Menafsir Makna Lailatul Qadar
DI ANTARA kemuliaan dan keagungan bulan Ramadhan adalah karena terdapat di dalamnya suatu malam yang sangat istimewa, Lailatul Qadar.
Oleh: H. John Supriyanto MA
Penulis adalah dosen Ilmu Al Qur’an dan Tafsir UIN Raden Fatah dan Sekolah Tinggi Ilmu Al Qur’an (STIQ) Al-Lathifiyyah Palembang.
DI ANTARA kemuliaan dan keagungan bulan Ramadhan adalah karena terdapat di dalamnya suatu malam yang sangat istimewa, Lailatul Qadar. Tidak salah bila disebut bahwa Lailatul Qadar adalah puncak dari amaliyah Ramadhan. Meski detail waktunya tidak dijelaskan oleh nash, baik Al Qur’an maupun hadits, namun terdapat beberapa isyarat yang dikemukakan dalam kitab-kitab riwayat.
Intinya, bahwa malam agung dan mulia tersebut terjadi di antara malam-malam ganjil ‘asyr al-awakhir (sepuluh malam terakhir) di bulan Ramadhan. Tentu terdapat hikmah besar dibalik dirahasiakannya kapan waktu pasti terjadinya malam tersebut. Antara lain adalah sebagai motivasi agar umat beriman lebih memaksimalkan ibadahnya pada sepuluh malam terakhir, bahkan seluruh malam-malam Ramadhan.
Paling tidak terdapat tiga faktor yang menjadikan Lailatul Qadar sangat mulia dan istimewa. Pertama, karena Lailatul Qadar hanya terjadi dan ada pada bulan Ramadhan, tidak pada bulan-bulan lainnya.
Kedua, pada Lailatul Qadar itulah Allah SWT. Telah menurunkan Al Qur'an secara sekaligus dari lauh al-mahfuzh ke bait al-'izzah (langit dunia). Ketiga, ibadah dan kebaikan pada malam ini di sisi Allah Swt. bernilai sangat fantastis, yakni lebih baik daripada seribu bulan (khair min alfi syahr). Oleh karena itu wajar bila malam ini menjadi momentum yang sangat dicari dan dinanti.
Bahkan disebutkan bahwa Rasulullah SAW sendiri “semakin mengencangkan ikatan kainnya” untuk meraih dan menyambutnya. Term “Lailatul Qadar” diungkapkan dalam Al Qur'an sebanyak tiga kali dalam satu surat saja, yakni surat al-Qadr. Karena itu, ketika membicarakan konsep Lailatul Qadar perspektif Al-Qu’an, maka artinya sama dengan mengkaji dan membahas tentang kandungan surat al-Qadr itu sendiri.
Jangan lupa subscribe, like dan share channel Youtube Sripokutv di bawah ini:
Kata “lailah” dalam kitab “Lisan Arab” antara lain mengandung arti “sesuatu yang hitam pekat”. Oleh karena itulah “malam” dan “rambut yang hitam” seringkali diungkap dengan kata “lail”. Bahkan, seorang wanita pemilik rambut yang hitam pekat juga biasa dipanggil dengan nama “Lailah”. Kata “lail” atau “lailah” diidentikkan dengan hitam karena setiap malam pasti membawa kegelapan dan setiap kegelapan hakikatnya adalah hitam yang pekat.
Berangkat dari makna kebahasaan kata “lail” atau “lailah” ini, terdapat sedikit perbedaan pandangan antara ulama’ tafsir Sunni dan Syi’ah. Para mufassir Sunni berpendapat bahwa terjadinya malam dimulai sejak terbenam matahari dan berakhir dengan terbitnya fajar.
Sementara para mufassir Syi’ah berpandangan bahwa malam dimulai dari terbenamnya matahari dan hilangnya mega merah di ufuk Barat sampai terbitnya fajar. Konsekuensi perbedaan pandangan ini kemudian melahirkan perbedaan pula pada waktu berbuka puasa.
Meski sama-sama berpedoman pada Qs.al-Baqarah : 187 “tsumma atimm ash-shiyam il al-lail” (Kemudian sempurnakanlah puasa[mu] sampai malam), waktu berbuka umat muslim Sunni lebih cepat beberapa menit, yakni ketika masuknya waktu maghrib. Sedangkan umat muslim Syi’ah sedikit
lebih akhir, yakni sampai malam benar-benar tampak gelap atau hitam.
Merujuk pada kitab-kitab tafsir tentang hakikat makna “Lailatul Qadar”, paling tidak dapat ditemukan empat pandangan mufassir dalam hal ini. Pertama, dalam kitab “Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an” karya Imam Al-Qurthubi dijelaskan bahwa makna “al-Qadr” adalah “al-hukm”, sehingga “Lailatul Qadar” bermakna “malam penetapan hukum”.
Maksudnya, pada malam itu Allah SWT menetapkan perjalanan hidup seluruh makhluk-Nya selama satu tahun ke depan. Dalam konteks kehidupan anusia, pada malam itu Allah SWT menetapkan segala sesuatu menyangkut hidupnya, seperti ajal, rizki, jodoh, kebaikan, keburukan dan lain sebagainya. Pandangan ini antara lain dikuatkan dengan firman Allah SWT dalam Qs. ad-Dukhan : 4 “fiha yufraqu kullu amrin hakim” (pada malam itu ditetapkan segala urusan yang penuh kebijaksanaan”.
Jangan lupa juga subscribe, like dan share channel Instagram Sriwijayapost di bawah ini:

Kedua, berbeda dengan Al-Qurthubi, Imam Al-Qasimi dalam kitab “Mahasin at-Ta’wil” memaknai “al-Qadr” dengan “pengaturan”. Pengaturan yang dimaksud beliau dalam hal ini adalah tentang strategi dakwah Rasulullah SAW Pada “Lailatul Qadar” itulah Allah SWT mengatur demikian rupa langkah-langkah, pendekatan, metode dan strategi risalah yang akan digunakan dalam mengajak umat manusia pada agama-Nya.
Ketiga, kata “al-Qadr” bermakna “al-Karam” (kemuliaan), sehingga “Lailatul Qadar” berarti malam kemuliaan atau malam yang memiliki kemuliaan. Pandangan seperti ini banyak dianuti oleh sebagian besar mufassir, termasuk di Indonesia. Allah SWT menurunkan Al Qur’an pada malam yang mulia atau memiliki kemuliaan.
Kemulian malam tersebut antara lain disebabkan karena kemuliaan Al Qur’an yang diturunkan pada malam itu. Ada pula yang mengatakan bahwa malam tersebut menjadi mulia karena hubungannya dengan fadhilah dan keistimewaan ibadah di malam itu. Seseorang yang beribadah pada malam tersebut dijamin akan mendapatkan kemuliaan dan keagungan yang istimewa, berbeda dengan malam-malam yang lain.
Sebagian lagi juga ada yang menyatakan bahwa seseorang yang tadinya tidak memiliki kedudukan dan kemuliaan di sisi Allah SWT akan mendapatkan kemuliaan bila pada malam itu dengan khusyu’ dan khudhu’ bertaubat, menyesal serta berkomitmen kuat untuk tidak mengulangi kesalahan-kesalahannya. Oleh sebab itu, malam ini menjadi saat yang paling afdhal bagi seorang mukmin untuk bertaubat atau ‘hijrah’ dalam arti yang sebenarnya.
Keempat, agak jauh berbeda dengan pandangan-pandangan sebelumnya, lafz “al-Qadr” berarti penuh sesak dan sempit”. Pendapat ini dikemukakan oleh mufassir dari kalangan tabi’in, Al-Khalil ibn Ahmad al-Farahidiy. Dengan penafsiran yang bercorak lughawi (kebahasaan), beliau memaknai “Lailatul Qadar” sebagai “suatu malam yang penuh sesak dan sempit sesuai dengan Qs. ath-Thalaq : 7 “wa man qudira 'alaihi rizquhu” (dan barangsiapa yang disempitkan rizkinya).
Jangan lupa subscribe, like dan share channel TikTok Sriwijayapost di bawah ini:

Mengapa disebut demikian?. Menurut beliau, bahwa pada malam diturunkan Al Qur'an, begitu banyak malaikat yang turun ke bumi (tanazzal al-mala’ikat wa ar-ruh). Proses itu berlangsung secara terus-menerus sepanjang malam. Dengan begitu banyaknya jumlah malaikat yang hadir dan turun, maka digambarkan bumi menjadi penuh sesak dan sangat sempit.
Bila kata “sempit” kerapkali berkonotasi makna negatif, maka tidak demikian halnya dengan kondisi “Lailatul Qadar”. Manusia sama-sekali tidak merasakan sesak dan sempit pada malam itu. Bahkan sebaliknya, malam menjadi sangat syahdu dan sejuk dengan ketenangan, kenyamanan dan ketentraman batin saat beribadah. Sebab, bumi dipenuhi oleh makhluk ruhani, berupa para malaikat yang tentu tidak membutuhkan ruang dan tempat dalam mewujudkan eksistensinya.
Selanjutnya, Al Qur’an menyebutkan bahwa “Lailat al-Qadr khair min alfi syahr” (malam yang lebih baik dari seribu bulan). Nominal seribu bulan adalah setara dengan angka 83 tahun, yakni menunjuk usia maksimal rata-rata umat terakhir. Maksudnya, mereka yang beribadah pada malam qadar nilainya di sisi Allah Swt. Melebihi ibadahnya seumur hidup. Sebuah capaian kemuliaan yang luar biasa bila kondisi tersebut mampu diraih.
Al-Imam al-Wahidi mengemukakan dalam kitab “Asbab an-Nuzul”, bahwa ketika, Rasul Saw. mendengar kisah tentang seorang umat Nabi Musa as. yang beribadah dan membela agama Allah Swt. selama seribu bulan, beliau begitu terkagum-kagum. Di dalam batinnya beliau berharap kiranya umat-nya juga mendapatkan keistimewaan yang demikian. Ternyata kemudian Allah SWT memenuhi harapan beliau dengan menjadikan Lailatul Qadar bernilai lebih baik dari seribu bulan.
Begitu istimewanya Lailatul Qadar, sehingga sejak awal Ramadhan umat beriman sudah dituntun untuk mendapatkan dan meraih keutaman-keutamaannya. Sebuah fasilitas khusus yang hanya Allah SWT peruntukkan bagi umat nabi terakhir. Tidak ada kerugian yang lebih besar bagi seorang mukmin daripada lalai dan abai terhadap fasilitas agung ini. Satu kesempatan yang memungkinkan seseorang mampu meraih kemuliaan secara instan di sisi Penciptanya. Wallahu a’lam !
Jangan lupa Like fanspage Facebook Sriwijaya Post di bawah ini:
