simpati/empati dan sulit membangun team work karena jarang bertemu secara langsung dengan teman-teman sebayanya.

Jangan lupa subscribe, like dan share channel Youtube Sripokutv di bawah ini:

Jika hal ini dibiarkan, maka akan berdampak pada kemampuan siswa di masa depan untuk memecahkan masalah, menentukan pilihan, mengambil keputusan, berpikir kritis, bekerja dalam tim dan beragam kemampuan lainnya. Padahal siswa-siswa inilah yang kelak akan memasuki pasar kerja dan menjadi penentu masa depan ekonomi Indonesia. Terlebih saat ini dan beberapa belas tahun mendatang Indonesia masih mengalami bonus demografi, yang mensyaratkan Sumber Daya Manusia (SDM) berkualitas. SDM yang berkualitas tentu sangat ditentukan oleh kualitas dunia pendidikan saat ini.

Bonus Demografi


Bonus demografi bermakna jumlah penduduk usia produktif lebih banyak daripada penduduk usia nonproduktif (tidak/belum produktif). Usia produktif berkisar antara 15-64 tahun. Dari hasil Sensus Penduduk (SP2020) menunjukkan jumlah penduduk usia produktif sebesar 70,72 persen.

Sisanya sebesar 29,28 persen adalah penduduk usia nonproduktif (0-14 tahun dan 65 tahun ke atas).

Jumlah penduduk usia produktif yang jauh melampaui penduduk usia nonproduktif menandakan bahwa saat ini Indonesia tengah mengalami bonus demografi. Bonus demografi ini diprediksi akan berlangsung hingga sekitar tahun 2037.

Dengan besarnya jumlah penduduk usia produktif, maka rasio ketergantungan (dependency ratio) akan bernilai relatif kecil. Semakin kecil rasio ketergantungan menunjukkan semakin rendahnya beban yang harus ditanggung oleh penduduk usia produktif dalam membiayai hidup penduduk nonproduktif.

Berdasarkan hasil SP2020 rasio ketergantungan di Indonesia sebesar 41,40 persen yang terbagi atas rasio ketergantungan penduduk belum produktif (usia 0-14 tahun) sebesar 32,99 persen dan penduduk tidak produktif lagi (usia 65 tahun ke atas) sebesar 8,41 persen.

Artinya setiap 100 penduduk usia produktif hanya menanggung kurang dari separuhnya, sekitar 41 orang penduduk usia nonproduktif. Rasio ketergantungan 2020 mengalami penurunan sekitar 9,1 persen poin dibanding rasio ketergantungan 2010 yang sebesar 50,50 persen.

Penurunan rasio ketergantungan akan berdampak positif pada penurunan besaran biaya yang harus ditanggung penduduk usia produktif untuk kebutuhan hidup penduduk usia nonproduktif. Pendapatan dari penduduk usia produktif dapat dialihkan untuk meningkatkan produktivitas sehingga dapat memacu pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan.

Kunci bonus demografi adalah pada penduduk usia produktif yang berkualitas dan terbukanya kesempatan kerja. Penduduk usia produktif yang berkualitas akan terserap di pasar kerja dengan mudah, bahkan menciptakan kesempatan kerja bagi orang lain. Mereka juga tentunya akan dibayar dengan sepadan. Semakin tinggi upah/gaji yang diterima maka akan meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB).

Peningkatan PDB tentunya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan membuka peluang bagi Indonesia untuk menjadi negara maju. Artinya tugas pemerintah saat ini adalah menyiapkan tenaga kerja mumpuni, disamping upaya memperluas lapangan pekerjaan.

Tak bisa dipungkiri hampir semua pekerja andal berawal dari pendidikan yang layak. Artinya siswa-siswa sekolah saat ini harus dipersiapkan untuk menjadi calon tenaga kerja yang berkualitas lewat pendidikan yang juga berkualitas. Namun tampaknya partisipasi penduduk untuk mengenyam pendidikan masih jauh dari harapan.

Dari data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), rata-rata lama sekolah penduduk Indonesia tahun 2021 sebesar 8,54 tahun. Ini menunjukkan rata-rata penduduk Indonesia bahkan tidak sampai tamat SMP, alih-alih melanjutkan hingga jenjang perguruan tinggi.

Partisipasi sekolah dari kelompok umur perguruan tinggi (19-24 tahun) hanya sekitar 26,01 persen.

Artinya dari 100 orang penduduk usia 19-24 tahun hanya sekitar 26 orang yang melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi. Sementara sisanya memilih menganggur atau bekerja dengan upah seadanya.

Dengan rendahnya tingkat pendidikan rata-rata penduduk Indonesia, tidak heran jika pekerja yang dihasilkan banyak yang tidak sesuai kebutuhan pasar kerja. Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) menemukan fakta dari 135,61 juta orang yang bekerja masih didominasi oleh mereka yang merupakan lulusan SD ke bawah, yakni sebesar 39,10 persen.

Sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja tersebut adalah sektor pertanian, sebesar 29,96%. Ini merefleksikan bahwa sektor pertanian masih didominasi oleh pekerja lulusan SD ke bawah yang umumnya dibayar murah.

Sebagian besar dari mereka hanyalah berprofesi sebagai buruh tani. Sementara itu, jumlah penduduk yang bahkan tidak bekerja alias pengangguran per Februari 2022, sebesar 5,83 persen atau sebanyak 8,4 juta orang.

Dari jumlah itu, termasuk 960 ribu orang yang harus kehilangan pekerjaan karena pandemi. Angka ini sudah cukup membaik daripada kondisi Februari 2021 lalu, namun tetap belum pulih seperti kondisi sebelum pandemi terjadi.

Pandemi COVID-19 hingga Februari tahun ini masih memberi dampak terhadap 11,53 juta pekerja. Meskipun sebagian besar tidak sampai kehilangan pekerjaan, namun hanya mengalami pengurangan jam kerja atau sementara dirumahkan.

Besarnya jumlah penduduk yang menganggur berpotensi mematahkan upaya-upaya untuk menggapai berkah bonus demografi. Penduduk usia produktif yang diharapkan dapat menanggung penduduk usia nonproduktif ternyata tidak mampu melakukan fungsi ekonominya, justru bisa-bisa ikut menjadi beban.

Perbaikan kinerja sektor pendidikan dan ketenagakerjaan masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah. Pandemi Covid-19 yang melanda seluruh dunia termasuk Indonesia pada awal 2020 hingga saat ini membuat pekerjaan rumah itu kian menjadi berat.
Upaya Pembenahan Membenahi sektor ketenagakerjaan tidak bisa dilepaskan dari pembenahan sektor pendidikan. Upaya yang harus dilakukan saat ini adalah mengejar ketertinggalan siswa selama melakukan pembelajaran daring.

Program vaksinasi Covid-19 harus mencakup seluruh siswa sekolah, sehingga pembelajaran tatap muka dapat berjalan tanpa kekhawatiran lagi.

Terkait dengan rendahnya partisipasi penduduk usia 19-24 tahun untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi, diharapkan pemerintah dapat meningkatkan program beasiswa. Terutama bagi calon mahasiswa yang berasal dari kelas ekonomi menengah bawah.

Ketika Indonesia sudah mampu mewujudkan pendidikan yang berkualitas, sudah barang tentu akan lahir calon tenaga kerja yang memenuhi standar pasar kerja.

Dengan demikian bonus demografi yang masih berlangsung dapat dijadikan momentum untuk melakukan lompatan meraih akselerasi ekonomi. Maka visi menjadikan Indonesia sebagai negara maju dan salah satu kekuatan ekonomi terbesar di dunia dapat segera terealisasi. ***

 

Sumber: Sriwijaya Post
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved