Mengapa Tidak Pilkada Daring Sebagai Alternatif ?

Salam Sriwijaya yang merupakan tajuk Koran Sriwijaya Post edisi 23 September 2020 lalu me­nu­runkan issue tentang Pil­kada dan Keselamatan.

Editor: Salman Rasyidin
ist
Dr. Yazwardi Jaya 

Oleh : Dr. Yazwardi Jaya

Ketua Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Raden Fatah Palembang

Salam Sriwijaya yang merupakan tajuk Koran Sriwijaya Post edisi 23 September 2020 lalu me­nu­runkan issue tentang Pil­kada dan Keselamatan Masyarakat dan Opini Pilkada Asimetris. 

Dalam kupasan tajuk Sriwijaya Post tersebut tersirat ada ke­kha­watiran yang super serius tentang pe­nye­bar­an dan munculnya ribuan klaster baru Covid-19 (C-19). Hal demikian akan muncul jika Pilkada serentak tetap dilang­sung­kan secara konvensional pada 9 Desember 2020 yang diikuti 270 daerah dengan rincian 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota se Indonesia.

Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 5 Tahun 2020 yang merupakan perubahan ke­ti­ga atas PKPU Nomor 15 Tahun 2019 tidak memuat perubahan yang signifikan dalam hal teknis pe­mungutan suara kecuali harus menerapkan protokol kesehatan penanganan Corona Virus Disease 2019 (C-19).

Pada Pasal 8C (1) dibunyikan “Seluruh tahapan, program, dan jadwal Pemilihan se­ren­­tak lanjutan harus dilaksanakan sesuai dengan protokol kesehatan (Prokes) penanganan Corona Vi­rus Disease 2019 (C-19)”.

Artinya, seluruh rangkaian kegiatan Pilkada akan berlangsung seba­gai­­mana diatur pada PKPU Nomor 15 Tahun 2019 pada Pasal 4 dan seterusnya yang mengatur tek­nis pemungutan suara sebagaimana yang dilaksanakan pada saat pra new normal.

Kekhawatiran itu semakin menguat setelah terbitnya kesepakatan antara DPR RI dengan pe­me­rin­tah bahwa Pilkada serentak tersebut tetap dilaksanakan sesuai PKPU Nomor 5 Tahun 2020.

Pa­da­hal sebelumnya, dua organisasi sosial keagamaan terbesar Muhammadiyah dan NU telah mendesak pe­merintah menunda pilkada serentak tersebut sampai situasi pandemik C-19 benar-benar terken­da­li aman.

Pihak NU dan Muhammadiyah di dalam pernyataan tertulis yang ditandatangani lang­su­ng oleh Ketua Umum PBNU, KH. Said Aqil Siradj, dan Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof. Hae­dar Nashir, meminta agar pelaksanaan Pilkada 2020 ditunda, karena keselamatan masyarakat ja­uh lebih penting.

Sebelumnya juga Komnas HAM telah merekomendasikan untuk menunda pelaksaanaan Pilkada dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) telah menerima lebih dari 50 petisi ma­sya­ra­kat yang meminta Pilkada ditunda.

Berbagai kalangan dan kelompok masyarakat sipil lainnya ju­ga bereaksi keras dan bahkan secara terbuka menyatakan golput alias tidak ikut memilih.

Tokoh in­te­­lektual muslim Indonesia yang sangat berpengaruh Azyumardi Azra pun telah mendeklarasikan gol­put pada Pilkada 9-12 tersebut.

Menjadi sangat ironi dan bahkan mungkin berpotensi tragedi di negeri yang pernah mendapatkan pu­jian dunia dalam hal berdemokrasi harus “tersandung” dua kali pada masa yang sama.

C-19 yang me­nyebabkan pertumbuhan ekonomi menembus minus 5 persen dan akan ditambah dengan indeks de­mokrasi yang semakin menurun sebagai akibat meningkatnya partipasi golput.

Apakah tidak ada solusi damai dan mencerahkan (win-win solution) dalam menghadapi “kemelut demokrasi” di akhir ta­hun 2020.

Ilustrasi penyandang disabilitas memberikan hak suara pada pemilu beberapa waktu lalu.
Ilustrasi penyandang disabilitas memberikan hak suara pada pemilu beberapa waktu lalu. (Tribunnews.com)

Dalam asas hukum konvensional, dikenal adagium yang sangat bijak dari seorang Filsuf Yunani Ci­cero (43 SM) “Salus populi suprema lex esto” ( Kesehatan warga Negara adalah hukum ter­tinggi). 

Quote super klasik ini menginginkan bahwa kesehatan harus diprioritaskan dalam setiap aturan hukum. Dalam khazanah literature dan kepustakaan masyarakat merupakan kaidah tertinggi. Dalam hukum Islam  hal demikian dikenal kaidah Dar’ul Mafasidi muqaddamun ‘ala jalbi al Mashalih (Menolak ke­ru­sak­an harus lebih diutamakan dari pada meraih kemaslahatan), Al Masyyaqqatu Tajlib al Taysir (Ke­sulitan itu akan menimbulkan kemudahan).

Dan kaidah Lima Dasar tujuan hukum yang dipopulerkan Abu Ishaq Al Syatibi (79 H) yaitu:

(1) Memelihara ajaran agama;

(2) Menjaga ke­se­lamatan jiwa;

(3) Menjaga kesehatan akal;

(4) Menjaga keturunan; dan

(5) Menjaga harta benda.

Asas dan nilai hukum (Ground norm) yang terkandung dalam teorisasi dua kutub pemikiran (Barat dan Islam) tersebut, sesungguhnya telah mencapai ketinggian akhlak dan etika berdemokrasi dan berpolitik.

Keduanya bersepakat bahwa asas kemasalahatan umat dan kepentingan publik harus men­jadi “mahkota” dan “panglima” dalam struktur, substansi, dan budaya hukum.

Apapun yang i­ngin dicapai dalam hukum, maka keselamatan warga Negara dan rakyat harus menjadi nomor satu.

Na­mun bak buah simalakama, jika pilkada ditunda akan menyebabkan terjadinya “kemacetan de­mokrasi” di sejumlah besar daerah yang masa jabatan kepala daerahnya akan berakhir dan segera di­gantikan oleh pejabat yang baru.

Materi Muatan Hukum PKPU

Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Komisi Pe­mi­lihan Umum Nomor 15 Tahun 2019 Tentang Tahapan, Program Dan Jadwal Penyelenggaraan Pe­milihan Gubernur Dan Wakil Gubernur, Bupati Dan Wakil Bupati, Dan/Atau Wali Kota Dan Wa­kil Wali Kota Tahun 2020 merupakan Landasan operasional Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang sangat dinamis perubahannya.

Demikian juga perubahan-perubahan yang terjadi pada aturan hukum di atasnya yaitu Undang-un­dang (UU) Nomor 6 Tahun 2020 yang merupakan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Un­da­ng yang Mengubah UU No. 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No­mor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Ta­hun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang UU No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang.

Artinya, berbagai produk aturan hukum yang menjadi instrumen hukum demokrasi pemilihan ke­pa­la daerah itu berjalan sangat dinamis di Badan Legislasi DPR dan internal KPU.

Bahkan UU Pe­milu tersebut selalu didahului oleh Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) yang la­zimnya dikeluarkan oleh Pemerintah dalam keadaan memaksa di mana terjadi hal ihwal genting dan kekosongan hukum.

Namun demikian, perubahan-perubahan yang terjadi dalam aturan-aturan hu­kum tersebut meski sebagai respon terhadap bencana nasional non alam C-19 belum menjawab keinginan dan aspirasi masyarakat yang menginginkan Pilkada 912 ditunda.

DPR bersama pe­merintah hingga saat ini masih tetap bersepakat dilaksanakan dengan penerapan protokol C-19 sebagaimana dibunyikan dalam materi muatan UU dan PKPU tersebut.

Pilkada Daring dan NIK

Jika saja mekanisme Pilkada Asimetris yang membolehkan pelaksanaan pemilu tidak harus sama an­tara satu daerah dan lainnya bisa diterima, maka Pilkada yang sangat berpotensi sebagai klaster baru penyebaran wabah C-19 bisa dapat dihindarkan. 

Transformasi dan evolusi perilaku manusia (Hu­man Behavior) yang sangat dipengaruhi dan mampu beradaptasi oleh kemajuan teknologi dan per­adaban adalah suatu keniscayaan yang sulit dihindarkan.

Faktanya memang kita sekarang telah memasuki era revolusi industri 4.0 di mana berbagai per­alat­an teknologi industri yang kita gunakan sebagian besar telah mengaplikasikan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence).

Hal ini juga yang mendorong perubahan besar pada sistem kemasyarakatan yang tradisional konvensional menjadi masyarakat teknologi yang disebut Masyarakat Sosial 5.0 (5.0 Society).

Yaitu suatu masyarakat yang semakin memanfaatkan teknologi dalam berbagai aspek kehidupan. Masyarakat 5.0 adalah suatu konsep masyarakat yang berpusat pada manusia (human-centered) dan berbasis teknologi (technology based) yang pertama kali dikembangkan oleh Jepang. 

Pro­ses ini membawa nilai baru bagi industri dan masyarakat dengan cara yang pada era sebe­lum­nya tidak mungkin terjadi. Perilaku sosial (social behavior) pada dunia nyata juga akan ber­trans­for­masi menjadi perilaku maya (virtual behavior) pada jaringan internet yang bebas ruang dan waktu.

Perubahan itu sudah mulai menjadi nyata dalam kehidupan kita termasuk politik yang sangat dima­nis dan bahkan diwarnani gimmick dan intrik.

Mengapa kita tidak memanfaatkan saja kedahsyatan tek­nologi sebagai anugerah kemajuan zaman.

 Pilkada yang akan berlangsung di berbagai daerah de­ngan ragam budaya, kepadatan penduduk, dan dinamika sosial ekonomi yang berbeda bisa me­ne­rapkan Pilkada Daring (Virtual Election) dengan memanfaatkan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai big data Daftar Pemilih Tetap (DPT). 

Surat suara yang disebutkan 82 kali dalam UU No­mor 7 Tahun 2017 dan sebanyak 278 kali dalam PKPU Tahun 2019 tidak menyebutkan secara spe­sifik bahwa surat suara adalah kertas secara fisik.

Lembaga Tinggi Negara Mahkamah Agung sebagai tempat mencari keadilan dan kepastian hukum, te­­lah menerapkan alternatif sistem peradilan elektronik (e-court dan e-litigation) yang berbasis tek­no­logi aplikasi daring.

Sidang-sidang peradilan dapat memilih teknik daring ketika para pihak men­da­patkan kesulitan akses transportasi untuk hadir langsung ke ruang sidang.

Lebih banyak kemanfaatan dan kemaslahatan pilkada daring yang dapat dipetik: protokol Covid-19 da­pat dipatuhi, Anggaran Belanja Negara menjadi lebih efisien, Golput diharapkan menurun, dan in­deks demokrasi diprediksi lebih meningkat.

Sumber: Sriwijaya Post
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved