Mendidik Dan Atau Mengajar: Merdeka Belajarnya Ki Hajar Dewantara dan Nadiem Makariem
Masih dalam suasana hari pendidikan nasional yang diperingati tiap tanggal 2 Mei, kita melihat “berjibun” masalah yang mengitari dunia pendidikan.
Oleh: Dr. Houtman, M.Pd.
Dosen Universitas Muhammadiyah Palembang
Masih dalam suasana hari pendidikan nasional yang diperingati tiap tanggal 2 Mei, kita melihat “berjibun” masalah yang masih mengitari dunia pendidikan.
Ditambah dalam dua tahun terakhir, kita berhadapan dengan pandemic covid 19 yang betul-betul merasuk dan dapat saja merusak sendi-sendi pendidikan jika tidak ditanggapi dan direspon secara benar dan tepat sasaran.
Persoalan pendidikan tidak habis diperbincangkan dari masa ke masa. Pergulatan masalah mendasar masih mengedepankan tentang budayaliterasisebagai upaya meningkatkansoft skill/literasi soft skill.
Topik ini berkait dengan konsep merdeka belajar yang mendekati kesimilaritasan.
Betapa tidak, saat pendidikan di Indonesia berbicara masalah kualitas, yang mengemuka adalah kecakapan “konkret” yang lebih berorintasi pada peran guru sebagai “pengajar” dan bukan “pendidik”. Walau, Ki Hajar Dewantara percaya kalau pendidikan modern, pendidikan yang merdeka, hukuman dan ganjaran harus dihilangkan atau sebisa mungkin dihindari.
Agar anak melakukan atau tidak melakukan sesuatu bukan karena mengharap ganjaran atau takut pada hukuman.
Hakikat pendidikan yang sebenarnya bukanlah membentuk, tapi menumbuhkan.
Andai anak-anak diibaratkan benih tanaman, maka ketika masih menjadi benih tentu belum terlihat batang, akar, daun atau hal-hal lain yang bisa dilihat pada tanaman.
Sehebat apapun biji, tidak akan memperlihatkan seluruh komponen tanaman (mengutip dari beberapa sumber).
Kadangkala kita melihat dan memperlakukan benih seperti kita melihat dan memperlakukan tanaman yang sudah besar.
Pemikiran Ki Hajar Dewantara mengenai merdeka belajar dapat dilihat dalam pemikirannya mengenai pendidikan yang mendorong perkembangan siswa untuk mencapai perubahan dan dapat bermanfaat bagi lingkungan masyarakatnya.
Pendidikan juga sarana untuk meningkatkan rasa percaya diri dan mengembangkan potensi yang ada dalam diri.
Sebab selama ini pendidikan hanya mengembangkan aspek pengetahuan tanpa diimbangi dengan penumbuhan dan pengembangan sikap perilaku yang berkarakter serta ketrampilan yang dibutuhkan dalam kehidupan.
Peserta didik sesungguhnya memiliki dasar jiwa dimana keadaan yang asli menurut kodratnya sendiri dan belum dipengaruhi oleh keadaan dari lingkungan.
Mungkin dapat lebih dipertimbangkan untuk memulai secara nyata konsep andragogi yang mengisyaratkan peristiwa pembelajaran berbentuk bagaimana orang tua belajar.
Knowles menyebutkanandragogias the art and science to helping adult a learner.
Bahkan dapat saja nantinya kita menerapkan konsep Heutagogi sebagai suatu studi tentang pembelajaran yang ditentukan secara mandiri oleh pembelajar.
Ini dapat dilihat sebagai suatu perkembangan alamiah dari metodologi pendidikan sebelumnya terutama dari pengembangan kemampuan dan mungkin menyediakan pendekatan optimal untuk belajar di abad dua puluh satu bagi anak didik kita yang tentu saja diharapkan sesuai dengan konsep merdeka belajar yang diinginkan.
Untuk keadaan seperti ini, Ki Hajar menulis, "Pengetahuan, kepandaian janganlah dianggap maksud atau tujuan, tetapi alat, perkakas, lain tidak”.
Pemikiran seperti ini jika dipahami oleh seluruh pemangku kebijakan pendidikan, tentulah akan diciptakannya kebijakan-kebijakan baru di negara yang lebih menitikberatkan kepada proses, bukan hanya kepada hasil.
Proses yang dimaksud tentu mengedepankan literasi softskills yang sesuai dengan nilai-nilai budaya Indonesia.
Pendidikan adalah usaha sadar untuk memberikan nilai-nilai kebatinan dan kebudayaan yang ada dalam hidup masyarakat yang memiliki kebudayaan pada setiap keturunan, tidak saja berupa “pemeliharaan” tetapi juga bertujuan untuk memajukan dan mengembangkan kebudayaan.
Merdeka belajar yang menjadi gagasan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Ristek saat ini diharapkan sejalan dengan pemikiran Ki Hajar Dewantara mengenai pendidikan yang seharusnya terselenggarakan di Indonesia.
Esensi dari merdeka belajar, yaitu kebebasan berpikir yang ditujukan kepada siswa dan guru, sehingga mendorong terbentuknya karakter jiwa merdeka karena siswa dan guru dapat mengekplorasi pengetahuan dari lingkungannya.
Merdeka belajar ini jika aplikasikan dalam sistem pendidikan di Indonesia, dapat membentuk siswa yang berkarakter karena telah terbiasa dalam belajar dan mengembangkan pengetahuannya berdasarkan apa yang ada di lingkungannya.
Merdeka belajar akan mendorong terbentuknya sikap kepedulian terhadap lingkungannya yang dapat mendorong dirinya menjadi lebih percaya diri, terampil, dan mudah beradaptasi terhadap lingkungan masyarakat.
Dan yang terpenting adalah tertanamnya kesadaran sebagai warga Indonesia yang mempunyai budaya sendiri dan adab yang berdasarkan nilai-nilai agama.
Sikap-sikap tersebut penting untuk dikembangkan karena untuk menjadi orang yang bermanfaat bagi lingkungannya dibutuhkan sikap kepedulian, terampil dan adaptif dimanapun berada.
Diketahui bersama bahwa Mendikbud Ristek telah meluncurkan beberapa kebijakan dalam merdeka belajar diantaranya;
Pertama, ujian sekolah berstandar nasional digantikan dengan assesmen yang diadakan pihak sekolah, sehingga guru memiliki kebebasan dalam menilai siswa.
Kedua, ujian nasional diubah menjadi assesmen kompetisi minimun survei meliputi (karakter, numerasi dan literasi).
Ketiga, penyederhanaan sistem RPP, sehingga guru dapat lebih fokus kepada siswa.
Keempat, penerimaan peserta didik baru (PPDB), sistem zonasi diperluas sehingga dapat memeratakan akses pendidikan.
Pada point kedua, penajaman terhadap keutamaan literasi softskills perlu menjadi perhatian para guru.
Kebijakan tersebut sejalan dengan apa yang menjadi cita-cita Ki Hajar Dewantara yakni dalam pendidikan mempertimbangkan keseimbangan cipta, rasa dan karsa.
Literasi Soft skills sendiri dapat dimaknai sebagai bentuk kecakapan seseorang dalam berhubungan dengan orang lain seperti kemampuan komunikasi;
kejujuran dan kerja sama;
motivasi;
kemampuan beradaptasi;
serta kompetensi interpersonal lainnya dengan orientasi nilai yang menjunjung kinerja yang efektif.
Atribut soft skills lainnya meliputi nilai yang dianut, motivasi, perilaku, kebiasaan, karakter, dan sikap.
Dalam konteks yang lebih sederhana,
Saya melihat bahwa muaranya adalah akhlaqul karimah.
Jadi wajar, sekarang yang harus dilakukan adalah Revolusi Akhlak.
Siswa harus diarahkan pada ketercapaian optimalisasi literasi softskills.
Di sinilah berlaku istilah pembenahan kualitas moral dan etika.
Fenomena yang terlihat saat ini cukup mencemaskan, keterpurukan dan pelanggaran prilaku dalam di lingkungan keluarga dan masyarakat adalah cermin dari mundurnya orientasi kemuliaan tujuan pendidikan yang dicanangkan sejak dahulu.
Kesalahan dapat saja bermula dari sistem yang berlaku secara luas sehingga capaian akhir dari pendidikan kita mengecewakan secara menyeluruh.
Peran guru sangatlah penting.
Sekolah dan guru harus mendidik karakter, khususnya melalui pengajaran yang dapat mengembangkan rasa hormat dan tanggung jawab.
Menurut Ki Hajar Dewantara, seorang pendidik juga diharapkan mampu mendidik peserta didik dengan memegang semboyan, ing ngarsa sung tuladha (dimuka memberi contoh), ing madya mangun karsa (di tengah membangun cita-cita), tut wuri handayani (mengikuti dan mendukungnya).
Kebijakan merdeka belajar yang digagas oleh Mendikbud Ristek memiliki relevansi terhadap pengembangan pendidikan karakter.
Selama ini pendidikan lebih menekankan pada aspek pengetahuan, sehingga aspek karakter dan ketrampilan kurang tersentuh.
Untuk mengembangkan pendidikan karakter dibutuhkan strategi yang menurut Ki Hadjar Dewantara diantaranya yaitu:
Pertama, pendidikan adalah proses budaya untuk mendorong siswa agar memiliki jiwa merdeka dan mandiri.
Kedua, membentuk watak siswa agar berjiwa nasional, namun membuka diri terhadap perkembangan internasional.
Ketiga, membangun pribadi siswa agar berjiwa pionir-pelopor.
Keempat, mendidik berarti mengembangkan potensi atau bakat yang menjadi kodrat alamnya masing-masing siswa.
Perlu dilakukan modifikasi model merdeka belajar di masa pandemi seperti saat ini.
Diketahui bahwa selama pandemik siswa lebih banyak belajar dalam jaringan (daring), dan pergaulan siswa tidak terkontrol setelah belajar maupun membuat tugas.
"Banyak orang tua kurang paham pendidikan karakter anak.
Mereka cenderung terpengaruh dengan lingkungan dan itu (kenakalan) salah satu dampaknya.”(https://baliexpress.jawapos.com/read/2021/04/15/254729/kenakalan-anak-karena-ada-pembiaran-lingkungan-dan-orang-tua).
Kutipan berita tersebut adalah sebuah fenomena di salah satu kelompok masyarakat.
Artinya, memang harus dilakukan penyegeraan penciptaan formula pembelajaran “merdeka belajar” yang mengandung muatan revolusi akhlak/ budaya literasi untuk meningkatkan softskills khususnya di masa pandemik saat ini.