Perilaku Konsumen

Pandemi, Perilaku Konsumen, dan Konsep Halalan thayyiban

Pandemi Covid19 telah berlangsung lebih dari satu tahun. Mewabahnya Virus tersebut di­duga kuat berkembang dari pola konsumsi manusia yang "salah"

Editor: Salman Rasyidin
zoom-inlihat foto Pandemi, Perilaku Konsumen, dan Konsep Halalan thayyiban
ist
Dr. Maftukhatusolikhah, M.Ag

Oleh: Dr. Maftukhatusolikhah, M.Ag

Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Raden Fatah Palembang

Pandemi Covid 19 telah berlangsung lebih dari satu tahun. Mewabahnya Virus tersebut di­duga kuat berkembang dari pola konsumsi manusia yang ”menyimpang”.

Oleh karena ter­bukti budaya dan pola konsumsi manusia bisa sangat merusak, maka kajian terkait in­te­grasi ekonomi, sosial dan lingkungan.

Sekaligus perlunya nilai dan ajaran dalam ke­rang­ka perbaikan kehidupan manusia menjadi sangat penting karena setiap pelaku ekonomi di­asumsikan selalu bersikap rasional dalam pengambilan keputusan ekonominya.

Se­da­ng­kan perilaku ekonomi tersebut sangat tergantung dari nilai yang diyakini oleh setiap o­rang yang mendasari rasionalitas ekonominya itu.

Islam sesungguhnya menawarkan berbagai konsep yang bersumber dari ajaran moral, yang dapat memberikan perspektif baru yang dapat digunakan dalam mengurai dan me­me­cahkan persoalan-persoalan manusia.

Termasuk peroalan yang diakibatkan kesalahan da­lam implementasi konsep produksi dan konsumsi yang selama ini hanya berorientasi pa­da aspek materi semata.

Rasionalitas yang dibangun dan diderivasikan dari ajaran a­gama Islam, pada dasarnya merupakan kaidah yang berlaku umum.

Misalnya bahwa se­tiap pelaku ekonomi bertujuan mendapatkan maslahah, maka kegiatan ekonomi seorang mus­lim harus diarahkan untuk mencukupi kebutuhan guna menghasilkan masalahah ter­se­but dalam time horizon yang tak terbatas.

Sebab perilaku konsumen muslim bero­ri­en­tasi masalahah dalam setiap aktifitas ekonominya.

Maslahah dianggap sebagai segala ben­tuk keadaan ataupun perilaku yang mampu me­ni­ngkatkan kedudukan manusia sebagai makhluk yang paling mulia di dunia dan akhirat.

Oleh karena itu, berkaitan dengan perilaku mencari maslahah ini, maka setiap pelaku e­konomi selalu berusaha untuk tidak melakukan kemubaziran (non-wasting).

Selain itu se­tiap pelaku ekonomi selalu berusaha untuk meminimumkan risiko yang mungkin terjadi (risk aversion), sehingga setiap pelaku ekonomi akan berusaha melengkapi informasi dalam upaya meminimumkan risiko.

Dalam konteks perilaku konsmsi yang menye­bab­kan pandemi ini, menunjukkan bahwa pelaku ekonomi (baik dari sisi produksi dan kon­sumsi) tidak mempertimbangkan resiko terkait kesehatan dan kerusakan lingkungan yang dapat disebabkannya.

Pada tingkatan praktis, perilaku ekonomi sangat ditentukan oleh tingkat keyakinan atau keimanan seseorang.

Hal itu akan mengarahkan seorang konsumen muslim dalam pe­ri­la­ku konsumsinya. 

Salah satu konsep yang menunjukan peranan penting dalam ke­hi­dup­an seorang Muslim terkait pola konsumsi dan produksi mereka yaitu konsep halalan tha­yyiban. Kepatuhan terhadap implementasi konsep halaln Thayyiban ini sesungguhnya me­rupakan representasi dari keimanan seorang Muslim. 

Pendekatan yang diajarkan da­lam konsep halalan thayyiban memiliki keunikan yang terletak pada integrasi aspek mo­ral dan material, spiritual dan duniawi, etis dan sosial-fisik kehidupan. Islam menekankan pengembangan kemanusiaan dengan nilai-nilai sosial, bukan hanya perkembangan ma­te­rialistis, sehingga penggunaan konsep Halalan thayyiban dalam proses produksi dan konsumsi dapat mewujudkan bahkan melampaui tujuan pembangunan berkelanjutan.

Kata Halal (حلا ل/ bahasa arab) secara etimologi berarti disahkan, dibolehkan atau diizinkan. Makanan yang diizinkan atau dibolehkan oleh ajaran agama disebut makanan ha­lal.

Dalam Islam, makanan halal didefinisikan sebagai makanan yang baik untuk kese­hatan jasmani dan rohani.

Dalam al-Qur’an telah disebutkan jenis-jenis makanan yang diharamkan atau dilarang oleh Allah SWT untuk dimakan. Jenis-jenis makanan halal yang baik untuk kesehatan jasmani dan rohani tersebut adalah:

1) tidak mengandung unsur najis dan bangkai;

2) Tidak mengandung zat yang membahayakan fisik manusia;

3) Bukan merupakan hewan buas;

4) Berhabitat di Laut; dan

5) Hewan yang mati disem­be­lih dengan menyebut nama Allah.

Dengan demikian semua makanan yang mengandung najis diharamkan.

Penegasan hal tersebut diterangkan dalam al-Quran bahawa darah yang mengalir, babi dan bangkai (ke­cuali ikan dan belalang) adalah haram dimakan oleh manusia oleh karena makanan yang mempunyai ciri tersebut merupakan najis.

Begitu juga dengan makanan dan minuman yang mengandung bahaya bagi fisik manusia seperti mengandung racun, mengandung un­sur-unsur yang memabukkan.

Atau menyebabkan hilangnya kewarasan akal manusia, termasuk dalam kategori makanan dan minuman yang tidak halal (haram) untuk dikon­sumsi.

Makanan yang termasuk dalam kategori haram lainnya adalah makanan yang memiliki kriteria bertaring dan berkuku tajam, atau disebut hewan buas.

Hewan yang tidak ter­ma­suk jenis hewan yang haram dimakan dagingnya seperti disebutkan di atas, adalah halal se­lama kematiannya dilakukan dengan cara disembelih, dan penyembelihannya dilakukan dengan menyebut nama Allah.

Selain haram karena zatnya atau secara materi diharamkan menurut syariat seperti jenis-jenis yang disebutkan di atas, maka sesuatu makanan a­tau­pun barang konsumsi lainnya bisa jadi diharamkan karena cara memperoleh, mengolah, a­­taupun cara memanfaatkannya yang kurang efisien atau tabdzir. 

Manusia dapat me­ne­ruskan kelangsungan hidup dengan makanan dalam batasan yang ditentukan Allah SWT.

Makanan halal adalah makanan terbaik untuk manusia.

Benang merah dari bahasan mengenai perilaku konsumen dan konsep halalan thayyiban adalah bahwa konsep maslahah yang bertumpu pada kriteria pemenuhan kebutuhan (need fullfillment) lebih obyektif ketimbang konsep kepuasan (utility) yang menjadi pijakan ka­langan konvensional. 

Maslahah lebih obyktif karena didasarkan pada pertimbangan ob­yek­tifitas (kriteria tentang halal dan baik).

Sehingga, suatu benda ekonomi dapat dipu­tus­kan apakah memiliki kemaslahatan atau tidak secara konklusif dan mudah.

Sedangkan uti­litas yang dianut pemikiran konvensional mendasarkan pada kriteria yang lebih sub­yektif, sehingga dapat berbeda antara satu konsumen dengan konsumen lain.

Maslahah individu relatif konsisten dengan maslahah sosial, tetapi utilitas individu se­ring kali bertolakbelakang dengan utilitas sosial.

Hal itu disebabkan karena dasar penen­tuannya yang lebih obyektif ketimbang yang kedua, sehingga mudah diperbandingkan, di­analisis dan disesuaikan antara individu dan sosial.

Misalnya, minuman keras memiliki utilitas bagi yang menyukainya secara individual, tetapi tidak memiliki utilitas secara komunal atau sosial.

Maslahah juga mendorong terpenuhinya kesejahteraan konsumen dan produsen.

Jika mas­lahah menjadi tujuan dari seluruh pelaku ekonomi (konsumen, produsen dan di­stri­butor), maka semua aktifitas ekonomi masyarakat baik konsumsi, produksi dan distribusi akan mencapati tujuan yang sama.

Tetapi jika utility (kepuasan) yang menjadi tujuan, ma­ka akan terjadi perbedaan kepuasan di antara pelaku-pelaku ekonomi (konsumen, pro­du­sen dan distributor).

Dalam konteks perilaku konsumen, konsep maslahah dibedakan dengan konsep kepuasan konsumen.

Perilaku konsumen dan produsen yang aware (sadar) terhadap maslahah akan berimplikasi terhadap keberkahan, membentuk persepsi tentang penolakan terhadap ke­mu­daratan; persepsi tentang penolakan kemudaratan membatasi persepsinya hanya pada kebutuhan, bukan pada hasrat yang sering berujung pada kerusakan fisik maupun ling­kungan.

Dalam konteks ini terdapat 4 tingkatan rasionalitas dalam ekonomi Islam yang dikem­bang­kan dari ajaran al-Qur’an dan hadis, menekankan beberapa hal yang meng­im­pli­ka­sikan larangan atau dalam bahasa agama bisa jadi dianggap hal yang jatuh ke dalam hu­kum haram. 

Pertama adanya tuntutan terhadap suatu konsistensi internal yang merupakan hal yang esensial bagi efisiensi menjadikan tabzir sebagai sesuatu yang dilarang. 

Kedua, tuntutan rasionalitas terhadap suatu konsistensi eksternal yang menjaga hubungan antara cara dengan tujuan, mengharuskan cara-cara pemenuhan pilihan, keinginan, dan ke­bu­tuhan yang mengoptimalkan penggunaan sumber daya.

Dengan kata lain tujuan pe­me­nuhan tersebut tidak serta merta menghalalkan segala cara, 

Ketiga, segala proses peme­nuhan kebutuhan melalui proses produksi dan konsumsi harus dapat menjaga konsistensi, de­ngan tetap mengedepankan terpenuhinya syarat-syarat mo­ral dan material, individu dan sosial, serta nasional dan internasional.

Jadi jika ajaran mo­ral agama mengatakannya sebagai sesuatu yang haram, maka tidak boleh dilakukan, mi­salnya konsumsi hewan-hewan buas, yang sesungguhnya dapat merusak keseimbangan eko­sistem karena mengganggu rantai makanan.

Atau mengkonsumsi hewan-hewan yang ternyata kemudian terbukti menjadi sumber Virus yang membahayakan kehidupan ma­nusia. 

Keempat, seluruh proses produksi dan konsumsi harus menjaga konsistensi antara per­buatan di dunia dan akhirat kelak.

Kepatuhan terhadap ajaran Syariah terkait per­bu­atan yang halal dan haram pada dasarnya merupakan bentuk kesadaran adanya per­tang­gungjawaban manusia, yang dalam keyakinan seorang Muslim bukan hanya berdimensi duniawi namun juga ukhrawi .

Wallahu a’lamu bi as-sawwab.

Sumber: Sriwijaya Post
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved