Polemik UU Cipta Kerja : Terpenting Pangkas Biaya Siluman

Polemik terhadap Undang-Undang (UU) Cipta Kerja, sepertinya sampai saat ini belum ber­akhir.

Editor: Salman Rasyidin
ist
Amidi 

Oleh : Amidi  

Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Palembang dan Peng­amat E­ko­nomi Sumatera Selatan

Polemik terhadap Undang-Undang (UU) Cipta Kerja, sepertinya sampai saat ini belum ber­akhir.

Pi­hak yang pro dan kontra terus mempersoalkan UU Cipta Kerja, bahkan bila di­cer­mati pihak yang kontra mendominasi.

Demo menuntut agar UU Cipta Kerja tersebut untuk dibatalkan dan atau di­tunda terus mengalir.

Sebelumnya, terlepas dari UU Cipta Kerja diproses secara buru-buru, terlepas ketidak je­las­an out­put UU Cipta Kerja.

Diberitakan media massa UU Cipta Kerja salah ketiklah, salah halaman la, ya­ng jelas jika persoalan tersebut dan kegiatan tuntutan tersebut terus ber­lanjut.

Maka kita akan ke­­hi­langan opportunity cost yang tidak kecil, untuk itu pe­me­rin­tah harus mengambil jalan tengah, mi­salnya mengambil kebijakan untuk menunda pemberlakukan UU CIpta Kerja sembari meng­ka­ji ulang agar dapat memenuhi harapan se­mua pihak.

Se­kali lagi, kita berharap pada suatu saat polemik terhadap UU Cipta Kerja tersebut se­ge­ra akan berakhir.

Apakah akan ditunda atau akan diperbaiki dalam rangka memuaskan semua pihak dan a­tau agar semua pihak merasa better-off, yang jelas polemik UU Cipta Kerja ini harus ada jalan keluarnya.

Memburu Investasi.

Kita tahu bahwa memang investasi dibutuhkan dalam perekonomian. Investasi itu pen­ting.

Ada beberapa faktor yang membuat investasi itu penting.Investasi dapat men­do­rong pertumbuahan eko­nomi nasional dan atau daerah secara berlipat ganda lewat pro­ses mul­tiplier.

Investasi dapat men­do­­rong penciptaan lapangan kerja baru yang pada a­khir­nya akan mengurangi jumlah peng­ang­guran.

Invesatsi dapat dijadikan sebagai alat untuk me­lakukan pemerataan antar daerah, peme­ra­ta­­an antar sektor dan antar pelaku e­ko­nom­i.

Seperti di Sumatera Selatan (Sumsel) ini, investasi su­dah merambah ke Kabupaten/Ko­ta di Pro­vinsi Sumsel, sehingga Kabupaten/Kota tersebut juga i­kut berkembang Kota Pa­lembang.

Gencarnya investasi di Indonesai dan atau di daerah–daerah karena faktor pendorong investasi yang ada memang mendukung.

Seperti suku bunga pinjaman ,memang di ne­geri ini suku bunga ma­sih terbilang tinggi dibandingkan dengan Negara lain, tapi masih lu­­­mayan.

Kondisi sarana dan pra­sarana sudah memadai, nilai tukar juga masih diang­gap stabil, tingkat inflasi masih terkendali dan Tingkat pendapatan per kapita dan atau PDRB per kapita masih mendukung.

Dari beberapa faktor pendorong tersebut, sebenarnya sudah cukup membuat dan atau men­dorong investor tertarik untuk melakukan atau menanam investasinya ke negeri ini dan atau ke daerah ini.

Namun, memang diakui masih ada beberapa hal yang meng­gan­jal, seperti masalah keamanan dan biaya diluar biaya normal atau sering munculnya bia­ya siluman.

Mencermati fenomena yang ada, sepertinya pemerintah bersikukuh menerbitkan dan mem­­berla­ku­kan UU Cipta Kerja tersebut dengan dalih untuk menggenjot investasi, bah­kan sudah ditanda ta­ngani Presiden. Sah-sah saja kalau kita ingin menggenjot investasi de­mi pertumbuhan ekonomi, na­mun perlu dicermati, apakah benar dengan adanya UU Cip­ta Kerja tersebut dijamin dapat men­dorong pertumbuhan investasi yang lebih besar lagi?.

Menurut hemat saya tidak demikian, selama ini investasi di Indonesia pertumbuhan-nya lumayan dibandingkan dengan negara-negara lain.

Di Sumatera Selatan sendiri secara ka­sat mata dapat kita lihat, investasi terus tumbuh dan berkembang dalam bentuk pem­bang­unan dan pertambahan unit usaha baru.

Menurut saya ada yang lebih penting yakni ki­ta harus komitmen memangkas biaya si­luman (illegal cost) atau biaya tak kentara (invisible cost)

Memang sebagaimana di ketahui bahwa di Indonesia dalam mengejar pertumbuhan e­konomi sa­ngat tergantung pada tingkat konsumsi, ekspor dan inveatasi.

Investasi ini sum­­bangannya pada Produk domestik Bruto (PDB) menduduki urutan nomor 2 setelah kon­sum­si masyarakat, konsumsi masyarakat mencapai sekiar 50 lebih sedangkan investasi mencapai sekitar 30 persen lebih,

Pub­likasi tahunan UNCTAD terbaru, World Invesmenet Report 2020, kini membuktikan re­putasi In­donesia cukup menonjol, Indonesia bertengger di kelomppok top-20 di dunia un­­tuk urusan in­ves­tasi langsung, foreign direct investment (FDI). 

Di ASEAN, hanya Indo­ne­sia dan Sinagpura yang masuk kelompok top-20 dunia.

Padahal, menurut Faisal Basri, Indonesia bisa dikatakan da­pat jual mahal terhadap in­vestor asing.

Kemudian yang luar biasa, selama ini Indonesia tak pernah sa­ngat ber­gan­tung pada investasi asing. (detikfinace, 9 oktober 2020).

Dari pernyataan di atas, bahwa tidak sepenuhnya UU Cipta Kerja tersebut dapat men­dorong investasi, selama ini para investor masih mempertimbangkan beberapa faktor pendorong memulai in­vestasi, seperti yang dikemukakan di atas.

Namun ada yang lebih penting bagi investor adalah per­soalan biaya investasi (investment cost).

Untuk menekan biaya yang dikeluarkan investor dalam berinvestasi, pemerintah telah me­n­dirikan Kantor Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP).

Namun belum cukup, biaya yang mereka keluarkan dalam pengurusan izin dalam berinvestasi masih dirasakan be­lum efisien.

Menurut Ketua LP3E Kadin Pusat beberapa waktu lalu bahwa tingginya biaya peng­ur­us­an admi­nis­trasi akibat pungutan liar atau biaya siluman dalam berinvestasi menyebabkan kaburnya para ca­lon investor dikarenakan harus mengeluarkan dana melebihi yang seharusnya.

Hal ini diper­te­gas oleh Didik J. Rachbini, bahwa biaya memulai investasi­/u­sa­­ha di Indonesia tertinggi setelah Filipina, di Filipina sebesar 19,2 persen.

Menurut Setyo Budiantoro biaya siluman atau praktek pungli dalam kegiatan investasi di In­do­ne­sia sulit dihilangkan, bahkan investor harus mengeluarkan banyak biaya untuk mempercepat in­ves­­tasi, jika tidak maka akan terhambat.

Dalam rantai distribusi, investor harus membayar biaya re­­tribusi yang dikenakan pada masing-masing daerah yang di­la­lui.

Ekonomi biaya tinggi me­ru­pa­kan biaya tidak terkontrol yang besarnya bisa mencapai 20-30 persen dari biaya ekonomi (biaya res­mi).

Beegitu juga dengan biaya siluman yang melanda para pengembang perumahan rakyat.

Seperti dikatakan Ali Tranghanda Direktur Indonesia Property Watch (IPW) bahwa ber­dasarkan hasil in­vestigasinya biaya siluman atau biaya tambahan diluar biaya produksi di­bidang perumahan ter­sebut mencapai 4,64 persen dari harga rumah bersubsidi bahkan ada yang mencapai sampai 15 per­sen (Yuliana Fauzi, CNN Indonesia,29/02/2017).

Menurut Ali dengan demikian pengembang harus mengeluarkan dana cadangan dimuka tidak ke­cil, biaya siluman tersebut mencakup biaya perizinan, biaya sertifikasi, biaya koordinasi antar petugas hingga termasuklah “biaya pengaman”.

Padahal biaya-biaya ter­sebut dapat digunakan un­tuk biaya tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility-CSR) dan dana CSR tersebut sebetulnya bisa digunakan untuk fasilitas tambahan di perumahan rakyat tersebut sehingga memiliki berbagai fasilitas penunjang dan tentunya akan tertata rapi.

Biaya tambahan atau biaya siluman tersebut juga melanda konsumen Kartu Kredit.

Pemilik atau pe­megang kartu kredit pun dikenakan biaya tambahan tersebut.

Seperti bia­ya tahunan, biaya de­nda, biaya tarik tunai, dan biaya transaksi di toko.

Padahal kartu kre­dit tersebut sebenarnya bias di­jadikan “modal” dalam investasi.

Biaya tahunan, selama pemegang atau pemilik kartu kredit tersebut masih aktif, maka bi­a­ya ta­hunan tersebut tetap dikenakan oleh bank penerbit kartu kredit tersebut, yang be­sarnya bervariasi sesuai dengan limit kartu kredit tersebut.

Biaya denda karena keter­lam­batan membayar tagihan.

Bila pemegang atau pemilik kartu kredit terlembat membayar a­tau membayar setelah tanggal jatuh tempo, maka pemegang atau pemilik kartu kredit dikenakan denda sesai dengan ketentuan bank penerbit kartu kredit,

Biaya transaksi tunai.

Bila pemegang atau pemilik kartu kredit akan menagmbil uang se­ca­ra tunai untuk kebutuhan mendesak atau untuk melakukan pembayaran pada toko yang tidak tersedia auto debit (mesin gesek) sehingga mereka mengambil uang secara tu­­nai, akan dikenakan biaya yang besarnya juga bervariasi.

Perlu diperhatikan/dilakukan !

Untuk itu, dalam jangka pendek sebaiknya abaikan terlebih dahulu persoalan UU Cipta Kerja ter­se­but, perbaiki dahulu, akomodasi semua kepentingan, setelah “ok” baru ber­la­kukan.

Saat ini se­ba­iknya kita fokus pada memangkas biaya siluman atau biaya tak ken­tara tersebut.

Dalam meningkaktkan investasi, semua Provinsi dan Kabupaten/Kota telah dibentuk PT­SP.

Maka yang masih perlu dilakukan adalah berikan kewenangan sepenuhnya kepa­da pi­hak PTSP untuk mem­berikan pelayanan mandiri, jangan ada lagi intervensi dari u­nit pe­layanan yang telah dilim­pah­kan kepada pihak PTSP tersebut dan berikan kewe­na­ngan yang jelas kepada pihak PTSP agar investor tidak bingung dan ada kepastian.

Se­bagai penunjang pelayanan maksimal kepada pihak PTSP, sebaiknya perlu ditinjau kon­pensasi yang diberikan kepada pimpinan dan petugas pada PSTP tersebut, berikan tun­jangan atau insentif yang memadai, bila perlu dalam bilangan lebih besar 5 kali lipat da­ri konpensasi normal.

Jadikan Standar Operasional Prosedur (SOP) dan ketentuan lainnya seperti lama pela­yanan seba­gai panglima dalam pengurusan investasi di negeri ini.

Begitu juga dengan ke­­tentuan-ketentuan lain yang harus dipenuhi calon investor, baik mengenai besaran biaya, termasuk kepastian lainnya.

Ke­mudian yang tidak kalah pentingnya adalah masih perlu memperbaiki iklim investasi dengan benar-benar memeperhatikan berbagai factor di atas, terutama faktor keamanan.

Ke­amaman ter­sebut harus betul-betul dijamin, baik keamanan dari aspek ekonomi, as­pek hukum sendiri dan ter­ma­suk­lah keamanan dari aspek kesehatan.

Secara ekonomi, investor aman berinvestasi (tidak ada lagi biaya siluman), secara hukum investor aman mem­­buka lahan, membangun infrastruktur, supaya tidak ada persoalan hukum di­ke­mu­di­an hari, secara kesehatan, investor aman dari pe­nya­kit, seperti virus corona.

Ar­tinya in­ves­tor dan konsumen harus di atur protokol kesehatan secara ke­tat dengan bantuan tenaga dari pemerintah.

Terakhir yang tidak kalah pentingnya adalah komitmen dan keikhlasan dari semua pihak untuk men­dorong pertumbuhan ekonomi, untuk meningkatkan pertumbuhan investasi dan untuk mem­bangun negeri ini dan daerah yang kita cintai ini. Selamat Berjuang!!!!!!!!

Sumber: Sriwijaya Post
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved