Tak Perlu Terjadi Langka Minyak Goreng
Baru dua bulan berjalan kebijakan minyak goreng satu harga menimbulkan permasalahan baru, yakni terjadi kelangkaan.
Oleh Amidi
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Palembang dan Pengamat Ekonomi Sumatera Selatan
Dalam menyikapi harga minyak goreng yang cendrung meningkat beberapa bulan yang lalu, pemerintah telah mengambil kebijakan minyak goreng satu harga Rp. 14.000 per liter yang sudah dimulai bulan Januari lalu. Kebijakan penyediaan minyak goreng satu harga dijual melalui ritel modern yang menjadi anggota Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) dan diberlakukan untuk enam bulan.
Namun, baru dua bulan berjalan kebijakan minyak goreng satu harga tersebut menimbulkan permasalahan baru, yakni terjadi kelangkaan. Belum selesai pemerintah mengatasi permasalahan yang timbul disekitar minyak goreng satu harga tersebut, kini timbul masalah baru yakni kelangkaan, tidak hanya minyak goreng kemasan tetapi minyak goreng curah ikut langka.
Bila dicermati ada beberapa penyebab kelangkaan minyak goreng tersebut, harga minyak sawit mentah- crude plam oil (CPO) diluar negeri memang sedang menggiurkan alias tinggi menyebabkan kuantitas ekspor yang cendrung bombastis, adanya permintaan CPO untuk mencampur bio disel dan adanya imbas giopolitik/perang rusia-ukraina, yang menyebabkan pasokan minyak nabati bunga mata hari dari laut hitam terhenti mendorong pasar beralih ke sumber alternatif yakni minyak nabatih lain seperti minyak sawit - CPO.
Menyikapi hal di atas, kembali pemerintah mengambil kebijakan dengan menetapkan Domestic Market Obligation (DMO) produk minyak goreng menjadi 30 persen yang sebelumnya 20 persen. Semua pelaku ekspor CPO wajib menyerahkan DMO sebanyak 30 persen, yang artinya kewajiban pelaku ekspor Crude Palm Oil (CPO) memsasok 30 persen kebutuhan CPO untuk kebutuhan industri pengolahan minyak goreng dalam negeri.
Jangan lupa subscribe, like dan share channel Youtube Sripokutv di bawah ini:
Kebijakan ini berlaku sampai keadaan normal dan harga minyak goreng kembali stabil. Namun dilapangan kebijakan DMO 30 persen tersebut ditolak oleh Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI). Pasalnya, kebijakan ini dinilai akan mengganggu ekosistem industri persawitan nasional.
Ketua Umum GIMNI, Sahat Sinaga, menjelaskan kebijakan DMO yang sebelumnya 20 persen dari total eskpor CPO adalah sangat mencukupi untuk memenuhi kebutuhan minyak goreng nasional. Lebih lanjut Sahat menjelaskan dengan adanya DMO 20 persen telah terkumpul pasokan minyak goreng sebanyak 415,7 ribu ton atau lebih dari kebutuhan satu bulan sekitar 327 ribu ton.
Sahat juga menjelaskan, kita tidak perlu khawatir, karena kebutuhan minyak sawit untuk kebutuhn pangan, terutama minyak goreng hanya 10 persn dari total produksi sawit nasional. (Republika.co.id,11 Maret 2022)
Pada bagian lain Direktur Eksekutif Lembaga Riset CORE Indonesia, Mohammad Faisal, mengakui harga minyak goreng saat ini telah turun sesuai harga eceran tertinggi (HET). Namun, terjadi kelangkaan terutama setelah kebijakan DMO 20 persen ditetapkan beberapa minggu yang lalu.”Masalahnya sekarang harga turun tapi barang tidak ada, sementara sebelum kebijakan DMO, harga naik tapi barang masih ada.
Lebih lanjut Faisal menjelaskan kebijakan DMO bahan baku minyak goreng ini tujuannya baik supaya dapat memenuhi kecukupan pasokan minyak goreng dalam negeri, tetapi penerapan aturan ini kurang didukung mekanisme kebijakan dan lemahnya pengawasan, sehingga aturan ini cendrung tidak efefktif dan bahkan merugikan.
Jangan lupa juga subscribe, like dan share channel Instagram Sriwijayapost di bawah ini:

Makanya timbul pertanyaan, DMO cocok atau tidak? Sebab dengan DMO 20 persen telah mencukupi kebutuhan minyak goreng kalau dinaikkan 30 persen apakah ini tidak menjadi masalah? Ia meminta sistem pengawasan distrubusi minyak goreng harus dibangun baik dikawal dengan ketat dari satu mata rantai ke mata rantai lainnya. (Sawit Indonesia.com, 12 Maret 2022).
Pro-Konta DMO
Bila kita cermati fenomena di atas, menunjukkan bahwa kelangkaan minyak goreng tersebut tidak sepenuhnya disebabkan oleh miinimnya bahan baku minyak sawit. Apalagi mengingat Indonesia memang penghasil minyak sawit terbesar. Kompas.com, 31 Januari 2022, mensitir bahwa Indonesia sudah menjadi produsen minyak sawit nomor satu di dunia sejak tahun 2006, menyalip posisi yang selama bertahun-tahun sudah ditempati Malaysia.
Mengingat negeri ini merupakan penghasil minyak sawit terbesar tersebut, sepertinya ada benarnya kalau DMO 20 persen saja sudah cukup untuk mengatasi kelangkaan minyak goreng. Namun, dengan memperhatikan permintaan minyak sawit masyarakat dunia yang akhir-akhir ini cendrung meningkat, sepertinya kebijakan DMO 30 persen pun memang diperlukan.