Berita OKI

Intip Aktivitas Pengrajin Tikar Purun Khas Warga Pedamaran OKI, Bahan Bakunya Sedang Sulit Didapat

Kisah pegnrajin tikar purun khas Kabupaten OKI, tepatnya warga Pedamaran. Menurut mereka, saat ini permintaan banyak tapi bahan baku sulit didapat.

Editor: Refly Permana
tribunsumsel.com/nando
Para pengrajin purun asal Dusun 2, Desa Menang Raya, Kecamatan Pedamaran, Kabupaten OKIng Ilir ketika sedang menganyam tikar depan rumahnya, Sabtu (31/7/2021) pagi. 

Penulis: Nando

SRIPOKU.COM, KAYUAGUNG - Tikar purun atau tikar Pedamaran merupakan salah satu kearifan lokal di OKI yang sampai saat ini masih banyak dipakai di kalangan masyarakat Sumatera Selatan.

Dilansir dari laman Wikipedia, kehadiran tikar purun telah ada sejak zaman kolonial Belanda atau tepatnya pada abad ke-19 (Tahun 1870).

Penjualan anyaman yang terbuat dari bahan baku purun (Eleocharis dulcis) ini telah melanglang buana hingga daerah-daerah di Pulau Jawa dan Bali.

Menjadi bahan baku utama, tanaman purun adalah tumbuhan sejenis rumput atau gulma yang banyak tumbuh di wilayah gambut. Tanaman ini subur di gambut yang basah ketimbang kering.

Sebagai daerah yang terkenal dengan banyak rawa-rawa, Kabupaten Ogan Ilir dan Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan bak surga tempat di mana tanaman purun tumbuh. 

Namun dalam kurun waktu sebulan terakhir, Rosmih pengrajin purun asal Dusun 2, Desa Menang Raya, Kecamatan Pedamaran, Kabupaten Ogan Komering Ilir mengaku kesulitan mendapatkan bahan baku purun kering.

"Lebih dari 100 orang pengrajin tikar purun di sini memperoleh bahan baku purun dari Lebak gembalan di daerah sepucuk, Kecamatan Pedamaran Timur.

Di saat memasuki musim kemarau seperti ini air rawa di sana menjadi surut dan perahu tidak dapat menjangkau lokasi," kata Rosmih, Sabtu (31/7/2021) pagi.

Dengan begitu, warga sekitar menjadi sulit memperoleh bahan baku utama pembuatan kerajinan dan tikar yang dihasilkan juga semakin sedikit.

"Sudah setengah bulan ini tidak ada lagi yang jual purun kering, sementara persediaan kami semakin menipis. Kemungkinan keadaan ini akan bertahan hingga 2-3 bulan ke depan," jelasnya menyayangkan situasi terjadi ketika pesanan sedang ramai.

Dijelaskannya, tradisi membuat tikar hingga saat ini berawal dari ajaran orang tuanya, ketika itu masih di duduk di bangku kelas 1 sekolah dasar.

"Dulu sekitar umur 6 tahun sudah diajarkan oleh orang tua menganyam tikar satu per satu, dan waktu itu sangat terasa sulit tapi sekarang sudah terbiasa setiap harinya," kata wanita berusia 56 tahun.

Bukan tanpa alasan mengapa seluruh kaum wanita di desa tersebut diajarkan menganyam tikar, karena memang membuat tikar merupakan mata pencaharian utama.

"Bisa gawat kalau kami tidak bisa nganyam, karena dari sinilah penghasilan didapatkan, setidaknya cukup untuk membeli lauk-pauk setiap harinya," ucapnya.

Halaman
12
Sumber: Tribun Sumsel
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved