Bisnis Vaksin, Kapitalisme 'Berjaket' Pandemi
Pandemi virus COVID 19 memang menjadi “hantu” yang menakutkan yang telah menewaskan 2,81 juta penduduk dunia.
Oleh : Isni Andriana, SE, M.Fin, PhD
Dosen Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Sriwijaya
SRIPOKU.COM -- Awal tahun 2022 ini tersiar klaim dari salah satu orang terkaya dunia, Bill Gates yang mengaku bahwa terdapat pengembalian 20 banding 1 dengan menghasilkan US$ 200 miliar.
Nilai itu setara dengan Rp. 2.800 triliun selama 20 tahun terakhir yang didapat dari berinvestasi pada organisasi yang meningkatkan akses vaksi global dan dapat membe-rikan keuntungan ekonomi hingga berkali-kali lipat.
Bill Gates juga mengklaim bahwa Yayasan amalnya, Bill and Melinda Gates Foundation telah menyalurkan sumbangan lebih dari US$ 10 miliar kepada tiga kelompok utamanya.
Kelompok itu meliputi Aliansi Global untuk Vaksin dan Imunisasi, Dana Global untuk Memerangi AIDS, Tuberkolosis dan Malaria.
Pandemi virus COVID 19 memang menjadi “hantu” yang menakutkan yang telah menewaskan 2,81 juta penduduk dunia.
Namun, beberapa perusahaan mampu menjadikan “hantu” ini sebagai peluang bisnis yang mengiurkan.
Beberapa pelaku usaha ini berhasil mencengkram kesempatan ini.
Mereka langsung tancap gas dan mengutip rezeki dari penyebaran “hantu” virus COVID 19.
Jangan lupa subscribe, like dan share channel Youtube Sripokutv di bawah ini:
Contoh yang paling umum adalah bisnis pada sektor alat kesehatan khususnya jarum suntik yang kebutuhannya naik drastis sejak vaksin ditemukan.
Beberapa kasus menunjukkan bahwa terjadi praktik-praktik “kotor” dalam pemanfa-atan bisnis di tengah pandemi COVID 19.
Yang paling viral adalah kasus praktek daur ulang alat rapid tes antigen bekas di Sumatera Utara dan sindikat penjualan vaksin dosis ke-3 di Surabaya.
Praktik-praktik “kotor” seperti ini menjadi berita hangat yang menjadi menyita perhatian secara nasional.
Mau ataupun tidak praktik-praktik ini akan menjadi santapan yang mengiurkan bagi para “oknum” yang mencari keuntungan di tengah Pandemi.
Bisnis Vaksin COVID 19 sangat mengiurkan.
Menurut analis di Morgan Stanley dan Credit Suisse memperkirakan manusia yang perlu divaksin setiap tahun sama dengan suntikan flu biasa, dengan harga rata-rata US$ 20 untuk dosis vaksin COVID 19.
Diperkirakan produsen vaksin dapat meraup pendapatan sebesar US$25 miliar lebih per tahun atau setara dengan Rp. 365 triliun (asumsi Rp. 14.600/US$).
Bahkan diperkirakan pasar vaksin COVID 19 menghasilkan pendpatan US$ 10 miliar setahun di AS, Eropa dan negara-negara maju lainnya.
Jangan lupa juga subscribe, like dan share channel Instagram Sriwijayapost di bawah ini:

PM Inggris Borris Johnson pernah mengatakan di depan Parlemen Inggris “the reason we have the vaccine success is because of capitalism, because of greed….” (“…kita sukses mendapatkan vaksin karena kapitalisme, karena kerakusan…”).
Berdasarkan pernyataan tersebut tergambar bahwa kehadiran vaksin merupakan glorifikasi terhadap kapitalisme, sekaligus suatu alasan pembenaran untuk memperjuangkan keserakahan.
“Rakus” mejadi sandaran utamanya bekerjanya model ekonomi mainstream di masa-masa suram saat ini.
Pengembangan vaksin COVID 19 sudah menjadi perburuan banyak industri farmasi dan medis.
Tidak semua perlombaan ini bergerak dalam misi menyelamatkan dunia. Kata ‘perlombaan’ selalu bersenyawa dengan ‘kompetisi’.
Pada laporan The Guardian menyebutkan Serco yang merupakan salah satu perusa-haan outsourcing dari Kementerian Kesehatan Inggris yang terlibat program uji coba, dan penelusuran COVID 19 melaporkan lonjakkan keuntungan 18 % atau sekitar 160-165 juta poundterling.
Kemudian BCG atau Boston Consulting Group yang mendapatkan kontrak 18,3 juta pounsterling dari Pemerintah Inggris.
Penelusuran Guardian dan Sky News juga menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan tersebut membebankan biaya tes dan program pelacakan kepada Pemerintah Inggris dan mendapatkan 6,250 poundsterling per harinya.
Kasus-kasus tersebut adalah gambaran bahwa meraup keuntungan ganda ditengah penderitaan orang bukanlah hal baru.
Jangan lupa subscribe, like dan share channel TikTok Sriwijayapost di bawah ini:

Dapat dikatakan bahwa kemalangan bukan hanya bencana tetapi juga komersialisasi. Dalam situasi COVID 19 sepertinya berlaku pepatah ‘tidak ada makan siang gratis’.
Tak heran, banyak “tauke” seperti Rupert Murdoch mengerahkan daya upaya untuk berinvestasi di industri ini.
Jelas sekali bahwa ada peluang dari penderitaan global.
Pandemi semacam ini akan menunggu waktu untuk berulang.
Dari mulai publik ke privatisasi kemitraan, antara pemerintah dan perusahaan farmasi dalam kerangka menangkal ancaman pandemi.
Di Indonesia nama Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dan Menteri BUMN Erick Thohir terdampak ‘isu’ terlibat dalam praktek bisnis polymerase chain reaction (RT-PCR).
Dugaan keterlibatannya yaitu pada PT Genomik Solidaritas Indonesia (SGI). Perusahaan ini bertujuan untuk membantu tes COVID 19 saat awal pandemi.
Yang menarik adalah pendapatan perusahaan ini ditopang sepenuhnya oleh bisnis PCR dan alat kesehatan (alkes).
GSI juga disebutkan telah melakukan pemeriksaan PCR dengan porsi 2,5