RUU Ketahanan Keluarga
Jual-Beli Sperma Terancam 5 Tahun Penjara, Banleg Bahas Draft RUU Ketahanan Keluarga
BADAN Legislasi DPR RI kembali membahas draft RUU Ketahanan Keluarga yang sempat ditolak. RUU ini melarang jual-beli sperma dan ovum
Pasal 86 menyebutkan:
“Keluarga yang mengalami krisis keluarga karena penyimpangan seksual wajib melaporkan anggota keluarganya kepada badan yang menangani ketahanan keluarga atau lembaga rehabilitasi yang ditunjuk oleh pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan.”
Sedangkan pasal 87 menyebut:
“Setiap orang dewasa yang mengalami penyimpangan seksual wajib melaporkan diri kepada badan yang menangani ketahanan keluarga atau lembaga rehabilitasi untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan.”
Dua pasal ini ringkasnya, mengharuskan orang-orang yang dianggap melakukan penyimpangan seksual wajib lapor dan wajib pula mendapatkan rehabilitasi.
Anggota Baleg DPR dari Fraksi Golkar, Nurul Arifin, menilai RUU Ketahanan Keluarga berpotensi memecah belah bangsa. Ia mengatakan RUU ini berpotensi mencabik-cabik kesatuan dan keberagaman.
Nurul mencontohkan, ketentuan dalam Bab IX RUU Ketahanan Keluarga yang mengatur tentang peran serta masyarakat. Hal dinilai terkesan ingin mencampuri rumah tangga warga negara.
“Di dalam RUU Ketahanan Keluarga ini kita menjadi suatu bangsa yang kayaknya resek begitu ya. Ini semangatnya kok kita mengurusi rumah tangga orang lain, rumah tangga itu mempunyai entitasnya sendiri,” kata Nurul Arifin.
Nurul menyoroti struktur Pusat Layanan Ketahanan Keluarga (PLKK) yang ditawarkan dalam RUU Ketahanan Keluarga. Padahal, sudah ada Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).
“Ada kesan banci ya dalam struktur yang ditawarkan dalam RUU ini, karena berbicara tentang BKKBN tapi juga menyebutkan PLKK. Ini kan jadi enggak ajeg,” kata Nurul.
Nurul mengaku setuju jika BKKBN diperkuat. Menurut dia, keluarga berencana yang merupakan program lawas memang harus terus dilanjutkan. Namun Nurul menilai, ada kejanggalan lantaran RUU Ketahanan Keluarga ingin masuk ke dalam struktur hingga tingkat terkecil masyarakat dalam mengurusi rumah tangga warga negara.
Anggota Komisi I DPR ini mengingatkan, para pendiri bangsa mendirikan Indonesia dengan kesepakatan-kesepakatan dan kekayaan pemikiran. Ia menyebut kesatuan semacam ini harus tetap dipelihara.
Nurul mengajak koleganya di Baleg untuk berpikir holistik dan mempertimbangkan keberagaman Indonesia. “Kalau tidak menerima kondisi kita sebagai satu negara yang majemuk ya sulit juga ya. Saya tidak mengerti sungguh-sungguh cara berpikirnya itu seperti apa, kok malah mengurusi hal-hal yang sangat pribadi,” ucap Nurul.
Nurul mengatakan beberapa muatan dalam RUU Ketahanan Keluarga pun sudah diatur dalam Undang-undang Perlindungan Anak dan UU Perkawinan. Ketimbang membuat aturan baru, ia mengusulkan lebih baik merevisi UU Perkawinan yang memang sempat direncanakan sebelumnya.
Sementara anggota Baleg dari PDIP, My Esti Wijayanti mengatakan, dalam setiap keluarga sudah terbangun hal-hal yang tidak bisa diatur di dalam UU. Sehingga memang tidak sepatutnya negara terlalu ikut campur. “Bahwa negara seolah-olah akan mencampuri urusan keluarga. Di dalam rumah tangga terbangun beberapa hal yang tidak mungkin diundangkan,” ujar Esti dalam rapat Baleg DPR.
