Cegah Stunting

Cegah Stunting, Penting Bagi Generasi Penerus !

Alkisah di Madagaskar, hiduplah dua bocah: Miranto dan Sitraka.Keduanya lahir di hari ya­ng sama di Ambohimidasy Itaosy.

Editor: Salman Rasyidin
ist
Marpaleni  MA, Ph.D 

Oleh: Marpaleni  MA, Ph.D

Statistisi Madya di BPS Provinsi Sumatera Selatan/Lulusan PhD program Population and Geography dari Flinders University of South Australia.

Alkisah di Madagaskar, hiduplah dua bocah: Miranto dan Sitraka.

Keduanya lahir di hari ya­ng sama di Ambohimidasy Itaosy.

Desa ini berjarak sekitar satu jam perjalanan dari An­ta­na­na­riv, Ibu Kota Madagaskar, dengan transportasi darat.

Tahun 2016, Miranto telah bersekolah dan temannya banyak.

Sebaliknya dengan Sitraka ber­pos­tur jauh lebih pendek dibanding teman sebayanya itu, Sitraka dalam perkembangan tumbuh kembang termasuk belum lancar berbicara.  

Ia pun belum bisa berdiri dengan kokoh da­lam waktu yang lama.

Akibatnya, Sitraka belum bisa ber­sekolah.

Ia juga sulit bergaul.

Ilustrasi anak pengidap stunting.
Ilustrasi anak pengidap stunting. (IST)

Sitraka menderita chronic malnutrition atau stunting.

Stunting berarti kondisi gagal tumbuh yang menyebabkan tubuh balita mengerdil.  

Stunting tidak hanya berpengaruh terhadap ting­gi anak.

Penderitanya juga rentan terhadap penyakit dan infeksi.

Dampak lainnya adalah gang­guan dalam perkembangan mental.

Menurut World Food Programme, dalam jangka pen­dek stunting bisa menghambat perkembangan otak, melemahkan sistem imun tumbuh dan berdampak pada rendahnya IQ.

Dalam jangka panjang, stunting berdampak pada rendahnya produktivitas dan tingginya biaya kesehatan.

Juga postur kerdil, kematian premature, serta ri­siko terkena diabetes dan kanker.

Persoalan Stunting di Indonesia

Sitraka tidak sendirian.

Menurut Unicef, sekitar 150 juta balita di dunia, termasuk Indonesia, senasib dengannya.

Bahkan, prevalensi stunting di Indonesia tergolong tinggi.

Tahun 2016 prevalensi stunting In­do­nesia berada pada peringkat 108 dari 132 negara. Dari terbaik hingga terburuk.

Di level A­sia Tenggara, stunting di Indonesia menduduki peringkat kedua, setelah Kamboja. Dari ter­bu­ruk hingga terbaik.

Secara umum, prevalensi stunting di Indonesia bisa dimonitor dari hasil Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI).

SSGBI adalah survei yang bertujuan untuk mengumpulkan data sta­tus gizi dengan metode antropometri yang kemudian diintegrasikan dengan Survei Sosial E­konomi Nasional –Su­se­nas.

Survei ini dikerjakan oleh Balitbangkes Kemenkes dan BPS.

Menurut SSGBI, prevalensi stunting di Indonesia cenderung menurun dari tahun ke tahun.

 Na­mun, jumlahnya masih tergolong tinggi.

Tahun 2018, prevalensi stunting Indonesia men­ca­pai 30,8%.

Ilustrasi Ratusan Anak di OKU Timur Alami Stunting atau Bertubuh Lebih Pendek dari Anak Seusianya
Ilustrasi Ratusan Anak di OKU Timur Alami Stunting atau Bertubuh Lebih Pendek dari Anak Seusianya (SRIPOKU.COM/EVAN HENDRA)

Pada tahun 2019, prevalensi stunting di Indonesia menurun ke level 27,6%.  

Pre­­valensi stunting sebesar 27,6%  berarti: dari 100 balita di Indonesia, sekitar 27-28 orang di­antaranya menderita stunting.

Angka ini masih melebihi ambang batas stunting yang di­rekomendasikan WHO –World Health Organization, yaitu kurang dari 20 persen.

Prevalensi stunting di Provinsi Sumatera Selatan tidak bisa dikatakan lebih baik dari angka na­sional.

Hasil SSGBI tahun 2019 menunjukkan: prevalensi stunting Sumatera Selatan men­capai 28,98%.

Ini berarti: dari 100 balita di Sumatera Selatan, sekitar 29 diantaranya men­de­rita stunting.

Selain melebihi ambang batas WHO dan cenderung kurang baik dibanding angka nasional, persoalan stunting di Sumatera Selatan juga dihantui oleh persoalan ketidakmerataan.

Pada ta­hun 2019, Lubuk Linggau menjadi satu-satunya Kabupaten/Kota dengan prevalensi stun­ting kurang dari 20%.

Ini berarti, prevalensi stunting di 16 Kabupaten lainnya masih melebihi am­bang batas WHO.

Range prevalensi stunting di 16 wilayah tersebut terbilang lebar.

Berkisar antara 22,91% (Pa­lembang) hingga 41,12% (Muratara).  

Prevalensi stunting di Muratara terbilang genting ka­rena mengindikasikan bahwa: dari 100 balita di Muratara, sekitar 41 balita diantaranya men­derita stunting.

Muratara tidak sendiri.

Hasil SSGBI tahun 2019 menunjukkan: ada empat kabupaten/kota lain dengan prevalensi stunting mendekati 40 persen.

Kabupaten/kota ini adalah Pagar Alam (39.19%), Empat Lawang (39,16%), Muara Enim (38,62%) dan OKI (38,06%).

Tanpa me­nge­sampingkan wilayah lainnya, Kabupaten/Kota ini perlu mendapat perhatian dan prioritas khusus.

Selain itu, statistik diatas jelas menunjukkan.

Jalan menuju penyelesaian problema stunting di Sumatera Selatan masih panjang dan berliku.

Demi mencapai prevalensi stunting di bawah am­bang batas WHO secara merata tahun 2024, pemerintah daerah masih harus berkerja eks­tra keras.

Mengatasi Stunting

Menurut WHO, stunting muncul sebagai akibat dari undernutrition kronis, atau kekurangan makanan dan gizi kronis pada seribu hari pertama paska pembuahan hingga bayi berumur dua ta­hun.

Hal tersebut muncul sebagai akibat dari kemiskinan, rendahnya pendidikan, ataupun kurang memadainya pelayanan kesehatan ibu dan anak, juga sanitasi.

Faktor–faktor tersebut muncul dipicu oleh berbagai persoalan yang saling tumpang tindih dan berinteraksi secara kompleks.

Menurut WHO, sebagian besar orang tua sudah mengetahui peran nutrisi bagi perkembangan ke­sehatan balita.

Namun, mereka mungkin belum memahami bahwa proses stunting sudah mu­lai terpicu sejak bayi masih berada dalam kandungan. 

Sebuah penelitian di Malawi menyebut: pada usia tiga tahun, penderita stunting memiliki ra­ta-­rata tinggi sekitar 10 sentimeter lebih rendah dibanding rata-rata ti­ng­gi balita sehat seu­sia­nya. 
Menurut WHO, 20% dari gejala stunting tersebut telah ter­lihat sejak hari kelahiran dan 20% lainnya tampak pada usia enam bulan.
Se­men­tara 50% dari kejadian sudah terlihat pada u­sia 6–24 bulan.
Terakhir, 10% si­sa­nya tampak saat balita berumur 2–3 tahun. Ini berarti, ti­nggi bayi saat lahir bisa menjadi salah satu penanda bayi akan tumbuh dengan normal.
Demi mencegah stunting, ibu hamil membutuhkan asupan energi, gizi dan nutrisi cukup dan seimbang yang berasal dari makanan yang variatif dan berkualitas baik.

Sedemikian karena, selama hamil, selain memenuhi asupan nutrisi untuk dirinya sendiri, ibu juga memenuhi ke­butuhan gizi janin/bayinya. 

Disamping menjaga nutrisi, ibu juga perlu menjaga kesehatannya sehingga terhindar dari penyakit ataupun infeksi yang bisa menghambat pertumbuhan bayi.

Untuk itu, pemberian support berupa program edukasi terkait kesehatan reproduksi dan gizi bagi para ibu dan calon ibu menjadi sangat krusial.

Edukasi ini selain berfokus pada pema­ha­man tentang pentingnya pemenuhan gizi dan nutrisi saat hamil, juga pada pentingnya pola asuh yang mendukung praktik pemberian makanan bergizi bagi bayi dan balita.

Selanjutnya, program edukasi sebaiknya diikuti juga dengan pemberian fasilitasi yang bertujuan untuk perbaikan sanitasi dan akses terhadap air bersih

Meng­atasi stunting berarti mengatasi faktor penyebab dan pemicunya. 

Saat ini pemerintah Indonesia telah menetapkan berbagai kebijakan untuk pencegahan stun­ting di tanah air.

Mulai dari penguatan komitmen dan koordinasi dari pemangku kebijakan, me­lakukan kampanye nasional untuk mengkomunikasikan perubahan perilaku, meningkatkan ak­ses terhadap makanan bergizi dan mendorong ketahanan pangan hingga meningkatkan pro­ses pemantauan dan evaluasi kebijakan.

Di Sumatera Selatan, Dinas Kesehatan telah mengeluarkan berbagai inovasi terkait stunting.

Sa­lah satunya adalah dengan mendirikan Rumah Intan (Rumah Inovasi Kesehatan).

Fasilitas ini berperan sebagai simpul yang mendorong berkembangnya inovasi-inovasi yang bertujuan untuk menurunkan prevalensi stunting di Bumi Sriwijaya.

Diantara inovasi yang telah ter­tam­pung dalam Rumah Intan dan bisa direplikasi di berbagai wilayah adalah Garpu Genting (Ge­rakan Peduli Cegah Stunting) dan Fun for Mom (Menyusui bayi dengan menyenangkan).

Namun demikian, untuk mencapai prevalensi stunting sesuai rekomendasi WHO secara me­ra­ta di seluruh Sumatera Selatan memerlukan upaya-upaya yang lebih intensif.

Pembuatan kebijakan memang menjadi bagian penyelesaian paling hulu.

Namun, kebijakan ter­sebut tidak akan berakhir dengan sesuatu yang nyata jika tidak menjangkau mereka yang pa­ling membutuhkannya.

Seperti Sitraka, masih banyak balita yang menderita stunting.

Penderitaan mereka bukan ha­nya terkait pada persoalan memiliki tubuh terlalu pendek jika dibandingkan anak-anak sehat se­usianya.

Ada dampak lain yang akan terus mengikuti balita penderita stunting hingga sisa hi­dupnya.

Sitraka misalnya, selain tertinggal dari sisi pendidikan.

Ia juga tertinggal di sisi per­­kembangan mental.

Mengingat kondisi stunting sedang genting, mencegahnya tentu pen­ting!

Sumber: Sriwijaya Post
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved