Opini
OPINI: Restorative Justice Sebuah Antitesis Terhadap Pemidanaan yang Punitif
Akhir-akhir ini konsep Restoratif Justice atau sering disebut RJ cukup ramai diperbincangkan di masyarakat.
Ditulis oleh Surya Irawan, SH
Pembimbing Kemasyarakatan Ahli Muda Balai Pemasyarakatan Kelas I Palembang
Akhir-akhir ini konsep Restorative Justice atau sering disebut RJ cukup ramai diperbincangkan di masyarakat.
Pihak Kepolisian melalui Kabareskrim Polri, Komjen Agus Andrianto mengungkapkan bahwa sejak tahun 2021 sampai dengan bulan maret 2022 pihak kepolisian telah menyelesaikan 15.039 (lima belas ribu tiga puluh sembilan) perkara melalui Restoratif Justice dikutip dari Humas.Polri,go.id, sedangkan pada tingkat Penuntutan Kejaksaan, Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Umum Fadil Zumhana menyatakan Pihak Kejaksaan telah menyelesaikan 1070 perkara di seluruh indonesia melalui Restoratif Justice dikutip dari katadata.co.id.
Albert Eglash pada tahun 1977 mengenalkan Istilah Keadilan Restoratif, dimana ia mencoba menjabarkan tiga bentuk peradilan pidana yakni Retributive Justice, Distributive Justice dan Restorative Justice.
Menurutnya, Retributive Justice berfokus menghukum pelaku atas kejahatan yang telah dilakukan, sedangkan Distributive Justice bertujuan Rehabilitasi pelaku, sementara Restorative Justice memiliki prinsip restitusi dengan cara melibatkan korban dan pelaku dalam proses guna mengamankan reparasi korban dan rehabilitasi terhadap pelaku.
Kemudian menurut Eva Achjani Zulfa pada tahun 2014 berpendapat bahwa Restorative justice dipahami sebagai bentuk pendekatan penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban dan pihak lain yang terkait secara bersama menyelesaikan perkara secara adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan.
Lantas apa yang melatarbelakangi munculnya Restorative Justice sebagai suatu konsep atau sistem peradilan pidana di Indonesia.
Munculnya Restoratif Justice tidak terlepas dari situasi dan kondisi sistem peradilan pidana khususnya situasi dan kondisi pemenjaraan di Indonesia.
Data dari laman http://sdppublik.ditjenpas.go.id/ tanggal 04 Juni 2022 tercatat jumlah Tahanan dan Narapidana di indonesia berjumlah 275.002 orang sedangkan jumlah kapasitas Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan Rumah Tahanan Negara (Rutan) berjumlah 132.107 orang yang berarti tingkat over kapasitas sebesar 108 persen. Dari laman tersebut diperoleh data bahwa 3 (tiga) Lapas/Rutan yang isi Narapidana terbanyak adalah Rutan Kelas I Cipinang sebanyak 5905 orang, Rutan Kelas I Jakarta Pusat sebanyak 4746 orang dan Lapas Kelas I Medan sebanyak 4214 orang, sedangkan 3 (tiga) Lapas/Rutan yang tingkat over kapasitas tertinggi adalah Lapas Kelas IIB Bireuen 669 persen, Lapas Kelas IIB Teluk Kuantan 636 persen Lapas Kelas IIA Banjarmasin 574 persen.
Permasalahan yang disebapkan oleh pemenjaraan bukan saja mengenai masalah over kapasitas. Mengacu pada Hans Mattick dan Iqrak Sulhin menyatakan ada fungsi laten dari pemenjaraan.
Fungsi laten dari penjara menurut Mattick dapat dilihat dari ketidakmampuan penjara dalam menjalankan fungsi rehabilitasi dan reformasi bagi narapidana.
Penjara justru akan membentuk suatu komunitas yang mengumpulkan pelaku kejahatan pada jaringan emosional dan kehidupan sosial bersama.
Hubungan sosial yang terbentuk mengondisikan pelaku kejahatan dalam kariernya. Oleh karena itu, mustahil untuk melakukan rehabilitasi jika kelompok yang ada di sekelilingnya tetap berorientasi kriminal.
Selain itu pendapat lain diungkapkan oleh Donal Clemmer pada tahun 1950 menjelaskan bahwa pemenjaraan suatu proses pembelajaran narapidana tidak menjadi semakin baik namun menjadi semakin profesional dalam kejahatan yang proses tersebut disebut sebagai Prisonisasi. Walaupun kedua pendapat diatas, tidak sepenuhnya benar.
Masih banyak narapidana yang menjadikan Lapas atau Rutan menjadi tempat Narapidana bertobat, merenungi kesalahan-kesalahan yang telah ia perbuat dan mengikuti kegiatan pembinaan baik itu pembinaan kepribadian atau kemandirian didalam Lapas/Rutan sebelum narapidana itu kembali ke masyarakat menjadi manusia yang lebih baik lagi.
Praktik Restorative Justice di Indonesia telah difasilitasi oleh Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA), khususnya tentang kebijakan diversi dan keadilan restoratif bagi Anak yang melanggar hukum. Walaupun tidak seluruh tindak pidana yang dilakukan Anak dapat diselesaikan melalui Diversi.
Kejahatan yang diancam pidana penjara 7 tahun keatas dan residivisme tidak dapat diselesaikan melalui Diversi. Penerapan keadilan restoratif dalam sistem peradilan pidana saat ini sudah meliputi seluruh tahap yakni penyidikan, penuntutan dan pengadilan.
Ditingkat penyidikan, penerapan keadilan restoratif diatur melalui Surat Edaran Kapolri Nomor SE/8/VII/2018 Tahun 2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif dalam Penyelesaian Perjara Pidana Jo.Perarutan Polri No.8 Tahun 2021 Tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif yang Menyatakan proses penyidikan dapat dilakukan keadilan restoratif apabila terpenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada Peraturan Kapolri tersebut.
Pada tahap penuntutan, Jaksa Agung Republik Indonesia mengeluarkan Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Tidak hanya di tingkat penyidikan dan penuntutan, penerapan keadilan restoratif juga dilakukan di tingkat Pengadilan dengan dikeluarkannya Keputusan Dirjen Badan Peradilan Umum No. 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 tentang Pemberlakuan pedoman penerapan keadilan restoratif, sesungguhnya telah terjadi pergeseran terhadap paradigma pemidanaan yang retiributif dan rehabilitatif.
Pemenjaraan tidak lagi menjadi primadona dalam praktik penghukuman di indonesia. Tegasnya, Restorative Justice adalah Antitesis dari pemidanaan yang punitif.