Narkoba akan Menyuramkan Masa Depan Aceh
Dua WNI ikut diamankan polisi di dermaga ilegal kawasan Bagan Bukit Tambun, Simpang Ampat, Penang, Malaysia, pada hari Kamis (27/5) waktu setempat
Hati kita kembali miris membaca berita tentang narkoba yang ada kaitannya dengan Aceh.
Sebulan lalu negeri ini gempar karena ditemukan sabu-sabu seberat 2,5 ton yang melibatkan 18 tersangka di Meulaboh, Jakarta, dan lainnya.
Inilah rekor penyelundupan terbesar di Aceh.
Sebelumnya pun ditemukan 350 kg sabu-sabu tak bertuan di wilayah Bireuen.
Dalam dua tahun antara 2017-2019 total sabu yang berhasil disita Badan Narkotika Nasional (BNN) Provinsi Aceh juga tidak sedikit, mencapai 3 ton.
Artinya, volume narkoba yang diselundupkan ke Aceh sudah luar biasa banyaknya.
Bukan lagi dalam takaran gram atau kilogram, melainkan sudah berton-ton.
Semua ini akan membunuh dan menyuramkan masa depan Aceh, mengingat 1 kg sabu dapat merusak sel-sel saraf 4.000 penggunanya.
Bayangkan kalau semua itu, atau katakanlah separuh saja dari 5,5 ton sabu tersebut, dikonsumsi oleh masyarakat Aceh.
Tentu seluruh penduduk Aceh yang berjumlah 5,3 juta bakal menjadi insan yang rusak nalarnya, lemah, dan tak dapat lagi diandalkan memiliki daya saing tinggi.
Di sisi lain, itulah tujuan negara-negara produsen narkoba, semisal Cina, Laos, Thailand, Iran, dan Afghanistan menyebarkan narkoba ke seluruh penjuru dunia.
Bukan saja karena mereka ingin mengeruk keuntungan finansial besar dari bisnis barang terlarang ini, tetapi juga ingin memperlemah bangsa yang menjadi konsumen narkoba.
Semakin lemah sebuah bangsa–karena generasi mudanya kecanduan narkoba–maka semakin berhasil negara-negara produsen narkoba itu dalam strategi “proxy war”-nya.
Generasi dari bangsa yang dilemahkan dengan narkoba sungguh tak akan dapat diharapkan memimpin negaranya menjadi lebih baik dan berkualitas.
Hal tersebut pun akan terjadi di Aceh bila semua kita tidak menjadikan narkoba sebagai musuh bersama.