Salam Sriwijaya
Jika Sudah Begitu, Mau Apa Lagi
Pilkada dengan calon tunggal berpotensi mendegradasi demokrasi karena tidak menghadirkan adu gagasan antar pasangan calon.
SRIPOKU.COM - PILKADA Serentak 9 Desember 2020 di Sumsel, ada tujuh Kabupaten/Kota masyarakatnya akan mencari pemimpin. Dari jumlah itu, dua kabupaten dimana Paslon petahana melawan kotak kosong (Koko), dan satu satu kabupaten perang keluarga karena masing Paslon terkait hubungan keluarga.
Para akademisi dan pemerhati politik lokal melihat fenomena calon tunggal di Pilkada, seperti OKU dan OKU Selatan perlu disikapi serius. Pilkada dengan calon tunggal berpotensi mendegradasi demokrasi karena tidak menghadirkan adu gagasan antar pasangan calon. Padahal, itu sangat diperlukan agar masyarakat bisa melihat siapa figur yang pantas untuk memimpin daerahnya.
• Presiden Tegaskan Pilkada Serentak 2020 tak Ditunda
• Inilah 7 Zat Gizi yang Sangat Diperlukan Ibu Hamil: Karbohidrat, Protein, Lemak hingga Zinc
Jangan lupa subscribe, like dan share channel Youtube Sripokutv di bawah ini:

Pilkada dengan calon tunggal otomatis akan menghadirkan kotak kosong sebagai lawan. Dari sisi aturan hal ini sah karena diperbolehkan oleh undang-undang dan secara politik, calon ingin menang. Hanya dari sisi pendidikan berdemokrasi, kondisi ini menjadi ironi karena saat ini kotak kosong seolah menjadi strategi baru bagi calon, khususnya petahana, untuk meraih kemenangan dengan cara mudah.
Fakta menunjukkan, dari 28 pasangan calon tunggal yang bertarung pada tiga kali Pilkada serentak yang sudah digelar, nyaris semuanya menang dengan mudah. Satu-satunya kemenangan kotak kosong hanya terjadi di Pilkada Makassar 2018.
Meski mendegradasi demokrasi, namun faktanya kemunculan calon tunggal terus menunjukkan tren kenaikan di tiap Pilkada, termasuk di Sumsel. Misal, Pilkada
Walikota Prabumulih di Tahun 2018, dimana pasangan calon tunggal Ir H Ridho Yahya MM dan H Andriansyah Fikri SH (Ridho-Fikri) menang telak melawan kotak kosong. Berdasarkan perhitungan real count, 79,28 persen, sedangkan suara untuk kolom kosong (Koko) sebanyak 19.510 suara atau sebesar 20,72 persen.
Dan jangan lupa juga subscribe, like dan share channel Instagram Sriwijayapost di bawah ini:
Nah, di Pilkada 2020, muncul dua calon tunggal, yakni di Kabupaten OKU dan Kabupaten OKU Selatan. Sedangkan di OKU Timur, masih belum jelas. Namun, jika surat pengajian dari Kolonel Inf Ruslan tidak disetujuo Mabes TNI, maka otomatis pencaloannya melalui jalur indepen gaga; kendatis sudah mendaftar di KPU. Bila itu terjadi, maka OKU TImur juga muncul Calon Tunggal.
Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini menyebut, sumber utama pemicu munculnya calon tunggal di Pilkada adalah pragmatisme partai politik (Parpol). Selain itu, juga karena faktor regulasi. Ketentuan syarat dukungan kursi DPRD 20 persen atau 25 persen suara hasil Pemilu DPRD tidak mudah untuk dipenuhi parpol. Faktor berikutnya adalah kelembagaan Parpol yang tidak demokratis dalam melakukan rekrutmen politik. Tak jarang kendali elite parpol di pusat menentukan pencalonan di daerah
Memang ada Parpol mendukung calon yang memiliki sumber dana yang besar. Pragmatisme ini sejalan dengan kepentingan petahana yang ingin menang mudah dengan memborong dukungan parpol agar pintu bagi calon lain tertutup.

Update Sumsel Covid-19 Tgl 27 September 2020. (http://corona.sumselprov.go.id/)
Titi Anggraini masih mencium aroma praktik mahar politik yang ditengarai kerap terjadi membuat makin sulit upaya figur lain untuk memperoleh tiket pencalonan dari partai. Kandati disuguhi calon tunggal, masyarakat tetap berhak menentukan pilihan. Kotak kosong atau kolom kosong bisa jadi saluran politik alternatif kalau pemilih tidak mau memilih atau punya pilihan berbeda dengan calon tunggal.
Sebagai rakyat, adanya calon tunggal di Pilkada 9 Desember mendatang disayangkan karena bisa makin menurunkan partisipasi pemilih. Namun bagi yang berkompetisi, itu sebuah prestasi dan sudah start yang baik. Beda kacamata, inilah yang menyebabkan berbeda pendangan dan tak selalu segaris.
Tanpa peduli angka partipasi menurun atau tidak. Namun yang jelas, selama pemegang kebijakan masih "dikuasai" kepentingan politik, maka produk/regulasi yang dituangkan jelas untuk kepentingan politik jangka panjang. Aturan sengaja dibuat untuk melanggengkan kekuasaan. Jika sudah begitu, mau apa lagi?
Jangan lupa Like fanspage Facebook Sriwijaya Post di bawah ini:
