Perspektif Agama dan Ekonomi

Menyikapi Efek Domino Pandemi : Perspektif Agama dan Ekonomi

Covid-19 yang awal kemunculannya merupakan masalah di bidang kesehatan, kemudian me­ram­­bat dengan cepat ke berbagai permasalahan baik sosial

Editor: Salman Rasyidin
zoom-inlihat foto Menyikapi Efek Domino Pandemi : Perspektif Agama dan Ekonomi
ist
Dr. M. Rusydi MAg

Oleh : Dr. M. Rusydi MAg

Dosen Fakultas Ekonomi  dan Bisnis Islam UIN Raden Fatah Palembang

Covid-19 yang awal kemunculannya merupakan masalah di bidang kesehatan, kemudian me­ram­­bat dengan cepat ke berbagai permasalahan baik sosial, pendidikan, budaya, bahkan aga­ma.

Dan tentu saja persoalan ekonomi yang dampaknya terasa oleh seluruh lapisan ma­sya­rakat.

Efek Domino Pandemi Covid- 19

Sebagai suatu permasalahan kesehatan, sejauh ini Covid 19 termasuk virus yang paling ber­ba­­ha­ya yang pernah ada, mengingat banyaknya korban jiwa yang ditimbulkannya.

Ber­dasarkan up­date data global yang bersumber dari Worldometers, hingga Rabu (10/03/2021) pagi, total kasus Covid-19 terkonfirmasi sebanyak 118.125.409 kasus, dengan mencapai 2.620.424 kasus kor­ban me­ninggal dunia.

Walaupun tercatat 93.815.130 telah dinyatakan sem­buh dan di­temukannya vak­sin yang telah diberikan secara bertahap di berbagai Negara ter­masuk In­do­nesia.

Namun po­ten­si penularannya yang masih tinggi serta munculnya varian baru menjadikan efek yang di­se­bab­kan pandemi Covid 19 ini terus berlanjut dan belum ter­atasi, baik persoalan pemicunya (ke­sehatan), maupun efek domino yang disebabkannya.

Dalam kehidupan sosial, Covid 19 telah mengubah keberlangsungan tatanan ke­hi­dup­an manusia.

Sehingga, menurunkan nilai kepercayaan dan adab penghormatan ke­­pada se­­­se­o­rang, yang semakin dipertegas dengan adanya aturan social distancing da­lam ra­ng­­ka me­mutus mata rantai penularan virus tersebut.

Konsekwensi beri­kut­nya dari a­turan men­­jaga jarak menyebabkan proses pendidikan berubah drastis yang sedikit ba­nyak me­reduksi substansi dari pentingnya pendidikan.

Karena dilakukan de­ngan me­dia da­ring, menyebabkan transfer ilmu pengetahuan dan pembentukan karakter tidak da­pat dilakukan secara optimal.

Terlebih lagi kebijakan Pendidikan Jarak Jauh (PJJ) yang sejatinya dimaksudkan untuk melokalisir mobilitas ma­sya­rakat dalam hal ini pe­serta didik dan pendidik (dosen/guru).

Ternyata, justeru me­nim­bulkan persoalan sosial karena walaupun para siswa memang tidak ke sekolah ka­rena sekolah tutup, namun ter­nyata kebosanan, kurangnya pengawasan.

Dan per­so­alan kurangnya fasilitas atau ke­tidak-mampuan ekonomi untuk memiliki Gadget se­bagai media pembelajaran, me­lahirkan persoalan-persoalan baru seperti me­ning­kat­nya tingkat depresi anak, ke­na­kalan remaja, bahkan pernikahan dini, angka per­ce­raian dan kekerasan dalam rumah tangga.

Covid 19 Juga telah mempengaruhi budaya secara signifikan.

Budaya bersalaman, me­­­nengok orang sakit dan menghadiri perayaan telah terbatasi dengan sangat ketat.

Bu­­daya lainnya yang seolah lahir dari kondisi Covid 19 ini adalah wajibnya pe­ng­gunaan masker hampir dalam segala kondisi dan semua tempat umum tanpa kecuali ba­ik oleh orang sehat maupun sakit.  

Padahal selama ini masker hanya digunakan o­leh pengendara roda dua ataupun untuk alasan medis baik oleh dokter, pasien, a­taupun masyarakat yang menghindari polusi udara.

Budaya lainnya yang menguat pada masa ini adalah belanja dan atau transaksi ke­uangan melalui online.

Dalam konteks perekonomian budaya belanja ataupun tran­sak­si Online ini dapat dimaknai positif karena dapat menjaga tetap berjalannya per­tumbuhan ekonomi.

Namun di sisi lain ketika beriringan dengan budaya konsumtif ma­­syarakat yang telah tertanam sebelumnya menimbulkan banyak persoalan, baik per­soalan ekonomi se­mata seperti terlilitnya masyarakat oleh bunga Pinjaman On­li­ne, a­taupun perma­sa­lahan sosial lainnya karena tidak jarang transaksi pinjaman on­line tersebut mere­sahkan masyarakat bahkan berujung pada tindak kriminalitas.

Ditambah la­gi kenyataan bahwa krisis ekonomi tidak dapat dihindari karena banyak masyarakat yang terdampak pandemi ini.

Di atas semua efek domino yang telah disebutkan, yang paling mengguncang adalah efek bi­dang keagamaan. Sempat ditiadakannya penyelenggaraan Sholat Jum’at, Sholat Idul Fitri dan Idul Adha berjamaah, ditiadakannya penyelenggaraan Ibadah haji maupun

Umroh me­rupakan kon­disi yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.

Hal serupa tentu saja dirasakan juga oleh umat-umat agama lain terkait pelaksanaan ritual ibadah mereka.

Walaupun dalam catatan se­jarah umat manusia wabah penyakit pernah terjadi di masa lalu, namun relative lebih kecil baik a­kibat maupun skala yang melingkupinya.

Sehingga kondisi pandemi yang mengglobal dan ma­sih berlangsung ini seolah menguji keimanan kita.

Oleh karena itu seyogyanya kondisi ini perlu disikapi dengan tindakan-tindakan yang dilandasi keimanan juga, agar bisa segera berlalu dan menjadi pelajaran berharga supaya tidak terulang lagi.

Kembali ke agama

Keimanan kita meyakini bahwa wabah Covid 19 -yang telah membunuh jutaan umat manusia tan­pa pandang bulu, termasuk para ulama dan tokoh masyarakat dan negara merupakan ciptaan Allah SWT.

Terkait sifat penciptaan, al-Ibda’, al-Khalq, dan at-tadbir merupakan sifat-sifat i­lahiah yang melekat pada Allah SWT, yang meniscayakan bahwa berbagai pe­ristiwa yang terjadi di alam semesta ciptaan Allah ini, harus senantiasa bersesuaian dengan sis­tem yang telah di­te­tapkan oleh kebijaksanaan-Nya, sehingga terwujud kemaslahatan yang sesuai dengan kehendak dan kemurahan-Nya.

Dalam hal ini, agama (ad-Dien) dengan sistem a­jaran yang diturunkan me­lalui para Rasul Allah, menjadi panduan dan pedoman bagi ma­nusia.

Karena pada dasarnya manusia merupakan campuran dari sisi yang lebih tinggi yang mendapatkan sinaran akal dan sisi lebih rendah yang didominasi naluri-naluri hayawani.

Se­tiap insan kemudian mem­per­lihatkan  sebuah watak intrinsik tergantung pada kekuatan relatif  setiap komponen dan cara me­ng­kombinasikan kedua komponen tersebut.

Bagian dari pembangunan moral dan spiritual ma­nusia adalah terletak pada praktek melalui ketundukkan mengikuti perintah agama yang se­sungguhnya dapat dicerna oleh akal manusia yang beriman.

Oleh karena itu perbuatan manusia digambarkan bersamaan dengan konsek­wen­sinya, yaitu adanya balasan (pahala maupun dosa) terkait ketaatan terhadap ajaran tersebut.

Menyikapi suatu permasalahan tentu harus dimulai dengan menganalisis akar penyebab per­masalahan tersebut dan membaca ulang (iqra`) sehingga mampu mencari cara menang­gu­la­nginya.

Jika kita runut, tak pelak lagi wabah ini berawal dari pola konsumsi masyarakat di su­atu kawasan yang menyimpang, bertentangan dengan sistem yang diajarkan terkait ajaran halal dan haram, serta terbukti mengganggu ekosistem alam semesta ciptaan Allah.

Oleh karena sikap yang harus diambil tentu saja ketaatan untuk mematuhi ajaran halal dan haram, sehingga kehidupan di alam semesta yang diamanahkan kepada manusia sebagai kha­lifatullah fil Ardi da­pat bersesuaian dengan kehendak Allah swt.

Dengan pola konsumsi yang baik yang menge­depankan prinsip halalan thayyiban, maka hanya pola-pola produksi yang baiklah yang tidak me­rusak sistem maupun ekosistem yang akan berkembang.

Karena dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup masyarakat, sesuai hukum permintaan dan penawaran, maka masyarakat ber­produksi serta mengembangkan tekhnologi untuk memenuhinya.

Dalam konteks ini terlihat bahwa begitu erat kajian ekonomi dengan agama.

Mengembangkan perspektif agama dalam menyikapi dampak sosial akibat adanya wa­­bah ini semestinya semakin menyadarkan kita bahwa solidaritas itu merupakan ke­­kuatan yang amat kuat dan penting dalam keberlangsungan kehidupan dengan ca­ra me­ningkatkan jiwa sosial bagi karib kerabat maupun tetangga yang terdampak tingkat kesejahteraannya karena pandemi ini.

Selain itu pelajaran lain yang bisa diambil diantaranya dari kebijakan pelarangan pe­­nye­lenggaraan sholat berjamaah di masjid beberapa waktu yang lalu serta ditiadakannya pe­­nyelenggaraan Ibadah haji maupun Umroh, menyiratkan bahwa mungkin kita selama ini terlalu berfokus menjalankan ibadah-ibadah mahdhoh semata yang sifatnya hablum min Allah serta masih kurang dalam aspek hablum min an-naas.

Kosongnya masjid pada waktu-waktu ibadah saat itu, mungkin juga mengingatkan kita bahwa masjid sebagai pusat kegiatan umat Islam dapat memperluas fungsinya sebagaimana awal sejarahnya.

Sehingga, bukan ha­nya menjadi pu­sat dakwah keagamaan namun juga menjadi pusat dakwah sosial dan e­konomi.

Sehingga kita dapat menghindarkan saudara-saudara kita dari riba ataupun bunga yang menjerat dan men­jerumuskan mereka.

Agama juga mengajarkan manusia untuk berpikir, karena sebagai musibah yang banyak mendatangkan sisi negatif pada dunia.  

Jika dipelajari lebih dalam bisa saja itu me­ru­­­pakan pesan dari Tuhan untuk terus mengembangkan akal dan daya, sehingga mam­­pu men­cari pemecahannya demi kemaslahatan umat manusia, seperti menci­ta­kan Vaksin ya­ng halal dan bermanfaat memutus mata rantai Covid 19 ini. Selain itu bang­kit dari ke­ter­purukan dan mengambil pelajaran berharaga dengan Akal yang dilandasi ke­i­man­an. Wallahu a’lam.

Sumber: Sriwijaya Post
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved